top of page

Hasil pencarian

9602 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Jejak Berlawan dari Bumi Lorosa’e

    TAKSI kuning yang membawa saya dari Bandara Internasional Nicolau Lobato menuju Timor Hotel di kota Dili, Timor-Leste, melaju santai. Sepanjang jalan, beberapa toko atau restoran masih menggunakan papan nama berbahasa Indonesia.

  • Orang Amerika Terbunuh di Tanah Jawa

    BANDUNG, 27 April 1950. Di kesejukan pagi, sebuah jip terbuka meluncur cepat meninggalkan Hotel Savoy Homan ke arah timur. Dari warna kulit dan perawakannya, sekilas saja orang tahu jika kedua penumpangnya orang bule. Memang betul, yang duduk di belakang kemudi adalah Raymond Kennedy (43 tahun), profesor antropologi Yale University, sedangkan di sebelahnya Robert “Bob” Doyle (31), kontributor majalah  Time-Life .

  • Jejak Revolusi Filipina dalam Kemerdekaan Indonesia

    SELAIN dekat secara geografis, Indonesia dan Filipina punya banyak kemiripan. Sejarah kedua negara menentang kolonialisme, yang membentang selama setengah abad, jadi bagian dalam gelombang nasionalisme dan dekolonialisme yang menandai abad ke-20. Seberapa jauh gerakan nasionalisme dan kemerdekaan di kedua negara saling terkait?

  • Menservis Sejarah Tenis

    YAYUK Basuki tampil trengginas. Di set pertama dia melumat petenis Kanada, Patricia Hy-Boulais, tanpa balas dengan skor 6-0. Dalam pertandingan yang berlangsung 20 menit itu, Yayuk bermain ofensif. Passing   shoot -nya efektif mematikan gerakan maju lawan. Tatkala memegang servis, game  dimenanginya dengan telak tanpa membuat lawan mencetak skor ( love game ) atau dengan angka meyakinkan 40-15.

  • Membangun Persemayaman Dewa

    MENDAPAT perintah dari ayahnya, Bandung Bondowoso berangkat menuju Prambanan bersama bala tentara Pengging. Melalui pertempuran hebat, dia mengalahkan pasukan Prambanan, bahkan membunuh Prabu Baka, raja Prambanan.

  • Tiga Ledakan di Pusat Kota Jakarta

    SHUNSUKE Kikuchi, pemuda asal Yokohama, Jepang, cemas. Meski sudah lebih dari setahun, kunjungannya ke India pada 1984 masih menyisakan masalah. Tas dan uangnya hilang. Begitu pula paspornya.

  • Yang Mati Meninggalkan Buku

    MENDUNG pekat bergelayut di langit Kota Tua, Jakarta, siang itu. Taman Fatahilah, yang di hari libur menjadi pusat keramaian, lengang. Dua-tiga rombongan tur pelajar berkerumun di depan Museum Sejarah Jakarta. Beberapa wisatawan mengayuh sepeda onthel mengelilingi taman; beberapa yang cukup berumur duduk-duduk sambil bercengkrama di sekitar taman.

  • Kedaulatan Pangan Kedaulatan Angan-Angan

    DALAM konteks politik dan ekonomi, kata ‘pangan’ kerap dilekatkan dengan ‘kedaulatan’. Kedaulatan pangan merupakan jalan untuk mencapai ketahanan, keamanan, dan kesejahteraan hidup masyarakat. Dan pada masa-masa jelang pemilihan umum, para calon presiden dan pasangannya kerap menggunakan ‘kedaulatan pangan’ sebagai jargon kampanyenya. Namun siapapun yang pernah terpilih menjadi presiden Indonesia, pada kenyataannya tidak kunjung mampu memenuhi kondisi pangan yang berdaulat untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera.

  • Kepercayaan Tanpa Rasa Takut

    DI ruang tamu seluas 18 meter persegi, Subagiyo duduk di kursi menghadap selatan. Sebuah anak kunci, lambang organisasi penghayat Kapribaden, tergantung di tembok, tepat di atas kursinya. Di sisi tembok lain terpajang foto seorang tua mengenakan blangkon, baju lurik, dan bawahan kain batik bermotif parang. “Romo Semono Sastrohadidjojo (1900-1981)”, begitu keterangan pada foto itu.

