Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mula Pertentangan Dua Kubu
PADA November 1954, Ahmad Sadali, But Muchtar, Edie Kartasubarna, Hety Udit, Kartono Yudokusumo, Sie Hauw Tjong, Srihadi, Karnaedi, Sudjoko, Soebhakto, dan Popo Iskandar mengadakan pameran di Balai Budaya, Jakarta. Mereka semua mahasiswa Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar, cikal bakal Seni Rupa ITB. Pameran tersebut langsung menarik perhatian beberapa kritikus seni, menimbulkan polemik, dan membagi peta kesenian Indonesia menjadi Kubu Yogyakarta dan Kubu Bandung. Trisno Sumardjo lewat artikelnya di Mingguan Siasat November 1954, “Bandung Mengabdi Laboratorium Barat”, mengecam absennya “jiwa” dalam karya-karya di pameran itu. Sitor Situmorang juga berkomentar dengan nada serupa. Menurut mereka, karya-karya seniman Bandung berjiwa kosong dan merupakan perwujudan laboratorium seni Barat. Komentar-komentar pedas itu membuat Sudjoko, yang ikut pameran, panas. Dua pekan setelah kritik Trisno, dia membalas di majalah yang sama. Sudjoko menyebut Trisno “asal bunyi, asal ngeritik, tapi tidak disertai argumentasi yang memadai.” Sudjoko bahkan menantang Trisno untuk menyaksikan proses belajar di ITB untuk membuktikannya. Polemik tersebut kemudian melibatkan lebih banyak nama dan berlangsung hingga tiga edisi. Menurut Jim Supangkat dalam “Sekitar Bangkit dan Runtuhnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”, yang diarsip ivaa-online.org , perdebatan antara kubu Yogyakarta dan kubu Bandung bertambah parah karena ketiadaan penengah dalam perseteruan tersebut. “Ngotot-ngototan menjadi kian ramai, masing-masing berusaha bertahan pada pendapatnya sendiri-sendiri, menggunakan term yang digariskannya sendiri tanpa peduli, apakah dimengerti orang lain atau tidak.” Padahal, kata sejarawan seni Helena Spanjaard, keduanya sama saja. Kecaman yang diberikan kubu Yogyakarta kurang memperhatikan kenyataan bahwa gaya pelukis-pelukis Yogyakarta yang realis atau ekspresionis, dalam berbagai ragam malah sama kebaratannya dengan kesenian abstrak dari Bandung. “Perbedaan yang besar antara Yogyakarta dan Bandung terletak dalam hal tema pokok lukisan,” kata Helena. Pertentangan antara seniman Yogyakarta dan Bandung sebenarnya sudah muncul bibitnya sejak lama. Asmudjo J. Irianto dalam “Seni Lukis Abstrak Indonesia” yang diterbitkan Jurnal Kalam edisi 27 tahun 2015 menulis pertentangan kedua kubu tidak lepas dari pengaruh Polemik Kebudayaan sebelum masa kemerdekaan. Pertentangan mazhab seni rupa pada 1935 itu antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Alisjahbana mengutamakan penerapan kebudayaan Barat sementara Pane lebih suka merujuk kebudayaan Indonesia. Pascakemerdekaan pertentangan ini diwakili oleh dua institusi pendidikan. Yogyakarta diwakili seniman-seniman Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (kini ISI Yogyakarta) yang mengusung nilai-nilai tradisional dan sosial. Sementara kubu Bandung diwakili seniman lulusan Seni Rupa ITB yang dianggap sebagai laboratorium Barat. Perbedaan paham seni rupa Bandung dan Yogyakarta, Barat-Timur, Universal-Tradisional ditelusuri oleh Asmudjo sebagai bagian dari kultur pendidikan di masing-masing kota. ASRI tumbuh dari keberadaan sanggar, lahir dari usaha para seniman pascakemerdekaan di tengah situasi genting. Sejak awal pendiriannya dosen-dosen ASRI adalah orang Indonesia. Maka tak heran bila gaya atau tema karya tak lepas dari ketradisionalan atau nasionalisme. Sedangkan Seni Rupa ITB adalah warisan pemerintah Belanda yang dulunya Universiter Guru Gambar, bagian dari Fakultas Teknik, Universitas Indonesia di Bandung. Lembaga pendidikan untuk calon guru seni rupa ini didirikan pada 1947. Hampir semua dosennya orang Belanda, salah satunya Ries Mulder. Gaya lukis Mulder inilah yang ditularkan kepada mahasiswa seni di Bandung. Meski belajar di lembaga pendidikan untuk calon guru, para murid Universiter Guru Gambar kebanyakan menjadi seniman yang mengikuti gaya gambar gurunya.
