Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Multatuli
DIA hanya menetap selama kurang dari tiga bulan di Rangkasbitung, Lebak. Datang pada Januari 1856 dan meninggalkan kota kecil itu pada April tahun yang sama. Pulang membawa luka dan kecewa. Menuliskan semua itu di sebuah kamar kecil yang sempit di Brusel, Belgia. Dia meradang, menggugat ketidakadilan yang ditemuinya selama bertugas di Lebak. Membongkar praktik busuk tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial. Tak lama sebelum karyanya terbit, dia mengirim secarik surat untuk Raja Willem III, penguasa negeri Belanda. “Apakah yang mulia tahu ada 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” kata Multatuli dalam suratnya. Raja tak bergeming. Karya yang berjudul Max Havelaar of De koffieveillingen der Nederlandse Handelsmaatshappij (Max Havelaar atau persekutuan lelang dagang kopi Belanda) akhirnya terbit pertama kali pada 1860. Maka perkara busuk itu pun meluap kemana-mana. Multatuli digadang-gadang sebagai pembuka rahasia penjajahan Belanda atas Hindia kepada dunia. Karyanya diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Karyanya dibaca banyak tokoh pembebasan, mulai Jose Rizal dari Filipina sampai Sukarno di Indonesia. Ia semacam inspirasi bagi mereka yang tak suka ketidakadilan terjadi di depan mata. Tapi Multatuli tak hanya dipuja. Dia juga dicerca. Rob Nieuwenhuys berpendapat bahwa Multatuli adalah pejabat yang gagal memahami struktur masyarakat tradisional di Jawa. Sehingga protesnya terhadap pemerintah kolonial atas korupnya bupati Lebak dinilai salah kaprah. Banyak juga yang menganggap Multatuli sebagai seorang yang frustrasi, yang menulis Max Havelaar bukan semata karena membela ketidakadilan namun untuk membalas rasa sakit hati akibat pemecatannya. Sulit memang menduga apa yang berkecamuk dalam hati Multatuli. Satu yang pasti, Max Havelaar , buah tangannya itu dikutip oleh banyak tokoh. Menjadi semacam landasan argumentasi untuk menunjukkan betapa buruknya wajah kolonialisme di Hindia Belanda. Wajar jika satrawan Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa Multatuli adalah orang pertama yang berupaya membunuh kolonialisme. Di Belanda, negeri di mana Multatuli lahir, punya banyak cara untuk mengenang tokoh yang dibenum sebagai peletak tonggak pertama kesusasteraan Belanda modern itu. Pada Maret dan November setiap tahunnya, selalu ada pertemuan yang diselenggarakan Multatuli Genootschap, perkumpulan Multatuli. Perkumpulan ini juga mengelola sebuah museum di Amsterdam, rumah di mana Multatuli dilahirkan pada 2 Maret 1820. Di Indonesia, Multatuli tak banyak dikenal. Berbeda dengan anak sekolah di negeri-negeri Eropa yang membaca Max Havelaar , karya Multatuli yang membela rakyat bumiputera dari penindasan kolonial itu justru bukan bacaan wajib di sini. Film Max Havelaar yang pernah dibuat pada 1976 sempat dilarang di Indonesia karena dianggap mempermalukan keluarga bupati, penguasa pribumi musuh Multatuli. Lebih-lebih, dianggap tak nasionalis karena menempatkan Multatuli yang orang Belanda sebagai pahlawan ketimbang musuh sebagaimana yang diajarkan di dalam pelajaran sejarah. Tapi pendulum ingatan kini mulai bergeser. Winnie Sorgdrager, ketua Perkumpulan Multatuli mengatakan bahwa dia dan kawan-kawannya bekerja keras agar rumah kelahiran Multatuli di Amsterdam tetap bisa berfungsi sebagai museum. Pemerintah Belanda mencabut subsidi atas banyak hal di bidang sejarah dan kebudayaan, termasuk mengurangi jatah membiayai museum. Itu berlangsung semenjak partai kanan macam Partai voor Vrijheid, partainya Geerts Wilder turut berkuasa di Belanda sejak 2012 lalu. Sementara itu di Lebak, Banten, pemerintah setempat telah membangun sebuah museum yang menggunakan nama Multatuli. Perlahan cara pandang terhadap sejarah mulai beranjak lebih baik. Pemahaman atas masa lalu bangsa ini, terutama di masa kolonial, memang harus beranjak dari cara berpikir yang hitam dan putih, apalagi bila merujuk kepada warna kulit: tak selamanya penindas berkulit putih dan mereka yang ditindas adalah berkulit sawo matang. Usaha untuk membebaskan diri dari segala macam bentuk penindasan menjadi kewajiban bagi mereka yang terpanggil menjalankan tugasnya sebagai manusia. Persis seperti kata Multatuli, “Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia”. Maka mengingat Multatuli adalah mengenang kelam penindasan manusia atas manusia lainnya sekaligus juga mengusung cita-cita pembebasan.*
- Cara Pria Asia Tenggara Kuno Memuaskan Pasangan
Anthony Reid, sejarawan ahli Asia Tenggara dari Australian National University, menunjukkan kebiasaan tak lazim masyarakat Asia Tenggara dalam berhubungan seksual. Para pria biasanya menggunakan aksesoris pada penis untuk memuaskan pasangannya. Mereka melakukannya, sekalipun proses pembuatannya menyakitkan, demi sensasi seksual tiada tara. Di Siam (kini, Thailand), pria yang menginjak usia 20 tahun mengiris penis dengan pisau halus lalu memasukan bola-bola atau lonceng kecil pada kulit lepas di sisi sekitar kepala penis. "Bola-bola penis" sebesar anggur itu dipakai juga di Malaka hingga Makassar dan sebagian Jawa. Selain untuk fungsi seksual, ia menjadi penanda status sosial, berdasarkan material logam yang digunakan pada bola. Di Filipina bagian tengah dan selatan, penis lelaki yang besar maupun kecil ditusuk menembus kepalanya dengan mur timah atau emas sebesar bulu angsa. Di kedua ujungnya dilekatkan sesuatu berupa taji. Demikianlah perempuan-perempuan Filipina menginginkan pria mereka agar menggapai kenikmatan bersanggama. Tradisi yang sama juga terjadi pada Suku Iban dan Kayan di Kalimantan. “Tradisi lisan menyatakan bahwa hubungan seksual tanpa alat demikian masih kalah nikmat dari masturbasi ,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1650 . Praktik tersebut mulai hilang ketika pengaruh agama Islam dan Kristen masuk.
- Kitab Mujarab Bagi Pelupa
BUKU ini dilarang edar di Indonesia pada masa Orde Baru. Sepertinya pejabat Kejaksaan Agung era Orba tak perlu lama-lama memutuskan pelarangan buku ini. Halaman pertama pada buku ini saja sudah mempertanyakan peran Soeharto di dalam kudeta 1 Oktober 1965. Bahkan dalam lembar halaman selanjutnya, Julie Southwood dan Patrick Flanagan, penulis buku ini, memposisikan Soeharto sebagai pelaku aktif kudeta yang berakhir pada penyingkiran Sukarno.