  • Dewi Sukarno Setelah G30S

    SEBUAH foto persegi yang menampilkan potret Jenderal Oerip Soemohardjo terpajang di sebidang tembok sebuah ruangan. Di bidang tembok seberangnya, terpajang sebuah lukisan besar kepala staf angkatan perang pertama itu sedang menunggangi kuda. Begitulah suasana Ruang Jenderal Oerip Soemohardjo di dalam Museum Satria Mandala, Jakarta. Dulunya, ruangan itu merupakan ruang santai istri Jepang Sukarno, Ratna Sari Dewi. “Kita berada di ruang santai. Dulu ada meja bulat khas Jepang untuk lesehan. Dulu juga ada televisi. Jadi saat santai bisa menonton televisi,” kata Kepala Sub-Seksi Promosi Museum Satria Mandala Yulianto Setiawan Yulianto kepada Historia.ID , sembari menunjuk posisi lukisan sebagai tempat dulu televisi Dewi Sukarno berada. Museum Satria Mandala awalnya merupakan rumah tinggal Dewi. Namanya Wisma Yaso. Di sanalah Dewi menyaksikan berita televisi tentang Gerakan 30 September 1965 (G30S) dan setelahnya hampir day-to-day . Di hari-hari itu, ia hanya bisa pasrah dan merasakan kegetiran dalam kesendirian. Sejak 1 Oktober 1965 pagi, sang suami, Presiden Sukarno, belum kembali lagi ke Wisma Yaso. Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi dinikahi Sukarno pada Maret 1962. Menurut Masashi Nishihara dalam The Japanese and Sukarno’s Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations, 1951-1966 , Dewi pertama kali diperkenalkan dengan Sukarno medio 1959 oleh seorang pebisnis Jepang Masao Kubo. Kubo berharap dapat proyek bisnis pasca-Indonesia mendapatkan dana pampasan perang dari pemerintah Jepang. Wisma Yaso merupakan hadiah Sukarno kepada Dewi. Kala itu daerah tempatnya berdiri masih sepi, jalan di depannya masih bernama Bypass. “Ibu Ratna Sari Dewi minta dinamakan [rumah] ini Wisma Yaso. Karena dia pingin mengenang (Yasoo Nemoto, red. ) yang meninggal dengan bunuh diri,” terang Kepala Museum Satria Mandala Letkol Adm. Saparudin Barus. Ruang Jenderal Oerip Soemohardjo di Museum Satria Mandala yang dulu ruang bersantai Dewi Sukarno. (Historia.ID). Bertemu Janda Jenderal Yani Dewi duduk di ruang santai sambil menyaksikan siaran televisi pada 4 Oktober 1965. Rasa pilu menusuk hatinya kala menyaksikan pengangkatan jenazah para jenderal yang jadi korban keberingasan Gerakan 30 September dari sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur. “Hampir-hampir saya menutup mata. Saya sama sekali tidak mengerti, mengapa adegan-adegan sedih harus ditontonkan kepada umum. Barangkali maksudnya untuk memperlihatkan kepada rakyat fakta-fakta mengenai perbuatan yang kejam dan tidak berperikemanusiaan itu. Kedengkian, kemarahan dan kesedihan hampir-hampir tidak dapat dipercaa bahwa Jenderal (Ahmad) Yani telah meninggal dunia,” tutur Dewi kepada majalah Shukah Asahi , dikutip harian Sinar Harapan , 12 Oktober 1966. Pada malam kejadian, Dewi mengaku sedang bermalam bersama Presiden Sukarno di Wisma Yaso. Mereka bersama setelah Sukarno menjemput Dewi dari Hotel Indonesia memenuhi sebuah undangan dari duta besar Iran. Pada pagi 1 Oktober 1965, Sukarno berangkat dari Wisma Yaso tanpa diketahui Dewi tujuannya. Sejak itu ia nyaris sepekan tak bertemu lagi dengan Sukarno. Sejak menyaksikan pengangkatan jenazah para Pahlawan Revolusi tadi, Dewi mengaku sulit tidur setiap malam. Ia juga mengaku kaget dengan