- Menikmati Sejarah Kue Pai
PAI, atau pie dalam bahasa Inggris, merupakan sebutan bagi kue dengan adonan pastry yang diberi isian. Pai bisa disajikan dengan bentuk adonan isi yang tertutup maupun terbuka, kecil, besar, gurih, ataupun manis. Pai pertama dibuat secara sederhana dan umumnya dengan rasa gurih yang terdiri dari keju dan daging. Kamus The Oxford English Dictionary melacak penggunaan kata “pie” pertama yang dikorelasikan dengan makanan pada 1303. Tercatat kata itu menjadi terkenal dan kian populer pada 1362. Namun di balik itu, rupanya tradisi membuat panganan serupa sudah populer sejak masa yang jauh lebih tua. Galettes Awal-mula pai dijadikan sebagai menu pencuci mulut berasal dari periode Neolitik yang dimulai pada 9500 SM. Pai masa ini dikenal dengan sebutan galettes . Ia berisi biji-bijian yang berbeda dengan madu. Galettes dibuat dengan dipanggang di atas bara panas. Pai Ramses II Pastry dibuat tukang roti dengan menambahkan buah, kacang, dan madu di dalam adonan rotinya. Pai ini disajikan bagi Ramses II (1304-1237 SM), raja Mesir Kuno. Bukti dari praktik ini menghiasi dinding makan sang raja. Pada dinding makam Ramses III yang memerintah pada 1186-1155 SM juga ditemukan lukisan pai dengan bentuk spiral. Pai bangsa Romawi Setelah mengalahkan Yunani, bangsa Romawi mengadopsi tradisi kulinernya. Termasuk galettes . Galettes ala Yunani terbuat dari daging yang dibungkus campuran tempung dan air. Pembungkus dari tepung ini berfungsi menjaga supaya lemak, yang biasanya menetes dari daging ketika dipanggang, tidak hilang. Orang Romawi lebih bervariasi dalam menggunakan jenis daging dan berbagai jenis sajian hidangan penutup. Itu termasuk makanan yang disebut dengan secunda mensa , yang merupakan pastry manis terdiri dari buah-buahan. Pai Raja Hanry VI Kebiasaan membuat pai menyebar ke seluruh Eropa. Partridge pie atau pai dengan isian daging ayam hutan diketahui menjadi salah satu makanan yang disajikan saat perayaan penobatan Raja Inggris, Henry VI pada 1429. Pai Apel Sekira abad pertengahan, resep pai apel ( apple pie ) menyebar ke Inggris, Prancis, Italia, sampai Jerman. Pai Kaum Pilgrim Para perempuan dari kaum pilgrim (musafir) membawa resep pai favorit keluarga mereka ke Amerika pada 1620 untuk dijadikan menu makanan penutup. Mereka menggunakan tambalan kue tradisional dan memasukkan buah-buahan, seperti buah berry, ke dalamnya. Resep ini kemudian diadaptasi di era Dunia Baru. Pai Labu Resep pai labu ( pumpkin pie ) pertama yang pernah diketahui muncul di dalam resep masakan British pada 1675. American Pie Perempuan kolonial di Amerika memulai tradisi menggunakan panci bulat untuk membuat pai. Adonan pai yang sudah dipipihkan ditutup dengan adonan pai lainnya yang juga sudah dipipihkan lalu dipotong tepiannya. Pai kemudian menjadi bagian dari budaya Amerika pada 1700-an. Pai George Washington Resep pai favorit George Washington, presiden pertama Amerika Serikat, adalah pie of sweetbreads . Resep ini diambil dari Martha’s Historic Cookbook, a Possession of the Pennsylvania Historical Society . Martha Washington, istri persiden, dikenal pandai memasak. Bahan untuk membuat pai ini di antaranya telur, krim, tepung, margarin, roti manis, dan kerang. Pai Mark Twain Pada 1880, sastrawan Samuel Clemens atau yang dikenal dengan Mark Twain memasukan pai sebagai salah satu makanan favoritnya dalam bukunya A Tramp Abroad . Pengurus rumah sekaligus temannya, Katy Leary, memanggang huckleberry pie sebagai menu makan siang tuannya. Hal ini dimuat dalam buku The American Heritage Cookbook . Ensiklopedia resep masakan modern Pada 1947, sebanyak 65 resep pai manis yang berbeda terdaftar dalam Modern Encyclopedia of Cooking . Pai era modern Pai saat ini beragam. Bukan hanya soal ukuran dan bentuk, namun juga variasi isi. Isian pai disesuaikan dengan kekhasan daerah tertentu. Di India, lumrah ditemui pai dengan isian berbumbu kari. Di Indonesia, pai lebih dikenal dengan nama pastel, dengan isian buah, sayuran, atau daging cincang. Namun, hingga kini, di Amerika khususnya, kata “pie” identik dengan hidangan penutup yang sering disajikan dengan berbagai topping , seperti krim kocok maupun es krim.