- Enam Pelaut Amerika di Perang Pasifik yang Menjadi Presiden
Serangan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941, menyebabkan pecahnya Perang Pasifik. Kedua negara mengerahkan sebagian besar kekuatan militernya untuk saling mengalahkan. Sebelum masuk ke perang darat, pertempuran laut dan udara mendominasi hingga akhir perang. Berbagai jenis kapal perang dan pesawat dikerahkan kedua belah pihak, mulai yang usang hingga keluaran terbaru. Pun para kombatan. Amerika Serikat tak hanya mengerahkan pasukan reguler tapi juga wajib militer. Ada yang sebagai marinir, ada juga yang pelaut. Di antara ribuan pelaut itu, enam di antaranya kemudian menjadi presiden. Siapa saja keenam pelaut itu? John F. Kennedy Lantaran tulang belakangnya bermasalah, Kennedy gagal masuk sekolah Angkatan Darat pada 1940. Namun, upaya pemulihan berhasil membuatnya masuk Angkatan Laut dan bergabung dalam US Naval Reserve. Tak lama setelah masuk Naval Reserve Officer Training School, dia mendapat tugas pertamanya di Panama. Tugas selanjutnya sebagai komandan beberapa kapal patroli torpedo selama Perang Pasifik. Kapal patroli PT-109 yang dipimpinnya mengalami kerusakan ketika patroli malam di perairan Kepulauan Solomon. “Awak PT-109 tak bisa meyakinkan diri apakah sebentuk gelap di depan mata adalah kapal musuh, tipuan cahaya, atau kapal PT lain,” tulis Catherine Corley Anderson dalam John F. Kennedy . Destroyer Jepang, Amagiri, tiba-tiba berada di kanan PT-109 dan menabrak kapal cilik itu. PT-109 terbelah dan terbakar, dua orang meregang nyawa. Kennedy terlempar dan punggungnya hampir patah. Dia dan sepuluh personel yang selamat berkerumun di haluan yang masih mengambang, lalu berenang ke pulau terdekat. Dia memotong tali pelampung yang dipakai McMahon yang terluka bakar parah, dan menggigitnya kuat-kuat. Dengan McMahon di punggungnya, dia berenang menuju pulau terdekat. “Mengabaikan rasa sakit di punggungnya, Jack (Kennedy) akhirnya mencapai pantai berkarang,” lanjut Catherine. Sesampainya di pula terdekat, ternyata tak ada tanaman dan air. Dalam keadaan lapar dan haus, mereka berenang menuju Plum Pudding Island dan Ferguson Passage, juga tak ada apa-apa. Mereka mendapatkan pohon kelapa di Pulau Olasana, tapi tetap tak ada makanan. Kennedy dan Barney Ross berenang ke Pulau Naru dan mendapat air hujan, sekotak besar permen, dan kano yang ditinggalkan pengintai lokal. Setelah semua kru berkumpul di Pulau Naru, dia membuat tulisan pada buah kelapa. Tanpa diketahuinya, para personel juga melakukan hal sama. Pesan buah kelapa itu sampai kepada Letnan Reginald Evans, penjaga pantai asal Australia. Evans mengirim anak buahnya menggunakan kano dengan membawa barang-barang kebutuhan dan pesan untuk Kennedy. Para kru PT-109 pun selamat. Selesai mendapat perawatan dan pulih dari cedera punggung, Kennedy kembali ke medan tempur pada awal September 1943. Sebulan kemudian, pangkatnya naik menjadi letnan dan ditugaskan sebagai komandan kapal PT-59. Sempat menyelamatkan 87 Marinir yang terdampar di dua kapal yang ditahan Jepang, dia diperintahkan pulang lantaran cedera. Dia menjalani perawatan selama tahun 1944. Setelah pulih, dia dibebastugaskan pada akhir 1944. Pada 12 Juni 1944, Kennedy dianugerahi Navy and Marine Corps Medal atas tindakan heroiknya pada 1-2 Agustus 1943 dan Purple Heart Medal atas cedera parah yang dideritanya. Usai perang, dia sempat menjadi koresponden khusus Hearst Newspapers . sebelum terjun ke dunia politik untuk memenuhi keinginan ayahnya. Kennedy memulai kariernya sebagai anggota House of Representatives. Keberanian dan gagasan-gagasan cerdas membuat karier politikya melejit. Namun, kesehatannya sempat menghambat kariernya. Dalam masa penyembuhan tahun 1956, dia menerbitkan biografi Profiles in Courage yang memenangkan Pulitzer Prize kategori biografi. Dia kembali menapaki dunia politik setelah kesehatannya berangsur pulih. Dia berhasil mencapai puncak karier sebagai presiden meski singkat. Lyndon B. Johnson Meski telah diangkat menjadi Lieutenant Commander (setingkat mayor) dalam US Naval Reserve pada 21 Juni 1940, Johnson masih sebagai tetap politisi di Kongres. Kesehariannya dihabiskan dengan urusan politik. Namun, pemboman Pearl Harbor membuat pria kelahiran 27 Agustus 1908 itu, terjun ke dalam urusan teknis militer. Tugasnya memberi laporan kepada Markas Besar Operasi Angkatan Laut di Washington DC mengenai instruksi-instruksi yang perlu diambil dan pelatihan. Pada 1942, Presiden Franklin D. Roosevelt menunjuk Johnson sebagai satu dari tiga orang dalam tim survey South West Pacific Area (SWPA). Tim ini bertugas mengamati langsung keadaan Pasifik barat daya dan melaporkannya kepada presiden. Setelah melapor kepada Jenderal Douglas MacArthur selaku Panglima SWPA, Johnson dan dua perwira Angkatan Darat, dibawa menuju markas 22nd Bomb Group yang bertugas membom pangkalan udara Jepang di Lae, New Guinea. Sebagai observer, dia berbekal kamera mengamati keadaan markas 22nd Bomb Group. Dia melaporkan hasil pengamatannya kepada presiden, panglima Angkatan Laut, dan Kongres, bahwa kondisi di lapangan amat menyedihkan: moril pasukan rendah, peralatan yang ada memprihatinkan, dan kualitas pesawat amat rendah dibanding pesawat Jepang. Oleh karena itu, Johnson menyarankan agar SWPA mendapat prioritas utama untuk diperhatikan. SWPA butuh tambahan sekira lima batalion. Dia merangkum semua sarannya dalam “Twelve-Point Program” yang menekankan pada peningkatan kerjasama dan koordinasi antarberbagai komandan lapangan dan palagan satu dengan palagan lainnya. Namun, tak mudah bagi Johnson untuk sampai pada tahapan itu. Risiko salalu mengiringi langkahnya. Pada 9 Juni 1942, Johnson ikut dalam misi serangan udara sebelas pembom B-26 ke New Guinea. Pesawat yang dipiloti teman sekamarnya dari Angkatan Darat, ditembak jatuh. Pesawat yang ditumpanginya juga tertembak oleh pesawat Zero hingga satu mesinnya mati. Namun, sang pilot berhasil membawa kembali pesawat itu ke pangkalan. Keberanian Johnson menarik perhatian MacArthur. Atas rekomendasinya, Angkatan Darat menganugerahinya Silver Star. Saran Johnson juga mendapat respons positif dari Kongres yang menunjuknya untuk mengepalai Sub Komite Tinggi di Naval Affairs Committee. Tugasnya menginvestigasi problem-problem dan ketidakefisienan di Angkatan Laut. Setelah bebas tugas dari militer pada 17 Juli 1942, Johnson kembali menjadi politisi. Kariernya terus merangkak hingga berhasil menjadi presiden. Richard Nixon Nixon melamar ke Angkatan Laut karena tak puas dengan pekerjaan menjawab pertanyaan korespondensi yang masuk ke kantornya. Pada 15 Juni 1942, dia memperoleh pangkat letnan muda di US Naval Reserve. Setelah menyelesaikan pelatihan indoktrinasi di NAS Quonset Point, Rhode Island, dia bertugas sebagai ajudan komandan Naval Reserve Aviation Base di Ottumwa, Iowa, Amerika