prosesi iring-iringan jenazah menuju Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan barisan kendaraan lapis baja karena belum pernah melihat prosesi pemakaman semacam itu sebelumnya. “Ucapan-ucapan untuk mengenang mereka yang berpulang diucapkan oleh Jenderal (Abdul Haris) Nasution, menyedihkan hatiku. Dia sendiri terluka, kakinya patah sewaktu meloloskan diri dari bahaya. Bahkan ia kehilangan anak perempuannya. Sebenarnya tidak mengherankan bila ia menjadi seorang ‘Setan Pembalas Dendam’. Namun sambil tersedu-sedu, kata-kata terakhir yang diucapkan itu masih mendengung di telingaku,” tambahnya. Dua pekan berselang, 14 Oktober 1965, seingat Dewi, pertemuan dengan keluarga para Pahlawan Revolusi diadakan di Istana Merdeka. Dewi mengaku sempat berbincang dengan Yayu Rulia Sutowiryo, istri mendiang Men/Pangad Jenderal Ahmad Yani. “Kami mengundang Nyonya Yani yang suaminya telah mengakhiri hidupnya dalam suatu kematian yang celaka itu, datang ke Istana Merdeka. Ia seorang wanita yang cantik dan biasanya suka bergurau,” kenang Dewi. Tentu dalam pertemuan itu Yayu tak seperti biasanya. Dewi bisa memaklumi. Namun meski pandangannya serius dan cenderung hampa, Dewi bisa merasakan ketegaran Yayu sebagai seorang istri perwira militer. “Saya tidak boleh membiarkan diriku dalam kesedihan. Saya mempunyai lima anak. Terlebih lagi saya harus menjadi contoh bagi janda-janda lain yang juga kehilangan suaminya. Sebagai janda seorang militer secara mental saya telah dibiasakan dengan pendapat bahwa suamiku mungkin tdak akan meninggal di ranjang. Suamiku telah dimakamkan dengan kehormatan sebagai Pahlawan Revolusi dan hatiku telah terhibur,” kata Yayu kepada Dewi. Sebagai istri presiden yang sehari-hari berada di Jakarta, Dewi bisa lebih dekat dan lebih memahami situasi politik yang mencekam pasca-G30S. Pasalnya selain sering “disowani” para pebisnis Jepang di Wisma Yaso, Nishihara mengungkapkan bahwa Dewi juga sedikit-banyak “dimanfaatkan” pemerintah Jepang. “Melalui Dewi, para pejabat dan pelobi-pelobi Jepang bekerja sama dengan kelompok-kelompok di Indonesia untuk menjaga Sukarno tetap berada di pihaknya dan menjauhkannya dari genggaman komunis,” ungkap Nishihara. Tentu saja Dewi meyakini suaminya tak terlibat G30S. Dewi juga kian aktif setelah 1965. Tak hanya pemerintah Jepang, lawan-lawan politik suaminya, termasuk Nasution dan Soeharto, juga memanfaatkan Dewi untuk “jembatan” komunikasi dengan Sukarno. Ketika situasi kian memanas, Sukarno menginstruksikan Dewi untuk keluar dari Indonesia pada awal November 1966. Dewi kembali ke Jakarta menjelang wafatnya Sukarno pada Juni 1970 dan kemudian untuk berziarah ke Blitar. Ketika ia kembali, ia pun jadi sasaran media massa yang menanyakannya tentang hubungan Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Jika yang dimaksud adalah apakah dia siap membubarkan Partai Komunis, ya tentu saja, tetapi tuntutannya adalah agar dibuktikan dengan jelas bahwa Partai Komunis terlibat kudeta. Laporan yang diberikan kepadanya tidak akurat. Dia jujur dan adil, dan sementara itu tentara mulai membunuh. Dia meminta bukti kepada Sukarno karena dia ingin tetap obyektif. Dia tidak setuju bahwa hanya Partai Komunis yang dituduh merencanakan dan melaksanakan kudeta,” tukas Dewi kepada harian Leeuwarder Courant , 29 Juli 1970.*