- Serdadu Belanda Menolak Perangi Indonesia
SUATU hari di tahun 1947. Seorang anggota BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia) Madiun mendatangi MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta. Moerijanto, nama utusan BPKRI itu, memohon agar MBT membebaskan Piet van Staveren dan menyerahkannya kepada mereka. “Aku pikir mustahil orang-orang kiri itu (BPKRI) melakukan hal tersebut jika sebelumnya tidak dikonfirmasi oleh Partai Komunis Belanda (CNP) bahwa ada anggotanya yang sedang ditahan pihak tentara Indonesia,” ungkap J.C. Princen. Lewat lobi-lobi tingkat tinggi yang sangat alot, Piet kemudian berhasil diboyong ke Madiun. Menurut Asmudji, di Madiun dia disambut dan diperlakukan layaknya seorang pahlawan oleh orang-orang kiri. Nyaris tiap hari, secara bergilir Piet selalu didapuk untuk menceritakan pengalaman hidupnya hingga sampai Indonesia di hadapan para kader Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Bisa dikatakan Piet seolah menemukan habitatnya di Madiun. “Ia menikmati kebersamaan dengan kawan-kawan kirinya di BKPRI dan perlakuan terhadapnya sangat diistimewakan. Itu terbukti dengan ditempatkannya Piet serumah dengan para pemimpin PKI seperti Amir Syarifuddin, Moeso dan Soeripno,” tulis Martijn Blekendaal dalam Indië-Ganger in Gewetensnood. Aktif di Radio Gelora Pemuda Di Madiun, Piet juga bertemu lagi dengan Moerianto Koesoemo Oetojo, sahabat lamanya kala aktif di gerakan bawah tanah melawan pendudukan Jerman di Belanda. “Moerianto kemudian menyediakan tempat untuk van Staveren di Radio Gelora Pemuda…” ujar sejarawan Harry A. Poeze. Sejak itulah Piet sudah resmi tercatat sebagai anggota BKPRI. Secara struktur, dia ditempatlan di bagian agitasi propaganda. Selain memimpin siaran Radio Gelora Pemuda (kemudian berganti nama menjadi Radio Front Nasional) khusus untuk program luar negeri, ia pun bertugas membuat selebaran. “Dia menulis pamflet-pamflet politik mengatasnamakan dirinya dalam nama samaran: Peter Volkland, Komandan Brigade Internasional Batalion Zevenprovinciën…” ungkap Martin Blekendaal. Zevenprovinciën adalah nama sebuah kapal perang legendaris milik Angkatan Laut Belanda yang pernah dibajak awaknya di perairan Sumatera pada 1933. Pemberontakan massif ini bukan saja didukung oleh para marinir dan kelasi bumiputera tapi juga melibatkan kalangan Belanda totok dan Indo yang dicurigai berafiliasi ke serikat buruh sayap kiri. Untuk menegaskan “keindonesiannya”, pada November 1947, Piet diantar oleh Murijanto mengajukan permintaan untuk diterima sebagai warga negara Republik Indonesia. Tak menunggu waktu lama, permintaan tersebut langsung diluluskan oleh Menteri Kehakiman RI yang saat itu dipegang oleh Mr. Susanto Tirtoprodjo. Sejak itulah Piet lantas mengganti namanya menjadi lebih Jawa: Pitojo Koesoemo Widjojo. Terlibat Insiden Madiun Madiun, 18 September 1948. Satu letusan pistol tiba-tiba memecah keheningan malam. Tembakan tersebut kemudian disusul oleh rentetan suara senjata otomatis. Dari lorong-lorong kota, lantas bermunculan pasukan berpakaian serba hitam dengan syal merah di lehernya. Mereka langsung menyerang beberapa instalasi militer milik pemerintah: markas Corps Polisi Militer, Markas Staf Pertahanan Jawa Timur dan tangsi polisi, lalu mendudukinya. “Dalam waktu beberapa jam saja, Madiun berhasil dijatuhkan oleh sebuah kudeta militer dari kelompok yang menamakan diri sebagai Pemerintah Front Nasional…” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Namun penguasaan itu tidak berlangsung lama. Pemerintah Hatta bereaksi dengan mengirimkan pasukan penggempur ke Madiun. Kendati pada mulanya, Pemerintah Front Nasional yang didukung oleh unsur-unsur PKI, Partai Buruh, Pesindo, SOBSI dan kesatuan-kesatuan tentara dari Divisi Panembahan Senopati bisa mengimbangi gempuran tersebut, namun lambat laun kekuatan mereka cerai berai. Itu disebabkan selain miskinnya koordinasi di antara pasukan, juga di kalangan kekuatan politik sayap kiri nasional tak ada kata seiring sejalan. “Yang lebih tragis lagi adalah pernyataan PKI Bojonegoro, Sumatera dan Banten yang