Serikat. Tugas itu hingga Mei 1943. Nixon tetap tak menikmati pekerjaannya meski pangkatnya telah naik menjadi letnan. Dia meminta penugasan laut dan mendapatkan posisi sebagai perwira pengontrol penumpang laut di South Pacific Combat Air Transport Command yang bermarkas di Guadalcanal. Saban hari Nixon dan kesatuannya menyiapkan manifes dan rencana penerbangan pesawat C-47 dan mengawasi lalu lintas kargo pesawat tersebut selama peperangan. Meski tak ikut memanggul senjata, peran Nixon dan kesatuannya amat strategis. Unit ini memastikan kelancaran suplai pertempuran pasukan Amerika Serikat. Nixon menjalankan perannya dengan baik hingga akhir, Juni 1944. Efisiensinya dalam pekerjaan membuatnya mendapat penghargaan Navy Letter of Commendation. Setelah bertugas di Fleet Air Wing dan Bureau of Aeronautics, Nixon bebas tugas pada 10 Maret 1946. Kiprahnya di Angkatan Laut masih berlanjut dengan menjadi perwira staf di beberapa tempat, termasuk pengacara untuk korpsnya. Sambil berjalan, dia terjun ke dunia politik. Kemenangannya atas Jerry Voorhis dalam pemilihan anggota Kongres di California membuka jalan lebar bagi karier politiknya. Jalannya terus menanjak hingga menjadi wakil presiden dalam pemerintahan Presiden Dwight Eisenhower, veteran Pertempuran Normandy. Beberapa tahun kemudian, dia terpilih sebagai presiden. Namun, skandal Watergate memaksanya mengundurkan diri dan menutup karier politiknya. Gerald Rudolph Ford Ford mendengar berita penyerangan Pearl Harbor tak lama setelah membuka kantor hukum bersama temannya, Philip W. Buchen. Tak terima dengan serangan Jepang itu, dia pun mendaftar ke Angkatan Laut. Setelah diterima di US Naval Reserve pada 13 April 1942, Ford bertugas sebagai instruktur V-5 di Annapolis, Maryland. Bersama 82 instruktur lain, dia mendapat pelatihan kemampuan dasar navigasi, pertolongan pertama, menembak, dan pelatihan militer lain. Berbekal kemampuan itu, dia mendaftarkan diri untuk tugas di laut. Penugasan pertama Ford di galangan kapal New York Shipbuilding Corp. yang tengah membangun kapal induk USS Monterey (CVL-26). Dia ikut mengawasi pembuatan kapal itu sebelum diterjunkan ke Pasifik. Ketika USS Monterey telah beroperasi sebagai bagian dari Armada ke-3 dan Armada ke-5, Ford menjadi asisten navigator dan perwira battery antiaircraft kapal itu. Dia yang hobi olahraga juga menjadi pelatih atletik di kapal itu. Sebelum memasuki overhaul pada September-November 1944, USS Monterey terlibat banyak pertempuran laut di Pasifik. Kapal induk berbobot 11.000 ton itu ikut membebaskan Pulau Makin di Kepulauan Gilberts, melancarkan serangan udara terhadap Kavieng, mendukung pendaratan di Kwajalein, hingga terlibat Pertempuran Laut Filipina. Hari-hari Ford dihabiskan di geladak kapal dengan risiko sewaktu-waktu terkena serangan Jepang atau keganasan alam. Pada 17-18 Desember 1944, USS Monterey dihantam topan laut Cobra. Pesawat-pesawat di lambung kapal saling berbenturan dan terbakar. USS Monterey mengalami kebakaran hebat. Ford hampir menjadi korban. Kena hantaman badai, kapal miring 25 derajat. Dia tergelincir ke tepi deck . Beruntung baja setebal 2 inci ada yang terseret sehingga memperlambat laju Ford. Dia langsung berguling ke catwalk di bawah deck , lalu menceplungkan diri ke laut. Armada ke-3 kehilangan tiga destroyer dan lebih dari 700 personel akibat badai itu. USS Monterey dipanggil pulang untuk overhaul karena tak layak operasi. Dalam persinggahannya di Ulithi sebelum mencapai tempat perbaikan di Washington, Ford mendapat penugasan baru sebagai pengajar di Athletic Department Pre-Flight School di Saint Mary’s College. Sempat menjadi instruktur di Naval Reserve Training Command di Naval Air Station, Illinois, dia lalu bebas tugas dari militer pada 23 Februari 1946. Ford yang lahir pada 14 Juli 1913 mendapat beberapa penghargaan seperti Asiatic-Pacific Campaign Medal, The Philippine Liberation Medal, dan World War II Victory Medal. Dia terjun ke dunia politik sebagai anggota US House of Representatives. Pada 29 November 1963, Presiden Johnson menunjuknya menjadi anggota Komisi Warren yang menginvestigasi kematian Presiden John F. Kennedy. Dia juga dipercaya menjadi House Minority Leader sebelum akhirnya menjadi wakil presiden dalam pemerintahan Presiden Nixon. Skandal Watergate yang menimpa Nixon mengantarkan Ford menjadi presiden. Jimmy Carter Sejak kecil, pria bernama asli James Earl Carter Jr. bermimpi menjadi taruna Akademi Angkatan Laut di Annapolis. Latar belakang keluarganya dari kelas pekerja dan kehidupannya yang sulit pasca-Depresi 1930 kian membuatnya semangat untuk mewujudkan mimpi itu. Mahasiswa teknik di Georgia Istitute of Technology itu pun berhasil mewujudkannya pada 1943. Carter kehilangan kesempatan bertempur di Perang Pasifik. Tugasnya setelah perang usai dimulai di kapal selam USS Pomfret. Dia beruntung menjadi satu dari sedikit perwira muda yang dipilih Laksamana Hyman G. Rickover yang dikenang sebagai Bapak Nuklir Angkatan Laut dalam program Fledgling Nuclear Power pada 1952. Meski singkat, penugasan itu amat berkesan bagi Carter. Ketika bertugas di Komisi Energi Atom di Washington DC, dia ditugaskan memimpin tim kecil untuk memadamkan reaktor Chalk River Laboratories milik Atomic Energy of Canada yang bermasalah pada 12 Desember 1952. Pengalaman itu amat membekas dan menentukan pandangannya mengenai nuklir di kemudian hari. Setelah kematian ayahnya, Carter mengundurkan diri dari Angkatan Laut dan melanjutkan bisnis keluarga. “Aku meninggalkan Angkatan Laut pada bulan Oktober dengan perasaan bercampur antara rasa syukur dan bersalah,” kenang Carter dalam memoarnya, A Full Life: Reflections at Ninety . Keputusan amat berat yang diambil Carter itu juga membuat istrinya tak lagi sehangat saat dia masih jadi perwira Angkatan Laut. Toh, nasi sudah menjadi bubur. “Salah satu peristiwa teraneh dan paling tak terduga dalam hidupku adalah kontemplasi lamban tapi tak terhindarkan dariku untuk mengundurkan diri dari Angkatan Laut dan pulang ke Plains untuk melanjutkan beberapa tanggung jawab ayah dan meniru aktivitasnya,” lanjutnya. Dalam masa bertani itu, Carter melihat praktik rasialisme yang amat dibencinya kian parah. Mau tak mau, dia perlahan mulai berpolitik meski secara resmi terjun ke dunia politik baru pada 1962. Setelah menang pemilihan umum dan menjadi gubernur Georgia, dia melangkah ke tingkat nasional dan berhasil mengalahkan petahana Gerald Ford dalam pemilihan presiden tahun 1976. George Herbert Walker Bush Pria kelahiran 12 Juni 1924 ini masih berusia 17 tahun ketika Pearl Harbor diserang Jepang. Sebagai bukti ketidaksukaannya pada Jepang, dia lalu mendaftar masuk Angkatan Laut. Begitu lulus dari Phillips Academy pada 1942, dia diterima menjadi penerbang Angkatan Laut. Setelah mendapatkan pendidikan selama sepuluh bulan, dia ditempatkan di