  • Sayuti Melok bukan Sayuti Melik

    PADA akhir 1930-an, di Semarang ada dua orang pejuang bernama Sayuti. Keduanya sama-sama wartawan. Satu di majalah Pesat, satunya lagi di De Locomotief . Keduanya juga sering datang pada rapat-rapat pergerakan kemerdekaan dan sering tampil berpidato. Sayuti yang satu, berperawakan kecil dan bermata kecil. Maka, ia kemudian dijuluki Sayuti Melik. Nama Melik kemudian juga menjadi nama samarannya. Sedangkan untuk membedakan dengan Sayuti Melik, Sayuti yang lainnya dijuluki Sayuti Melok. “Kebetulan pada waktu itu Sayuti yang lainnya tadi sudah menggunakan kacamata, jadi kelihatan melok-melok ,” kata Sayuti Melik dalam Wawancara dengan Sayuti Melik. Kelak, Sayuti Melik, pejuang yang sering keluar masuk penjara terkenal karena mengetik naskah Proklamasi. Sementara Sayuti Melok, yang juga sama-sama pejuang, tak begitu dikenal dalam sejarah. Kisah Sayuti Melok memang tak banyak dicatat. Mantan Walikota Jakarta, Sudiro, dalam Pelangi Kehidupan telah mengenal Sayuti Melok sejak 1930-an ketika ia menjadi murid Algemene Middelbare School (AMS, setingkat Sekolah Menengah Atas) bagian Sastra Timur di Surakarta. “Kami bersama-sama dengan Armijn Pane dan Amir Hamzah, waktu itu menjadi anggota Indonesia Muda. Sayuti Melok berwatak penuh humor. Hingga sekarang pun beliau masih tetap lucu dalam pergaulan, dan mempunyai cara tertawa yang mampu mengajak lain orang turut tertawa,” kata Sudiro pada 1986 ketika Sayuti Melok masih hidup. Pada masa mudanya, kenang Sudiro, ketika jejaka usia 18–29 tahun suka berpakaian perlente, Sayuti Melok justru berbeda. Ia seringkali memakai baju Toro, pakaian kusir andong tempo dulu yang biasanya berwarna merah atau biru. Tak hanya berpakaian seperti kusir andong, Sayuti Melok bahkan sering kali mendapat pinjaman andong dari kenalannya dan mengajak teman-temannya untuk naik. Sudiro menyebut Sayuti Melok pernah memimpin Taman Siswa di Jombang. Asrama Taman Siswa saat itu berbatasan pagar tembok sekira satu meter dengan rumah wedana. Suatu hari, ayam milik Sayuti Melok melompat pagar memasuki pekarangan rumah wedana. Ayam itu lalu dilempari batu oleh pelayan wedana hingga kakinya pincang. Sayuti Melok berang. Ketika ayam sang wedana yang masuk ke asrama langsung ditangkap anak-anak asrama dan disembelih oleh Sayuti Melok. “Tidak itu saja! Beliau bahkan memerintahkan anak-anak itu berdiri berjajar di atas pagar tembok itu dan atas ‘komandonya’, anak-anak itu kencing kearah halaman sang wedana,” terang Sudiro. Sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I menyebut Sayuti Melok seringkali dikira sama dengan Sayuti Melik. Pasca kemerdekaan, Sayuti Melok merupakan pimpinan Dewan Perdjoangan Djawa Tengah, sebuah badan permusyawaratan antara tentara dan kelompok-kelompok perjuangan di Jawa Tengah. “…dan juga seorang tokoh terkemuka dalam Barisan Banteng,” tulis Poeze. Pada 4 Januri 1946, Sayuti Melok mengikuti sidang besar di Purwokerto yang membahas “hasrat perjungan rakyat seluruh Indonesia”.  Sidang ini bukan sidang biasa. Dihadiri oleh sekira 300 orang yang mewakili 40 organisasi. Dari Partai Komunis Indonesia, Masyumi, Partai Boeroeh Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Hisbullah, hingga Persatoean Wanita Indonesia (Perwari). “Orang-orang dari ‘semua lapisan rakyat’ melengkapi semuanya itu, termasuk Panglima Besar Soedirman dan Tan Malaka,” tulis Poeze. Sayuti Melok bersama Ismail dari Jawa Timur, Armoenanto dan Chairul Saleh dari Jakarta Raya dan Jawa Barat membuka sidang. Sayuti Melok sendiri menyampaikan laporan dari Jawa Tengah. Sidang itu memunculkan pendapat bahwa pemerintah Indonesia tak memberikan reaksi yang cukup dalam menghadapi provokasi dan tipu daya Inggris. “Kesatuan dan koordinasi diperlukan, demikian Ismail dan Sayuti Melok berkata. Untuk itu Sayuti Melok mengusulkan agar dibentuk sebuah badan koordinasi,” tulis Poeze. Sidang itu belakangn bersambung pada rentetan peristiwa pada awal 1946 yang sering dikenal sebagai “kudeta Tan Malaka”. Sayuti Melok disebut turut ditangkap bersama Ibnu Parna, tokoh Angkatan Komunis Muda (Akoma) dan Ahmad Subardjo. Sayuti Melik “kembarannya” juga ditangkap bersama Adam Malik, Chairul Saleh, dan beberapa tokoh lainnya. Mereka baru dibebaskan pada 1948. Solichin Salam dalam “In Memoriam Soemarmo” yang termuat dalam Soemarmo, Pejuang Tanpa Tanda Jasa mencatat sedikit soal Sayuti Melok. Pada 7 Juni 1967, Solichin bersama Sayuti Melok, Masagung, dan Soemarmo datang ke Istana Bogor dalam perayaan ulang tahun Bung Karno yang ke-66. Pulangnya, Solichin menginap di rumah Sayuti Melok. Solichin menyebut Sayuti Melok adalah tokoh pergerakan yang dekat dengan Sukarno dan Muhammad Hatta. “Sesudah pengakuan kedaulatan, beliau menjual rokok untuk menegakkan hidup. Saya kagum pribadi yang demikian. Karena beliau punya prinsip dan memiliki karakter,” kenang Solichin. *