menyatakan tetap setia kepada pemerintahan Soekarno-Hatta,” ungkap Soe Hok Gie. Begitu pasukan sayap kiri dipukul mundur oleh kekuatan militer pemerintah di bawah pimpinan Divisi Siliwangi pada Oktober 1948, sebagian dari mereka tercecer dan menjadi tawanan di Madiun. Salah satu tokoh sayap kiri yang tertawan itu adalah Pitojo. Namun tanpa alasan yang jelas, Pitojo kemudian dilepas. Ia kemudian menggabungkan diri dengan sisa-sisa kekuatan sayap kiri di Pacitan. Ditukar dengan Dua Kambing Hampir setahun lamanya Pitojo turun naik gunung dan berjuang di hutan-hutan sekitar Pacitan dan Gunung Lawu. Sebagai tenaga palang merah, ia banyak menolong puluhan bahkan mungkin ratusan gerilyawan yang menjadi korban tembakan rekan-rekan sebangsanya. Hingga tibalah hari gencatan senjata pada Agustus 1949. Sesuai kesepakatan antar kedua belah pihak, maka pada 24 September 1949 para gerilyawan turun gunung dan bergerak kembali ke kota. Begitu juga yang berlaku pada pasukan yang ditempati Pitojo mereka memutuskan untuk keluar dari gunung dan turun ke Solo. Pada saat proses turun gunung inilah sebuah kejadian licik dan mengecewakan terjadi pada diri Pitojo. Saat itu Pitojo tengah berjalan memasuki Solo, ketika dua perwira TNI mengendarai jip berbendera PBB mendekatinya. Mereka lantas menanyakan identitas dan memerintahkan Pitojo untuk naik ke atas jip. Alasannya ia akan dipertemukan dengan para petugas dari UNCI (Komisi PBB untuk Indonesia). Tanpa curiga, Pitojo menuruti perintah tersebut dan bergeraklah jip tersebut ke dalam kota. Pitojo baru merasa curiga ketika di tengah jalan, jip yang mereka tumpangi berhenti tiba-tiba. Tak lama kemudian munculah dua polisi militer Belanda dengan masing-masing sepucuk pistol di tangan mereka dan langsung meringkusnya. Rupanya militer Belanda tak pernah lupa terhadap “pengkhianatan” salah seorang mantan anggotanya dan dengan memanfaatkan “jasa” dua perwira Indonesia tersebut, mereka berhasil mendapatkan buronannya secara mudah. “Ia ditukar oleh kedua perwira Indonesia itu dengan dua ekor kambing dari polisi militer Belanda…” ungkap J.C. Princen seperti yang dituturkan kepada Joyce van Fenema dalam Een Kwestie van Kiezen . Selama ditahan oleh rekan-rekan sebangsanya, Pitojo kerap mengalami siksaan dan hinaan. Dalam sebuah interogasi, bahkan kaca matanya pecah akibat pukulan seorang serdadu ke mukanya. Dari Solo ia kemudian dibawa ke Jakarta dengan menggunakan kendaraan lapis baja. Setelah “dimainkan” oleh polisi-polisi militer Belanda di Jakarta, pada Januari 1950, ia dikirim ke Belanda. Usai meringkuk selama tiga bulan di penjara militer Belanda, ia lantas diadilii mahkamah militer di Velde. Ketika jaksa penuntut umum menanyakakan kenapa ia melakukan desersi dan tega menjadi pengkhianat bagi bangsanya, dengan gagah berani, Pitojo menjawab: “Saya tidak mau ambil bagian dalam aksi militer untuk melawan Republik dan rakyat Indonesia…” Pengadilan militer Belanda kemudian mengganjar Pitojo dengan hukuman kurung selama 8 tahun. Aksi demonstrasi dan protes pun bermunculan, baik di dalam negeri Belanda sendiri maupun di kalangan masyarakat Indonesia dan dunia internasional. Penulis ternama Anna van Gogh Kaulbach, penulis Martin Andersen Nexo, penulis Howard Fast dari Amerika Serikat dan tokoh perdamaian Cekoslowakia Gusta Fucikowa, termasuk deretan orang-orang yang menuntut pembebasan Pitojo dari penjara. Karena desakan khalayak yang bertubi-tubi, pada 3 Agustus 1954, pemerintah Belanda akhirnya membebaskan Pitojo dari penjara. Kebebasan Pitojo disambut gembira oleh para pendukungnya. Di Rotterdam, diadakan penyambutan besar-besaran kepada Pitojo. Kendati tidak semeriah di Belanda, sambutan antusias atas pembebasan Pitojo pun diperlihatkan oleh masyarakat Indonesia. Terhadap ucapan selamat dari orang-orang Indonesia ini, Pitojo membalasnya dalam suatu surat khusus. “Saya ingin menyampaikan harapan agar rakyat Indonesia mempunyai keteguhan hati dalam perjuangan melawan imperialism…” demikian bunyi salah satu bagian dari surat tersebut seperti dikutip oleh Eric Mol dalam Vrijheid voor Piet van Staveren .
