top of page

Sejarah Indonesia

Thr Waktu Dan Uang

THR, Waktu, dan Uang

Apakah pemimpin perlu kebagian THR juga?

26 Agustus 2011

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Diperbarui: 6 Mei

PRESIDEN Soeharto dalam suatu kesempatan pernah mengatakan kalau korupsi itu persoalan ekonomi. Artinya tingkat penghasilan seseorang menjadi faktor pemicu apakah dia berpotensi korupsi atau tidak. Semakin rendah penghasilan, semakin tinggi potensi melakukan korupsi. Pernyataan Soeharto bahwa penyebab korupsi itu adalah faktor ekonomi dikemukakan saat mengomentari kasus megakorupsi Pertamina yang menyeret keterlibatan direkturnya, Ibnu Sutowo.


Memang uang bukan segala-galanya kendati banyak orang bilang segala-galanya butuh uang. Segala-galanya butuh uang sampai banyak orang menempuh segala cara untuk mendapat uang. Itulah hukum besi kehidupan bila terlalu keseringan mengikuti musik keroncong yang mengalun dari dalam lambung. Memang kenyataan selalu kejam, tergantung bagaimana kita menyikapi kekejaman itu.


Ngomong-ngomong soal sikap-menyikapi apakah benar apa yang dikatakan oleh Soeharto itu? Apakah benar orang yang tinggi penghasilannya, yang secara ekonomi mapan, mampu mengendalikan diri untuk tidak menempuh segala jalan meraih kekayaan? Tentu saja jawabannya tidak. Karena perkara ngentit duit itu bukan soal kaya atau miskin tapi soal mentalitas. Kurang besar bagaimana gaji Gayus Tambunan, Rp12 juta per bulan, usia masih 30-an tahun, menghidupi keluarga kecil.


Belum lagi kasus Nazaruddin tuntas, datang lagi berita pada 25 Agustus 2011 mengenai ditangkapnya tiga pejabat Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ketahuan menerima fee atas pencairan dana APBN. Istilah fee biasanya digunakan dalam soal-soal yang lebih beradab, misalnya untuk membayar honor penulis, membayar honor desainer atau pekerjaan profesional dan kreatif lainnya, bukan untuk urusan korup-mengkorup apalagi sogok-menyogok.


Padahal bisa jadi uang fee yang baru saja diterima di dalam kardus durian monthong itu untuk dibagi-bagi sekadar THR (Tunjangan Hari Raya) kepada sanak keluarga atau kolega sekerja lainnya. Atau jangan-jangan riwayat munculnya THR, yang juga kontroversial itu, membawa tulah sampai sekarang? Kenapa kontroversial? Kapan istilah THR itu muncul belum bisa diketahui pasti tapi uang tunjangan yang diberikan saben akhir bulan puasa itu dimulai kali pertama pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi.


Kabinet tersebut dilantik oleh Presiden Sukarno pada April 1951. Salah satu program kerja kabinet Soekiman adalah meningkatkan kesejahteraan pamong pradja (kini, Pegawai Negeri Sipil). Menurut Saiful Hakam, peneliti muda LIPI, kabinet Soekiman membayarkan tunjangan kepada pegawai di akhir bulan Ramadhan itu sebesar Rp125 (waktu itu setara dengan US$11, sekarang setara Rp1.100.000) hingga Rp200 (US$17,5, sekarang setara Rp1.750.000). “Bukan hanya itu, mula-mula kabinet ini juga memberikan tunjangan beras setiap bulannya,” kata Hakam.


Tak pelak lagi soal tunjangan itu mendapat respons negatif dari kaum buruh. Kaum buruh merasa dikentutin. Mereka yang berjibaku kerja keras memeras keringat bakal hidup anak-bini di rumah tak dapat perhatian apa pun dari pemerintah. Itu sebabnya pada 13 Februari 1952, buruh mogok, menuntut minta tunjangan dari pemerintah. Tapi bukan pemerintah Republik Indonesia namanya kalau mengikuti keinginan buruh. Tentara pun turun tangan supaya buruh tutup mulut. Bungkam.