Pangkalan Udara Angkatan Laut Corpus Christi. Kala itu, dia menjadi penerbang termuda. Sebagai salah satu pilot di Air Group 51 yang berpangkalan di kapal induk USS San Jacinto, Bush merasakan dahsyatnya Battle of the Philippine Sea. Dia merasakan kegembiraan ketika negerinya menang besar dalam pertempuran itu. Pengalaman pahit datang ketika Bush dan kesatuannya mengikuti penugasan berikut yaitu menyerang Kepulauan Bonin. Empat pesawat Grumman TBM Avenger, salah satunya dipiloti Bush, mendapat tugas menghancurkan instalasi militer Chichijima. Saat memulai operasi pada 2 September 1944, pesawat Bush tertembak senapan antipesawat, salah satu mesinnya terbakar. Bush bersikeras menyelesaikan misi itu. Beberapa target penting behasil dilumpuhkan oleh bom yang dijatuhkan pesawatnya. Setelah beberapa mil, dia dan para awak lain memutuskan terjun payung. Salah seorang awak nahas, parasutnya tak mengembang. Bush dan awak lainnya diselamatkan tim penyelamat dari kapal selam USS Finback. Bush terlibat lebih dari 50 misi. Misinya di Chichijima mendapat poin penting. Atas keberaniannya, dia mendapat Distinguished Flying Cross. Usai perang, Bush menggeluti bisnis minyak. Dia kemudian terjun ke dunia politik sebagai anggota Kongres asal Partai Republik. Dia mewakili Houston di US House of Representatives pada 1966. Berturut-turut, Bush gonta-ganti jabatan mulai dari duta besar Amerika Serikat di PBB, ketua Komite Nasional Partai Republik, direktur CIA, dan wakil presiden dalam pemerintahan Ronald Reagan. Bush menduduki kursi presiden setelah menang dalam pemilihan tahun 1988.
- Kantor Polisi di Cicendo Diserang
Sebuah bom panci berdaya ledak rendah diledakkan di Taman Pandawa di Jalan Pandawa Kecamatan Cicendo Kota Bandung, pada 27 Februari 2017. Seorang pelaku melarikan diri dengan membawa motor, sedangkan satu pelaku lagi lari ke kantor Kelurahan Arjuna. Pelaku itu tewas oleh tembakan dari aparat keamanan. Teror di Cicendo itu mengingatkan kita pada Peristiwa Cicendo pada 11 Maret 1981 pukul 00.30 WIB. Sekitar 14 anggota Jamaah Imran dari Komando Jihad menyerbu kantor Polisi Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung. Mereka dipimpin oleh Salman Hafidz, datang dengan menggunakan sebuah truk. Kala itu, hanya ada empat anggota polisi yang berjaga: Sertu Suhendrik, Bharatu Zul Iskandar, Bharada Andi, dan komandan jaga Serka Suryana. Tiga orang penyerbu turun dari truk lantas berpura-pura menanyakan salah seorang anggota jamaah yang ditahan. Tanpa disangka, mereka menodongkan senjata api Garrand. Menghadapi sergapan tak terduga itu, keempat polisi itu tak berdaya dan dimasukkan ke dalam tahanan yang terletak di belakang kantor. Mereka kemudian membebaskan empat tahanan anggota Jamaah Imran. “Atas perintah Salman Hafidz, Maman Kusmayadi lantas memberondong keempat polisi itu. Tiga orang seketika tewas, dan seorang luka berat,” tulis Tempo , 27 September 1986. Mereka kemudian mengobrak-abrik pos polisi itu dan membakar arsip yang mereka temukan. Mereka lantas melarikan diri dengan membawa dua pistol kaliber 38. Setelah para pelaku tertangkap, diketahui bahwa otak penyerbuan adalah Imran bin Muhammad Zein, pimpinan Komando Jihad di Jawa Barat. Imran menyuruh Salman, untuk mencari senjata dalam waktu dua minggu. Imran kemudian mendalangi pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di bandara Don Muang, Bangkok, Thailand, pada 28 Maret 1981. Pembajak menuntut kepada pemerintah agar membebaskan 80 tahanan, terdiri dari tahanan yang menyerang kantor Polisi Kosekta 8606, tahanan “Teror Warman”, dan tahanan dalam teror Komando Jihad pada 1977-1978. Para pembajak juga menuntut agar para tahanan tersebut diterbangkan ke luar negeri dengan tujuan negara tertentu yang akan disebutkan kemudian. Selain itu, mereka meminta tebusan US$1,5 juta tunai. Apabila tuntutan tidak dipenuhi hingga 30 Maret 1981, mereka akan meledakkan pesawat beserta sandera. Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Laksamana TNI Sudomo memerintahkan Asisten Intelijen Hankam/Kepala Pusat Intelijen Strategis/Asisten Intelijen Kopkamtib, Letjen TNI Benny Moerdani sebagai penanggungjawab operasi pembebasan sandera. Dalam operasi penyelamatan yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan ini, lima orang tewas: tiga pembajak tewas seketika, yaitu pimpinan pembajak Mahrizal, Zulfikar T. Djohan Mirza, Abu Sofian alias Sofyan Effendy; dua orang terluka kopilot Herman Rante dan Letnan Satu Achmad Kirang, keduanya kemudian meninggal. Dua pembajak, Abdullah Muljono dan Wendy Mohammad Zein dieksekusi mati di suatu tempat yang rahasia setelah dikuras seluruh informasinya. Siapakah Imran bin Muhammad Zein? Manurut Busyro Muqqodas dalam Hegemoni Rezim Intelijen , Imran memimpin Komando Jihad di Jawa Barat dan menamakan dirinya Dewan Revolusi Islam Indonesia yang menentang Pancasila dan UUD 1945. “Dalam jangka panjang kelompok ini berkeinginan membentuk Negara Islam Indonesia, sementara tujuan jangka pendekanya adalah menghancurkan komunisme,” tulis Busyro. Selain penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 dan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla, sebelumnya Jamaah Imran terlibat perampokan toko emas Sinar Jaya di Tasikmalaya pada 9 April 1979, perampokan koperasi simpan pinjam di Kecamatan Sikijang, perampokan gaji pegawai Dinas P&K di Kecamatan Banjarsari Ciamis, perampokan toko emas di Subang pada 9 Juli 1980, dan peledakan mesjid dan gereja. Menurut Busyro penyulut Peristiwa Cicendo adalah Najamuddin yang disusupkan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Indonesia) ke dalam Jamaah Imran pada 1981. Untuk memprovokasi, Najamuddin menyerahkan setumpuk dokumen yang berisi rencana menindas Islam pasca Pemilu 1982. Berkat pembusukan dan pematangan situasi dan kondisi yang dilakukan oleh Najamuddin, rekayasa tersebut berhasil memicu aksi radikal dalam bentuk kekerasan bersenjata. Dengan modal senjata dari Najamuddin, mereka menyerang kantor Polisi Kosekta 8606. Sementara Tempo menyebut “senjata api Garrand hasil curian dari Pusat Pendidikan Perhubungan Angkatan Darat di Cimahi, Bandung.” Aksi spionase Najamuddin tercium. Jamaah Imran mengeksekusinya dan menemukan surat penangkapan terhadap Imran. Imran sendiri tidak ikut dalam penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 dan pembajakan Garuda DC-9 Woyla. Imran ditangkap pada 7 April 1981 dan dieksekusi mati pada akhir 1983. Pada awal Februari 1985, Salman Hafidz, pemimpin penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606, dieksekusi mati. Salman menyebut bahwa Maman Kusmayadi yang membunuh tiga polisi di kantor Polisi Kosekta 8606. Maman selalu membantah tuduhan itu. Namun, hakim menjatuhkan hukuman mati kepada Maman. Dia dieksekusi mati di suatu tempat di kaki Gunung Tangkuban Perahu pada 12 September 1986.