- Enam Dasawarsa Bersama Saudara Tua
PADA 20 Januari 2018, Indonesia akan memperingati 60 tahun hubungan persahabatan dengan Jepang. Momentum bersejarah itu juga akan diperingati di Tokyo, Osaka, Fukuoka, Nagoya, Hiroshima, dan Hokkaido dengan spirit “Work Together, Walk Together”. Kedua pemerintah akan menggelar beragam acara dengan melibatkan akademisi, pemuda, dan publik figur. Gadis cantik eks anggota Idol Group AKB48 dan JKT48 Haruka Nakagawa mendapat kepercayaan jadi duta Persahabatan Indonesia-Jepang. Sementara, logo peringatan akan menggunakan rancangan Kresna Setya Wiratama, siswa kelas XII SMAN 2 Ngawi, Jawa Timur, berupa elaborasi wayang dan bunga sakura. Hubungan kedua bangsa memang sudah terjalin sejak lama. Menurut catatan, pada abad ke-17 sudah ada niagawan Jepang yang rutin mendatangi Jawa atau pulau-pulau lain di Nusantara. Namun, Jepang secara resmi baru masuk pada Februari 1942. Mereka datang sebagai “saudara tua” yang akan membebaskan bangsa Asia dari kolonialisme Barat dengan slogan Tiga A: Nippon Pemimpin Asia, Pelindung Asia, dan Cahaya Asia. Mereka baru hengkang begitu kalah Perang Dunia II tiga setengah tahun kemudian. Lepas dari kekejaman masa pendudukannya yang singkat itu, Jepang punya andil bagi berdirinya Republik Indonesia. Pendudukan Jepanglah yang memungkin nasionalisme Indonesia masuk ke akar rumput dan bertumbuhkembang pesat. Dalam praktiknya, nasionalisme itu mewujud dalam beragam kegiatan yang dilakukan badan-badan bentukan Jepang sepeti PETA (Pembela Tanah Air), Fujinkai (Organisasi Perempuan), atau Heiho (Pembantu Militer Jepang). Banyaknya organisasi semi-militer bentukan Jepang, seperti PETA, pada gilirannya menjadi modal bangsa Indonesia ketika mendapatkan kemerdekaan dan mempertahankannya dari rongrongan Belanda yang ingin kembali berkuasa usai perang. Para aktor utama dalam berbagai pertempuran semasa revolusi macam Soedirman, A. Yani, Ibrahim Adjie merupakan didikan Jepang. Serdadu-serdadu Jepang sendiri tak sedikit yang memilih tetap tinggal di Indonesia dan ikut bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia, 1945-1949. Namun, hubungan diplomatik Indonesia-Jepang baru mulai membenih setelah adanya Treaty of San Fransisco, perjanjian damai Jepang-Sekutu dan negara-negara yang pernah dijajahnya, 8 September 1951. Indonesia, diwakili Menlu Ahmad Subardjo, menjadi salah satu negara yang hadir. Traktat itu antara lain menghasilkan pampasan perang, termasuk untuk Indonesia sebesar 220.080.000 dolar Amerika. Subardjo awalnya merasa terpaksa ketika bersedia ikut meneken hasil traktat. Pasalnya, permintaan amandemen Ayat 9 tentang perikanan dan Ayat 12 tentang perdagangan tak dikabulkan pimpinan konferensi traktat tersebut –hal yang membuat traktat itu kemudian tak kunjung diratifikasi. Subardjo bersedia ikut menandatangani traktat itu setelah mendapat jaminan pribadi dari Perdana Menteri (PM) Jepang Shigeru Yoshida, yang menemui Subardjo di sela-sela jeda konferensi dan melakukan pembicaraan empat mata. “PM Yoshida dalam pembicaraan tertutup itu memberi jaminan lisan dan tertulis bahwa Jepang akan menunaikan kewajiban mereka dengan niat baik dan menginterpretasikan Ayat 9 dan 14 dengan lebih fleksibel. Ini yang kemudian mendorong Subardjo mau ikut menandatangani traktat itu,” ungkap KV Kesavan dalam artikel “The Attitude of Indonesia towards the Japanese Peace Treaty”, dalam jurnal Asian Studies: Journal of Critical Perspective on Asia. Jaminan Yoshida itu mulai direalisasikan pada Desember tahun yang sama. “Pada pembicaraan pertama di Tokyo itu, Indonesia menuntut pampasan perang (tambahan) 17,5 miliar dolar Amerika,” tulis Audrey Kahin dalam Historical Dictionary of