  • Sayuti Melik dalam Gerakan Bawah Tanah Singapura

    SAYUTI Melik, yang kelak dikenal sebagai pengetik naskah Proklamasi, pernah ditangkap pemerintah kolonial Belanda karena dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI pada 1926. Setelah ditahan sebentar di Banyumas, dia diasingkan ke Boven Digul, Papua pada 1927. Dia baru dibebaskan pada 1930. Setelah itu, dia bekerja di kapal pengangkut sapi dan babi. “Sekembalinya dari Digul, Mas Yuti jadi tukan transport sapi dan babi. Dari Bali dibawanya sapi dan babi ke Singapura. Begitu mondar-mandir. Tapi kemudian tinggal di Singapura beberapa lamanya dia,” tulis Minggu Pagi , 11 Maret 1951. Sementara itu, Soebagijo I.N. dalam  S.K. Trimurti, Wanita Pengabdi Bangsa menyebut Sayuti Melik memang berpetualang ke Malaya dan Singapura pasca pembebasannya. Di Singapura, ia menyamar sebagai kuli pelabuhan atau kuli angkut barang. Di samping bekerja sebagai kuli, Sayuti Melik tetap melakukan aktivitas politik. Soebagijo menyebut Sayuti Melik ketahuan polisi Inggris ketika sedang mengetik naskah di sebuah kamar hotel. “Polisi menjadi curiga, karena mana mungkin kuli dapat mengetik,” tulis Soebagijo. Soebagijo menyebut Sayuti Melik kemudian ditangkap dan dikembalikan ke Indonesia. Cerita lebih terang dikisahkan Sayuti Melik sendiri dalam Wawancara dengan Sayuti Melik yang disusun Arief Priyadi, terbit pada 1986. Selepas dari Digul, Sayuti Melik mendapat kabar bahwa ada seorang pejuang Indonesia di Singapura yang baru saja datang dari Amerika Serikat. Orang itu berharap ada pejuang Indonesia yang menemuinya. Sayuti Melik tentu saja tertarik. Sebelum ke Singapura, Sayuti Melik keliling pulau Jawa dengan sepeda. Menemui kawan-kawan lamanya, terutama para Digulis. Setelah itu, sampailah ia di Bali. Dari Buleleng Bali, ia berangkat ke Singapura. Sayuti Melik tentu saja harus menyamar. Ia bekerja sebagai kuli pada kapal angkut sapi yang membawanya ke Singapura. Di kapal, pekerjaannya memberi makan sapi. Sesampainya di Singapura, Sayuti Melik bertemu dengan orang itu yang ternyata adalah Amir Hamzah Siregar. Cheah Boon Kheng dalam From PKI to The Comintern, 1924–1941: The Apprenticenship of The Malayan Communist Party menyebut Amir seorang komunis asal Tapanuli yang merupakan orang Indonesia paling berbahaya di Malaya. Belakangan, ia tertangkap ketika berada di Surabaya pada akhir 1934. Sayuti Melik menyebut Amirlah yang kemudian mengenalkannya pada jaringan pejuang bawah tanah di Malaya. “Orang inilah yang merupakan perantara untuk