Terus, kenapa bisa THR menjadi kebijakan kabinet Soekiman dari Masyumi itu. Bukan rahasia lagi kalau sebagian besar pamong pradja bin pegawai negeri itu terdiri dari para priayi, menak, kaum ningrat turunan raden-raden zaman kumpeni yang kebanyakan berafiliasi ke Partai Nasional Indonesia (PNI). Dus, ceritanya Soekiman mau ambil hati pegawai dengan memberikan mereka tunjangan di akhir bulan puasa dengan harapan mereka mendukung kabinet yang dipimpinnya. Masuk di akal juga kalau para pegawai itu, yang katanya gajinya kecil itu, dapat sedikit dana tambahan buat menghadapi lebaran. Nah, sejak itulah THR jadi anggaran rutin di pemerintahan bahkan sekarang kalau ada perusahaan yang mangkir tak bayar THR karyawannya bisa kena tegur pemerintah, bahkan kena pinalti.


Kalau mau dibilang wajar, ya wajar juga pegawai yang bergaji kecil itu dapat tunjangan hari raya. Apalagi kalau kaum buruh juga kecipratan tunjangan. Yang tidak wajar itu adalah memasukan uang ke dalam kardus duren. Seperti kata orangtua kita, meletakan sesuatu itu harus pada tempatnya. Uang di kardus duren, sudah jelas salah tempat. Sama salahnya memakai kolor pergi ke mesjid atau bawa raket tenis buat berenang di kolam. 


Memang perkara uang selalu bikin runyam. Tak dulu tidak sekarang. Bedanya kalau pemimpin zaman dulu masih agak tebal imannya. Haji Agus Salim cuek saja memakai kemeja tambalan padahal dia Menteri Muda Luar Negeri. Dr Leimena cuma punya dua potong kemeja sementara Bung Hatta tak pernah mampu beli sepatu merk Bally sampai akhir hayatnya. Malah bisa jadi mereka tak pernah dapat jatah THR, seperti zaman sekarang. Tapi dalam catatan sejarah, sebelangsak apa pun hidup mereka, tak pernah ditemukan fakta melakukan korupsi. Ini sekaligus mematahkan tesis Soeharto bahwa orang korup karena hidup susah. Padahal hidup mesu budi alias asketik itu soal pilihan. Apalagi jadi pemimpin. Menderita itu keniscayaan, seperti kata Mr. Kasman Singodimedjo, Een leidersweg is een lijdensweg, leiden is lijden. Jalan seorang pemimpin adalah jalan penderitaan, memimpin adalah menderita.


Tapi sekarang siapa yang sanggup hidup menderita? Apalagi dalam waktu yang lama. Soal waktu memang soal relatif. Bisa lama bisa sebentar. Itulah sebabnya kenapa yang penting dalam hidup ini bukanlah soal uang tapi semata soal waktu. Seperti pribahasa Inggris Time is Money, waktu adalah uang. Masalahnya: ada waktunya kita punya uang, ada waktunya kita bokek. Tapi persoalannya, kita sering bokek dalam waktu yang berkepanjangan. Tak mengapa, yang penting kita sambut lebaran, waktunya bermaaf-maafan. Asal jangan buat memaafkan koruptor. Wassalam.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Niatnya Membuka Jalur Rempah, Pelaut Belanda Nyasar ke Pulau Paskah

Niatnya Membuka Jalur Rempah, Pelaut Belanda Nyasar ke Pulau Paskah

Menguak misteri patung-patung raksasa di Pulau Paskah. Pertamakali diamati seorang pelaut Belanda secara tak sengaja ketika hendak membuka jalur rempah.
Arloji Mewah Swiss, Dari Mana Mulanya?

Arloji Mewah Swiss, Dari Mana Mulanya?

Selain cokelat dan pisau saku multiguna, Swiss juga kondang dengan arloji mewahnya. Harga arloji-arlojinya selangit.
Ketika Air Seni, Janggut, dan Jendela Kena Pajak

Ketika Air Seni, Janggut, dan Jendela Kena Pajak

Sejumlah pajak tak lazim pernah diberlakukan oleh berbagai penguasa di masa silam.
Perpisahan Mar'ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan

Perpisahan Mar'ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan

Setelah purnatugas sebagai menteri, Mar'ie Muhammad aktif di sejumlah lembaga independen yang mengusung misi reformasi dan kemanusiaan. Dia juga sempat menjadi mentor Sri Mulyani, yang kemudian menjadi menteri keuangan di tiga era kepresidenan.
Pecah Kongsi Soeharto dan Menteri Mar'ie

Pecah Kongsi Soeharto dan Menteri Mar'ie

Menjelang kejatuhannya, Presiden Soeharto mulai mengambil sendiri kemudi kebijakan ekonomi. Termasuk bersimpang jalan dengan menteri keuangannya.
bottom of page