- Kemal Idris, Jenderal Gusar Pengirim Pasukan Liar
Pagi-pagi tanggal 17 Oktober 1952, dua buah tank, empat kendaraan berlapis baja, dan ribuan orang menyerbu dan memasuki pintu gerbang Istana Merdeka, kediaman Presiden Sukarno. Satu batalion artileri dengan empat buah meriam menderu di halaman istana. Kerumunan massa menggelar spanduk-spanduk bertuliskan “Bubarkan Parlemen!”. “Meriam-meriam 25-pon bikinan Inggris digerakkan dan dihadapkan kepadaku,” ujar Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . “Pameran kekuatan ini mencerminkan kelatahan dari zaman itu. Tindakan ini tidak dapat dikatakan bijaksana, karena para panglima yang memimpin gerakan itu berada bersamaku di dalam istana.” Di balik aksi pengerahan meriam itu tersebutlah nama Mayor Kemal Idris, Komandan Resimen Tujuh Divisi Siliwangi. Dengan memegang sepasukan kavaleri dan infanteri, Kemal diperbantukan memantau situasi kota Jakarta. Dalam biografinya, Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi, dia mengaku mendapat perintah dari inisiator gerakan sekaligus pimpinan Angkatan Darat, Kolonel AH Nasution untuk menempatkan meriam di depan Istana Merdeka. Menurut Kemal, tujuan penempatan senjata tersebut untuk melaksanakan tindakan pengamanan, mengantisipasi aksi massa. Nasution di kemudian hari justru mengakui bahwa peristiwa itu sebagai “percobaan setengah kudeta.” Sebagai tindak lanjut penyelesaian peristiwa itu, pada akhir November atau awal Desember, pimpinan Angkatan Darat hingga tingkat komandan resimen dipanggil ke Istana. Di sana, Kemal bertemu dan berbicara dengan Achmad Yani, Sutoyo, Suprapto, dan Haryono. Sementara mereka tengah bercengkrama, Sukarno datang menghampiri. Satu persatu disalami. Tiba giliran Kemal, Sukarno seakan enggan melihatnya sehingga tak mengulurkan tangan untuk berjabatan. “Saya dilewatinya begitu saja. Dia seolah-olah tidak kenal saya, karena dia sangat marah,” kenang Kemal. Begitu pula ketika para undangan sedang berbaris di belakang Istana. Sebagaimana biasa, Sukarno menyambut dan mendatangi tetamu dengan ramah. Sembari berjabat tangan, dia menanyakan nama dan kesatuan. Tatkala berhadapan dengan Kemal, terjadilah pembicaraan singkat. “Kamu siapa,” Bung Karno bertanya dengan suara dingin. “Kemal Idris, Pak,” jawab Kemal salah tingkah. “Pangkatmu?” “Mayor, Pak” “Jawaban-jawaban saya hanya di jawab dengan ‘oh’ oleh Bung Karno. Saya merasa terhina” ujar Kemal. Padahal menurut Kemal, saat berdinas di Cirebon, Bung Karno telah mengenal persis dirinya. Ketika itu, Sukarno berkunjung ke Cirebon, datang naik kereta api dari Jakarta ke Cirebon. Kemal menjemputnya dengan mobil, lengkap dengan pengawalan. Sukarno memanggilnya, “Mal, sini, Mal.” “Kalau arah meriam itu menyebabkan beliau tersinggung, maka beliau bukanlah seorang pemimpin yang berjiwa besar, bahkan sebaliknya, berjiwa kecil dan berhati pengecut” ketus Kemal. Insiden meriam ternyata berbuntut panjang. Karier militer Kemal mandek semasa Sukarno berkuasa. Selama delapan tahun dia tidak diberi jabatan dan meja. Dalam jenjang waktu itu, Kemal seyogianya mendapat kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal. Merasa terkucil, Kemal mempertanyakan nasibnya kepada Nasution. “Pak Nas, kenapa saya mengalami keadaan semacam ini?” “Orang nomor satu harus tahu kemana kamu harus ditempatkan. Kalau dia bilang tidak setuju, berarti tidak jadi,” jawab Nasution. Di senjakala pemerintahannya, Kemal Idris memukul balik Sukarno. Pada Jumat pagi, 11 Maret 1966, rapat kabinet 100 menteri yang dipimpin Sukarno di Istana Merdeka, disatroni oleh pasukan tanpa tanda pengenal. Kendati tak ditujukan langsung pada dirinya, Sukarno merasa terancam dan ketakutan sehingga harus diamankan ke Istana Bogor. Dalam majalah TSM No. 21 Tahun II/Maret 1989, Kemal Idris membenarkan bahwa pasukan-pasukan liar itu di bawah komando dan pengendaliannya. Kemal yang saat itu sebagai Kepala Staf Kostrad dengan pangkat Brigadir Jenderal, mengirimkan sekira sepeleton pasukan RPKAD ke sekeliling istana. Operasi itu ditujukan untuk meringkus Soebandrio. Soebandrio, orang kepercayaan Sukarno yang menjabat wakil perdana menteri satu, oleh pihak Angkatan Darat dianggap mengetahui Gerakan 30 September 1965. Setelah Mayor Jenderal TNI Soeharto mengambilalih kekuasaan dari Presiden Sukarno dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Kemal berada di atas angin. Dia makin rapat dengan Soeharto. Dari Soeharto, dia mendapat kabar bahwa Bung Karno tidak setuju menaikan pangkatnya kecuali dia ditugaskan ke luar negeri. “Saya memperoleh cerita ini dari Pak Harto, yang tidak berapa lama kemudian menaikan pangkat saya menjadi Mayor Jenderal,” ujar Kemal. Menurut pengamat politik militer Salim Said, Soeharto telah mengetahui rekam jejak Kemal. Dengan itu, Soeharto dapat menggunakan Kemal yang berwatak pemberang dan tidak kenal kompromi untuk menyingkirkan Sukarno. “Kalau pada 17 Oktober 1952, Kemal gagal memaksa Sukarno membubarkan Parlemen, pada 11 Maret 1966, Kemal berhasil memaksa Sukarno menyerahkan kekuasan kepada Soeharto,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian. Di era Orde Baru, Kemal dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai bersama Panglima Siliwangi HR Dharsono dan Panglima RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Mereka berperan membantu Soeharto naik tampuk kekuasaan.