dapat berhubungan dengan para aktivis dari sebuah gerakan anti-penjajahan yang ada di negeri itu, yang terdiri dari orang-orang China yang paling banyak, orang Vietnam, Filipina, Melayu bahkan ada beberapa orang Prancis dan Inggris,” kata Sayuti Melik. Gerakan anti-penjajahan yang dimaksud Sayuti adalah gerakan bawah tanah bernama Southeast Asia Anti Imperialism League (Liga Anti Imperialisme Asia Tenggara). Dalam rapat-rapatnya, mereka menggunakan bahasa China, Inggris, Prancis, Vietnam, dan Melayu. Sayuti Melik menyebut dirinya pernah menjadi ketua liga tersebut karena dianggap mewakili orang Melayu serta berpengalaman karena pernah dibuang ke Digul. “Sekitar tahun 1936 liga semakin meningkatkan kegiatan berdiskusi. Saya sering mengadakan perjalanan keliling khususnya di Tanah Melayu untuk menghubungi kawan-kawan,” kata Sayuti Melik. Di Singapura, Sayuti Melik bekerja di pabrik karet milik orang Belanda, Singapore Rubber Work Ltd. Mulanya ia bekerja sebagai kuli kasar. Namun, karena bisa berbahasa Inggris dan Belanda, ia diangkat sebagai kerani. Kala itu ia memakai nama samaran Budiman. Masih di tahun 1936, ketika Sayuti Melik berada di Seremban, Negeri Sembilan, ia menulis surat untuk kawan-kawannya di Singapura. Sayangnya, kurir suratnya tertangkap. Surat berbahasa Inggris yang berisi rencana rapat itu ternyata ketahuan oleh Polisi Rahasia Inggris, DSB (Detective Special Branch). DSB kemudian melacak siapa penulis surat itu. Sayuti Melik akhirnya ketahuan setelah DSB mencocokan tulisan dalam surat itu dengan tulisan tangannya sebagai kerani di Singapore Rubber Work Ltd. “Itulah akhirnya saya ditahan oleh DSB,” kata Sayuti Melik. Cheah Boen Kheng menyebut Sayuti Melik alias Budiman mempunyai nama samaran lain yakni Amat. Ia sebenarnya merupakan pengganti Amir Hamzah Siregar untuk kedudukannya di Singapura. Menurut laporan, sebelum tertangkap di Surabaya, Amir diketahui telah menghubungi Sayuti Melik. “Amir Hamzah telah menerima instruksi dari Sayuti atas nama MCP (Malayan Communist Party, red .),” tulis Cheah Boen Kheng. Sayuti Melik mengaku ditangkap pada 1936. Namun, Cheah Boen Kheng mendapati surat perintah penangkapan Sayuti Melik pada 15 Juli 1935. Sayuti Melik dipenjara di Singapura selama satu tahun. Pada 1937, ia diusir dari wilayah koloni Inggris itu . DSB tampaknya telah bekerja sama dengan Polisi Rahasia Belanda, PID (Politieke Inlichtingen Dienst). Sayuti Melik dibawa ke Batavia dan langsung dijebloskan ke Penjara Gang Tengah di Salemba. *

bottom of page