Indonesia. Jepang menolak. Jepang sendiri menginginkan perizinan untuk para nelayan mereka berburu ikan di perairan Indonesia sebagai salah satu syarat negosiasi. Di sisi lain, PM Yoshida menjanjikan kemitraan dalam berbagai bidang ekonomi. “Jika Indonesia berkenan bekerjasama dengan Jepang dalam membangun Asia yang baru, Jepang bersedia menambah pampasan perang 200-300 juta dolar Amerika, namun Jika Indonesia menolak, Jepang takkan membayar sepeser pun pampasan perang,” cetus Yoshida mengingatkan, sebagaimana dikutip Masashi Nishihara dalam Japanese and Sukarno’s Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations 1951-1966 . Meski hubungan diplomatik kedua negara belum ada pada 1951, kerjasama di bidang bisnis sudah berjalan. Menurut Nishihara, pada 1951 beberapa perusahaan asal Indonesia seperti DMC, Bakri Bros, CTC, dan Oei Tiong Ham Concern sudah membuka kantor di Tokyo dan Osaka. Niat Jepang untuk “rujuk” dengan Indonesia menguat pada 1952 hingga 1957, terutama setelah PM Jepang dijabat Nobusuke Kishi. “Tidak seperti para pendahulunya, Kishi ingin menjalin integrasi ekonomi dengan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kishi kemudian jadi PM Jepang pertama setelah perang yang mengunjungi Asia Tenggara pada Mei 1957,” tulis Indonesian Economic Decolonization in Regional and International Perspective . Berbarengan dengan itu, tensi hubungan Indonesia-Belanda memuncak. Presiden Sukarno dan beberapa ideolog negeri seperti Chairul Saleh mulai mendekati Jepang yang dianggap potensial sebagai sekutu dalam membangun perekonomian nasional. Pada 28 November 1957, Sukarno dan Kishi menandatangani perjanjian kerjasama. Menurut Nishihara, di buku yang sama, perjanjian yang baru diumumkan pada 8 Desember 1957 itu berisi bantuan pembangunan dari Jepang untuk Indonesia sebesar 400 juta dolar Amerika dan tambahan pampasan perang dengan nominal serupa. Perjanjian itu menjadi batu pijakan baru bagi rekonsiliasi kedua negara. Hubungan diplomatik lantas didirikan atas Perjanjian Perdamaian yang ditandatangani kedua pihak pada 20 Januari 1958. Sebulan setelah lahirnya hubungan resmi, Soekarno bertandang ke Jepang . “Pembayaran pampasan-pampasan perang itu sudah bergulir di awal tahun 1960. Setelah 1957, jalinan ekonomi antara Jakarta dan Tokyo berkembang. Jepang mulai membeli kebutuhan primer dari Indonesia. Indonesia juga mulai mengekspor minyak ke Jepang. Setidaknya 46 persen minyak mentah Indonesia diekspor ke Jepang, sebagaimana juga hasil alam lainnya seperti bauksit, nikel, karet dan kayu.” Kemitraan itu terus bertahan. Hingga kini, Jepang salah satu mitra ekonomi terpenting Indonesia. Situs Kementerian Luar Negeri RI, kemlu.go.id , 17 Desember 2017 mengungkapkan, Jepang merupakan investor terbesar kedua untuk Indonesia (nilai investasinya pada 2016 mencapai 5,4 milyar dolar Amerika). Hal itu berjalan terutama setelah disepakatinya Strategic Partnership for Peaceful and Prosperous Future pada 28 November 2006 dan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement, 20 Agustus 2007. Toh, kerjasama Indonesia-Jepang tak semata di bidang ekonomi. Kerjasama juga terjadi pada bidang-bidang lain seperti pendidikan, kebudayaan, hingga pertahanan. Sebagai penghormatan terhadap kerjasama itu, di kantor Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Jepang sampai ada patung perunggu Jenderal Soedirman setinggi empat meter. Patung itu merupakan hadiah persahabatan dari Kemenhan RI pada 2011. “Menteri Purnomo (Yusgiantoro, Menhan RI saat itu) mempersembahkan patung perunggu ini pada Januari 2011. Patung sosok Soedirman yang punya kedekatan dengan Jepang,” tulis pernyatan resmi situs Kemenhan Jepang, mod.go.jp.