- Penistaan Agama Pada Masa Lalu
DUGAAN penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mendorong ratusan ribu umat muslim di Indonesia turun ke jalan. Mereka menuntut hukuman penjara bagi gubernur DKI Jakarta yang juga sedang mencalonkan diri menjadi gubernur untuk periode 2017-2022 itu. Bola panas kasus penistaan agama semakin bergulir kencang seturut dengan Pilkada putaran kedua yang bakal diselenggarakan April mendatang. Kendati istilah “penistaan agama” belum dikenal, peristiwa serupa juga pernah terjadi di masa yang lalu.
- Kiai dan Jagoan dalam Perang Kemerdekaan
Bagi orang Bekasi dan sekitarnya, Kiai Nur Ali adalah legenda. Namanya bukan saja kerap disebut orang-orang tua, para bocah di sana pun mengenal kiprahnya sebagai pejuang besar. Lelaki kelahiran Bekasi tahun 1914 ini begitu popular karena dia mantan pimpinan pejuang dan pegiat pendidikan. “Beliau adalah pendiri Lembaga Pendidikan Islam At-taqwa, salah satu pesantren terbesar di Bekasi,” ujar Benny Rusmawa (44), anggota komunitas sejarah Front Bekasi kepada Historia . Kebesaran nama Kiai Nur Ali sebagai seorang pejuang diakui oleh Abdullah (92), anak buah sang kiai di MPHS (Markas Poesat Hisboellah-Sabilillah). Menurutnya, kegigihan Kiai Nur Ali dan pasukannya menyebabkan dia menjadi buronan utama militer Belanda. “Tapi karena Kiai dianugerahi kesaktian oleh Allah Swt., dia selalu lolos saat akan diringkus tentara Belanda. Makanya, wajar kalau orang-orang menjulukinya sebagai Si Belut Putih ,” kata Abdullah. Kesaktian Kiai Nur Ali pernah dibuktikan oleh Mat Ali (88), anggota MPHS. Ceritanya, suatu pagi sang kiai mengumpulkan sekitar 15 anak buahnya untuk latihan melemparkan granat di lapangan Ujungmalang, perbatasan Bekasi-Karawang. Dari sebuah kursi kayu, dia memerintahkan agar granat-granat itu dilemparkan ke arahnya. Mulanya mereka ragu, namun setelah diyakinkan oleh sang kiai, tanpa berpikir lagi granat-granat itu dilemparkan. Glarrrr! Begitu granat-granat meledak, sang kiiai pun lenyap. “Engkong pikir kiai sudah hancur berkeping-keping, eh, tahunya setelah dicari-cari, dia lagi ngaji di rumahnya,” kenang Mat Ali. Lain Kiai Nur Ali, lain juga Haji Darip. Jagoan kelahiran Klender sekitar tahun 1886-an itu dikenal sebagai godfather, yang menurut sejarawan Robert B. Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries , berhasil memadukan kepahlawanan dengan kriminalitas. Lewat BARA (Barisan Rakyat Indonesia) yang belakangan melebur ke dalam LRDR (Lasjkar Rakjat Djakarta Raja), secara leluasa dia bisa mengembangkan bisnisnya dengan memeras orang-orang Tionghoa, Belanda dan Indo sekaligus menyalurkan hasrat patriotismenya dengan melawan militer Belanda. Namun, soal praktik kriminalitas itu dibantah keras oleh Ahmad Khurriyani (71), putra bungsu Haji Darip. Alih-alih melakukan pemerasan terhadap orang-orang Tionghoa, Haji Darip justru banyak melindungi mereka. Tersebutlah pada akhir 1945, masyarakat Jakarta disengat semangat melawan dominasi orang asing. Tak terkecuali di wilayah Klender, Jakarta Timur. Sialnya, bukan hanya orang-orang Belanda atau Jepang saja yang jadi sasaran, orang-orang Tionghoa yang sudah hidup beranak pinak di sana, juga jadi sasaran kemarahan. Akibatnya, banyak toko milik orang Tionghoa yang dirampok. Bahkan tak jarang, dalam insiden itu jatuh korban jiwa. Untuk keluar dari masalah itu, orang-orang Tionghoa itu lantas meminta tolong kepada Haji Darip. Bukannya membuat seruan, jagoan Klender itu malah memberikan salah satu fotonya untuk diperbanyak. Dia menyarankan kepada orang-orang Tionghoa itu untuk menempelkan gambar foto dirinya tersebut di pintu rumah dan toko mereka. Perintah itu lantas dilaksanakan. “Alhasil, sejak itu tak ada satu pun orang yang berani lagi melakukan penggendoran dan perampokan terhadap masyarakat Tionghoa di Klender,” ungkap Khurriyani kepada Historia. Jika Haji Darip kerja sama dengan anak-anak muda penganut nasionalisme radikal yang tergabung dalam LRDR, maka Kiai Nur Ali lebih nyaman membangun aliansi dengan tentara pemerintah. Bahkan, menurut Abdullah, hubungan Kiai Nur Ali dengan komandan TRI (Tentara Republik Indonesia) setempat, yakni Kapten Lukas Kustaryo ibarat hubungan abang dan adik. “Kalau kami tidak punya peluru kami tak segan-segan minta ke Pak Lukas. Begitu juga jika anak-anak Siliwangi kelaparan, kami yang kasih mereka makanan,” ujarnya. Belum jelas bagaimana hubungan antara Lukas dengan Haji Darip. Namun, selaku mitra Siliwangi, Kiai Nur Ali sendiri memilih untuk “menjaga jarak” dengan kelompok Haji Darip. Kepada anak buahnya, dia sering bilang: “MPHS berjuang karena Allah bukan untuk kaya.” “Karena pantang bagi kami memodali perjuangan lewat cara-cara merampas dan memeras. Tapi sebagai sesama orang Indonesia, kami tak mau bentrok dengan lasykar-lasykar yang kerap melakukan itu, karena musuh kami adalah tentara Belanda,” tutur Mat Ali.
- Gus Dur dan Keberagaman
Daniel Sineon Darius Sinathrya Kartoprawiro, dikenal Darius Sinathrya, mengawali karier sebagai presenter olahraga di televisi. Pria berdarah Jawa-Swiss ini lantas merambah ke dunia seni peran. Hingga 2016, Darius telah membintangi selusin judul film layar lebar. Pria yang hobi sepakbola ini ternyata pengagum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden Indonesia periode 1999-2001. Gus Dur lahir dan dewasa di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), menempuh pendidikan di beberapa universitas di luar negeri mulai dari Mesir sampai Irak. Pada 1971, Gus Dur kembali ke Indonesia dan aktif dalam gerakan masyarakat sipil. Sejak 1984 Gus Dur terpilih menjadi nahkoda NU, organisasi yang didirikan oleh kakeknya, KH Hasyim Asyari. Sebagai aktivis dan intelektual terkemuka, dia kerap mengkritik kebijakan rezim Soeharto, salah satunya kasus pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah. Ketika menjabat presiden di era reformasi, Gus Dur membuat keputusan penting: mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama dan Adat Istiadat Cina dan menerbitkan Keppres Nomor 19 tahun 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional sekaligus membuka keran keberagaman di Indonesia. Di sela kesibukannya, Darius bercerita tentang tokoh idolanya tersebut. Siapa tokoh sejarah yang Anda kagumi? Tokoh dalam sejarah Indonesia yang saya kagumi ada dua. Bung Karno dan Gus Dur. Beliau ini negarawan, sekaligus pernah menjadi presiden di Indonesia. Meskipun singkat masa pemerintahannya namun dia meninggalkan satu hal yang penting bagi Indonesia, yaitu penghargaan atas pluralisme di Indonesia. Kapan kekaguman kepada Gus Dur ini muncul? Kekaguman ini muncul sejak Gus Dur naik menjadi presiden. Ketika masih di PBNU, saya hanya sekadar mendengar saja kiprahnya. Saat dia menjadi presiden, ada ungkapan yang cukup terkenal yaitu dia menganggap para wakil rakyat di DPR itu seperti anak TK. Dengan keterbatasan fisiknya, Gus Dur dalam kacamata Anda seperti apa? Kebijakannya tepat sasaran, rasional. Keberanian Gus Dur kala itu sebagai presiden, dalam melontarkan pendapat memang kadang membuat beberapa kalangan menjadi tidak nyaman. Hal itu pula mungkin, yang membuatnya menjadi presiden dalam waktu singkat lalu dilengserkan. Tentang pluralisme, seperti apa Anda memandang? Pluralisme ini kan menjadi modal bangsa kita untuk menjadi bangsa yang besar. Negara kita ini kan multiagama. Lalu juga banyak suku yang mendiami Indonesia ini. Dalam sejarah bangsa kita, ada satu masa di mana banyak kerusuhan. Banyak gereja dibakar. Diskriminasi dan intimidasi terhadap satu ras tertentu. Dalam suasana yang kacau seperti itu, Gus Dur hadir dan bertindak untuk membenahi itu semua. Bagaimana tema pluralisme dalam perfilman Indonesia? Kalo untuk saat ini, tema itu sudah tidak seksi lagi. Meski demikian masih ada kok beberapa film yang mengangkat tema pluralisme, seperti film “ ? ” (Tanda Tanya) dan Sang Pencerah . Aku rasa, sineas-sineas kita dalam membuat film, tetap akan memasukkan unsur-unsur pluralisme. Sebab, film itu juga memberi kontribusi penting dalam kemajuan bangsa. Nah, pluralisme itu saja sudah menjadi satu kekayaan tersendiri.
- Pengajaran Sejarah Tak Lengkap Dapat Memicu Konflik
Peran penting etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia yang disuguhkan dalam buku sejarah di sekolah belum lengkap. Bahkan, nyaris tak dibahas. Hal itu dikatakan Didi Kwartanada, ahli sejarah Tionghoa Indonesia sekaligus Direktur Yayasan Nabil, dalam peluncuran buku Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi Bagi Pembangunan Bangsa, di Universitas Atma Jaya, Jakarta, Kamis (23/2). Pemahaman tak lengkap mengenai keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia membuat jarak yang besar dengan etnis lainnya. Padahal, peran mereka begitu banyak bagi terbentuknya bangsa ini. Menurut Didi, salah satu contohnya, hingga kini tak banyak yang tahu bahwa ada empat keturunan etnis Tionghoa yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). “Ketika Indonesia akan diproklamasikan pada masa akhir pendudukan Jepang, dalam BPUPKI ada empat orang Tionghoa yang ikut membidani lahirnya UUD 1945,” jelasnya. Keempat tokoh tersebut adalah Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, MR Tan Eng Hoa. Liem Koen Hian, kata Didi, selain mengusulkan warga Tionghoa otomatis menjadi warga negara Indonesia setelah merdeka, dia juga tokoh yang mengusulkan kebebasan pers. Adapun MR Tan Eng Hoa, merupakan tokoh pengusul pasal mengenai kebebasan berserikat. “Ada demo, aksi masa, itu awalnya sebenarnya berasal dari sini,” lanjut dia. Selain fakta sejarah itu, masih banyak peran etnis Tionghoa lainnya dalam pembentukan bangsa Indonesia. Didi menjelaskan, berdasarkan penelitian sejarawan Dennys Lombard, ada empat budaya besar yang memiliki pengaruh mendasar terhadap kebudayaan Nusantara. Salah satunya Tionghoa. Mereka berperan dalam penciptaan teknologi yang meningkatkan kehidupan masyarakat, khususnya bidang pertanian, bahan makanan, alat dapur, teknologi kuliner, pakaian, dan teknologi pertambangan. “Ringkasnya, orang Tionghoa senantiasa ada di sana. Tiap waktu dan zaman,” kata dia. Sementara itu, berdasarkan hasil kajian para pakar demografi atas sensus terbaru tahun 2010. Mereka menemukan, jumlah etnis Tionghoa adalah 1,2 persen (2,83 juta) dari seluruh penduduk Indonesia. Data ini menempatkan mereka dalam peringkat ke-15 kelompok etnis terbesar dari 600 lebih etnis yang ada di Indonesia. Namun, pada kenyataannya, sebagian masyarakat hanya tahu keturunan etnis Tionghoa sebatas hubungan bisnis belaka. Agak berbeda, Ratna Hapsari, Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia mengatakan, masalahnya bukan karena absennya fakta sejarah Tionghoa di buku sejarah sekolah. Alasannya, lebih kepada pembahasan materi sejarah yang terlalu ringkas. Ratna memaparkan, terdapat sejumlah materi yang menyentuh sejarah awal peradaban hingga masa modern Indonesia. Sayangnya, porsi pemahamannya lebih kepada sejarah kebudayaan Tionghoa saja. Itu seperti catatan musafir Tiongkok yang terkait sejarah kuno Nusantara sampai produk budaya yang membaur ke kebudayaan Nusantara. “Tidak mengherankan mudah timbul sejumlah prasangka yang mudah memunculkan sentimen dan konflik,” paparnya. Ratna pun mengimbau, ke depannya materi sejarah yang disampaikan kepada siswa akan semakin baik jika diperluas. Tegasnya, tak ada kombinasi politik dalam penyampaian fakta sejarah itu. “Sejarah itu kebenaran,” tegasnya.
- Totalitas Negara dalam Pesta Olahraga Ganefo
“On Ward! No Retreat!” Terjang Terus! Pantang Mundur! Demikian semboyan Ganefo (Game of New Emerging Forces) yang begitu populer pada masanya. Tagline itu terus bergaung selama Ganefo diselenggarakan. Ganefo merupakan pesta olahraga terbesar yang pernah diselenggarakan Indonesia tahun 1963. Perhelatan Ganefo, menurut Russel Field, sejarawan Universitas Manitoba, Kanada, sarat muatan politik. Ganefo jadi momentum bagi Indonesia untuk unjuk diri sebagai pelopor kebangkitan kekuatan baru (New Emerging Forces). Saat itu, Presiden Sukarno memandang, semangat kekuatan baru ini dapat ditransformasikan ke dalam sebuah kompetisi olahraga. Tak ayal, hal ini memantik perhatian serius dari badan olahraga internasional. “Penyelenggaraan Ganefo menuai reaksi dari badan olahraga dunia. Komite Olimpiade Internasional, yang diwakili presidennya Avery Brundage, misalnya, menganggap Ganefo bertentangan dengan azas olahraga. Indonesia melalui Ganefo berupaya mencampuradukkan olahraga dengan politik,” ujar Russel Field dalam diskusi publik “Ganefo: Politik dan Olahraga dalam sejarah di Indonesia” di Erasmuis Huis, Kuningan, Jakarta Selatan, 22 Februari 2017. Kendati demikian, Ganefo berjalan terus dan berlangsung lancar hingga usai penyelengaraan. Sebanyak 51 negara yang melibatkan 2700 atlet menjadi partisipan untuk 20 cabang olahraga. Di akhir kompetisi, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi juara sedangkan Indonesia menempati peringkat tiga. Menurut Asvi Warman Adam, Ganefo mencatatkan kegemilangan dalam sejarah olahraga di Indonesia. Hal ini bukan ditilik dari pencapaian medali yang diraih Indonesia. Akan tetapi, Ganefo mencerminkan bagaimana segenap lapisan negara turut serta dan antusias dalam mendukung pelaksanaannya. “Bung Karno sangat sungguh-sungguh mempersiapkan Ganefo,” ujar Asvi, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini dapat dilihat dengan dibangunnya berbagai proyek mercusuar: stadion utama Gelora Bung Karno, komplek olahraga Senayan, hingga patung Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia untuk menyambut atlet-atlet yang berlaga di Ganefo. Sebagai sebuah agenda skala internasional, proses persiapannya berhasil digarap dalam waktu yang relatif singkat, kurang lebih 200 hari. Prestasi anak negeri pun tak dapat dikesampingkan. Atlet Indonesia berjaya dalam Ganefo, hanya berada di bawah RRT dan Uni Soviet. Mohammad Sarengat adalah salah satu atlet unggulan Indonesia yang begitu disegani pada kompetisi Ganefo. Dampak sosialnya pun begitu luas. Ganefo terekam baik dalam ingatan bersama masyarakat Indonesia kala itu. Segala hal yang berbau Ganefo melekat dalam kehidupan keseharian. “Di Sumatera Barat ada kereta api ekspres jurusan Payakumbuh-Padang. Di Demak ada pasar Ganefo. Di Sragen ada jembatan Ganefo. Perangko Ganefo bertebaran. Bahkan Ganefo juga dibubuhkan sebagai nama orang,” jelas Asvi. Dari aspek eksternal, Ganefo merekatkan hubungan Indonesia dengan berbagai negara. Yang cukup menarik adalah persahabatan yang baik dengan RRT. Ganefo menjadi panggung bagi RRT –yang belum diakui sebagai negara anggota PBB– untuk tampil dalam pentas dunia. Kehormatan itu direspons baik oleh RRT dengan mengirimkan atlet-atlet terbaiknya untuk berlaga di Ganefo. RRT juga membantu membiayai transportasi peserta dari negara-negara Afrika sebesar 18 juta dolar untuk hadir di Jakarta. “Namun selepas peristiwa 1965, persahabatan itu dirusak oleh pemerintah Orde Baru di bawah rezim Soeharto oleh karena kekeliruan sejarah,” ungkap Asvi. Meski sebagai kompetisi olahraga, tak semua negara peserta mengirimkan atlet andalannya. Sebabnya, Ganefo bukanlah ajang resmi olahraga internasional. Namun, untuk menghormati undangan Indonesia, beberapa negara mengirimkan wakilnya yang bukan dari atlet profesional. Jepang dan Belanda adalah dua di antaranya. Meski demikian, citra profesionalitas atlet tiada mengurangi kemeriahan Ganefo. Menariknya, esensi yang terkandung dalam Ganefo kian ramai dengan adanya Ganefo Art Festival: pertunjukan musik dan film. Menurut Bonnie Triyana, Ganefo merupakan festival dari kekuatan baru bangsa Asia Afrika yang mulai hadir mengimbangi kekuatan-kekuatan lama. Melalui olahraga, Ganefo menjadi upaya untuk mengintegrasikan Indonesia ke dalam pergaulan internasional yang lebih adil dan setara melampaui batas-batas seperti rasialisme dan sektarianisme. Hal ini seiring jalan dengan tujuan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 yang kemudian melandasi spirit Ganefo. “Ganefo bukan sekadar kompetisi olahraga. People to pepole festival. People to people diplomacy, ” ujar Bonnie, pemimpin redaksi majalah Historia . “Ini festival yang melibatkan banyak orang. Festival bangsa-bangsa Asia Afrika yang mewakili kekuatan baru.”
- Kantor Sultan Yogyakarta Diserbu Belanda
Tentara Belanda mencium adanya rapat merencanakan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Kepatihan Danurejan. Maka, esok harinya, mereka menyerbu kantor Sultan Hamengku Buwono IX itu. Mula-mula mereka mendatangi kantor sekretariat Dewan Pertahanan Daerah yang menempati ruangan di sebelah barat bangsal Kepatihan. Tempat ini diobrak-abrik dan para pegawainya ditawan. Setelah itu, mereka mengobrak-abrik seluruh kantor. “Banyak barang diangkut oleh tentara Belanda, menurut Hamengku Buwono IX termasuk surat-surat penting, naskah skripsi yang disusun ketika belajar di Negeri Belanda, dan juga rencana lengkap dari demokratisasi desa sebagaimana telah diterapkannya pada akhir zaman Jepang di Yogyakarta,” demikian tercatat dalam Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX . Sultan kemudian protes kepada Mayor Jenderal Meyer, panglima pasukan Belanda: “Kejadian di kantor Kepatihan beberapa hari yang lalu telah sangat menyinggung kehormatan saya. Anak buah Anda telah bersikap sangat tidak sopan dan mengadakan perampokan.” “Soal Kepatihan itu bukan instruksi saya,” kata Meyer. “Apalagi jika tanpa instruksi, berarti anak buah Anda berbuat di luar perintah dan indisipliner. Dan sekarang ini pun hal yang sama dapat tuan lakukan di Keraton saya karena tuan bersenjata dan saya tidak. Akan tetapi sebelum tuan melakukan itu, tuan harus membunuh saya dulu,” tegas Sultan. Mendengar perkataan tersebut, Meyer dan tujuh orang rekannya gagal menundukkan Sultan untuk mengajaknya bekerja sama dengan Belanda.





