- Rupa Istana Raja-Raja Hindu-Buddha
TAK banyak yang tersisa dari istana-istana pada era kerajaan Hindu-Buddha. Alih-alih membangun istana dengan batu seperti bangunan keagamaan yang megah, para penguasa memilih bahan yang mudah hancur. Meski begitu, keterangan soal rupa istana bisa diperoleh dari berita Cina, karya sastra, dan data arkeologi. Keterangan tertua soal ibukota kerajaan di Jawa disebut dalam berita Cina dari masa Dinasti Tang (681-906). Kota di Jawa itu dikelilingi tembok yang terbuat dari papan kayu. Di dalamnya terdapat rumah-rumah besar berlantai dua beratap daun kelapa. Bangunan-bangunan itu dibuat dengan bahan yang mudah hancur ketimbang bangunan keagamaan yang umumnya terbuat dari batu. Tidak disebutkan adanya bangunan batu untuk istana raja. Berita Cina dari masa Dinasti Sung (906-1279) menyebut ibukota kerajaan Jawa memiliki tembok-tembok kota, parit, tempat harta, dan lumbung pangan. Semuanya dijaga sekira 1000 pegawai rendahan. Sang raja duduk di atas balai-balai berbentuk persegi. Panglima perang Cina dari Dinasti Yuan (1280-1367) yang datang untuk menaklukkan Jawa melaporkan bahwa Da-ha (Daha) merupakan kota dengan benteng. Namun, tak dijelaskan benteng itu tembok keraton atau kota dan terbuat dari bahan apa. Informasi bagaimana bentuk istana lebih banyak didapat pada masa Majapahit. Dalam Yingya Shenglan (1416) Ma Huan menulis Negara Jawa yang sebelumnya dikenal dengan nama Ja-pa memiliki empat kota yang semuanya tidak punya tembok. Raja menetap di kota bernama Majapahit, atau yang dalam lafal Hokiian (Fujian) selatan, Moa-cia-pa-i . Kediamannya dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 9 meter, panjangnya lebih dari 90 meter. Gerbangnya dua lapis dan sangat bersih serta terpelihara. Rumah-rumah di dalamnya terletak 9-10 meter di atas tanah. Lantainya dari papan yang ditutupi tikar rotan yang halus atau tikar rumput yang dianyam untuk orang-orang duduk bersila. Atapnya menggunakan papan kayu keras yang dibelah dan dibentuk seperti genting. Berbeda dengan itu, rumah tinggal penduduk dialasi jerami dan dilengkapi ruang penyimpanan yang terbuat dari batu. Tingginya sekira 1 meter. Tempat ini biasa digunakan untuk meyimpan barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk. Dalam karya sastra ibukota sering disebut dengan istilah rajya, nagara, kadatwan, dan pura. Nagarakrtagama menggambarkanistana atau pura Majapahit dikelilingi tembok batu merah, tebal, dan tinggi. Tembok ini memisahkan bangunan keraton dari bangunan lainnya. Pintu gerbang utama terletak di utara. Rumah tinggal para pejabat tinggi sipil, khususnya rumah Narapati dan Gadjah Mada, serta tempat penjagaan dan balai pertemuan terletak di sebelah utara kompleks istana. Sebaliknya rumah tinggal pejabat tinggi keagamaan dan gedung peradilan terletak di selatan istana. Rumah pejabat keagamaan terbagi menjadi dua: pendeta Buddha di sebelah barat dan pendeta Siwa di sebelah timur. Bagitu masuk gerbang kedua terlihat taman istana yang luas dan indah. Ada beberapa wisma dan pendopo untuk orang-orang menunggu giliran menghadap raja. Tempat raja bertakhta di Balai Witana yang berhias serba gagah berada di bagian timur. Tempat tinggal Raja Hayam Wuruk dan kerabatnya terletak di halaman ketiga (paling belakang) dari kompleks istana. Di sebelah timur Balai Witana berdiri gapura pertama yang terlarang bagi sembarang orang. Sementara di sebelah selatan dihuni Singhawardhana, ipar Hayam Wuruk, bersama Ratu Pajang dan putra-putrinya. Kertawardana, ayah Hayam Wuruk bersama Ratu Kahuripan, tinggal di sebelah utara. Saking indahnya, Nagarakrtagama menyebut ketiga istana itu bagaikan kayangan. Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni. Kakinya dari batu merah berukir, bergambar aneka lukisan. Genting atapnya dihiasi tembikar berukir. Bunga tanjung, kesara, campaka, dan lainnya menghiasi halaman. Gambaran itu dapat sedikit divisualisasikan dengan mencocokkan bangunan yang kini masih tersisa di Trowulan dan di relief Candi Jago yang berangka tahun 1343 M. Relief Candi Bentar di Candi Jago punya keserupaan dengan bentuk gapura Candi Bentar di situs Wringin Lawang, Trowulan. Bentuk ini merupakan pintu gerbang untuk masuk ke satu kawasan yang di dalamnya beberapa bangunan panggung, baik bertiang terbuka maupun tertutup. Ada pula pintu gerbang yang berbentuk paduraksa. Dalam relief Candi Jago diketahui gerbang paduraksa ini memiliki pagar dinding yang tinggi dan panjang mengelilingi gugusan bangunan panggung, seperti balai-balai yang lebih besar ukurannya. Jika dilihat dari relief itu, balai-balai mungkin terdiri dari tiang kayu dan atap genting. Ini didukung temuan artefak miniatur rumah yang kini ada di Museum Trowulan. Mengenai model susunannya, menurut Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa kompleks istana raja, di Jawa khususnya, tidak mengikuti konsep kosmologis, di mana negara dan tata kota menggambarkan kerajaan dewata di bumi. Tatanan kosmis semacam itu mestinya menempatkan istana raja dalam posisi di tengah lingkaran. Sementara bagian lain dari istana dan ibukota akan menggambarkan replika dari tatanan ibukota kayangan, di mana Dewa Indra ada di pusat. Alih-alih mengambil susunan seperti itu, kompleks istana raja di Jawa ini memilih susunan pembagian dua secara dikotomis. “Gagasan itu memang dikenal di lingkungan istana. Setidaknya oleh para pujangga keraton, tetapi di Jawa, konsep itu tidak diterapkan, khususnya dalam penataan kota dari tata ruang istana,” tulis Supratikno. Rasanya memang akan meleset jika membayangkan sebuah bangunan istana pada masa Hindu-Buddha berbentuk seperti Keraton Yogyakarta pada masa yang lebih modern. Menurut Suwardono, sejarawan Malang, khususnya pada masa Singhasari, Konsep istana ketika itu adalah sistem kuwu. “Tergantung rajanya tinggalnya di mana, di situ menjadi istananya,” ujarnya. Karena tak tetap, bangunan itu pastilah sesuatu yang temporer sifatnya. “Ya, dari bahan organik, kalau cari keratonnya ya nggak bakal ketemu,” lanjutnya. Kecuali ibukota Kerajaan Majapahit, khususnya sejak masa Hayam Wuruk, gambaran ibukota kerajaan di Jawa Timur sangat sedikit diketahui. Kemungkinan lain adanya kebiasaan untuk membiarkan pusat pemerintahan lama hancur bila terjadi pergantian dinasti. Meski begitu perpindahan ibukota ke tempat baru tak selalu berarti hancurnya ibukota lama. Kota Kahuripan, Janggala, Kadiri, dan Tumapel, Singhasari tetap menjadi pusat pemerintahan yang penting meski tak lagi jadi ibukota kerajaan.
- Demi Buruh dan Tani yang Tertindas
Pagi baru saja memasuki Madiun ketika Radio Gelora Pemuda (RGM) mengudara seperti biasa.Namun berbeda dengan siaran-siaran yang lalu, saat itu RGM menampilkan seorang penyiar berbangsa Belanda bernama Peter Volkland. Dalam bahasa Belanda, sang penyiar menyerukan agar semua serdadu Belanda yang sedang bertugas di Indonesia untuk tidak mematuhi segala perintah menindas rakyat Indonesia. “Banyak dari kalian yang nanti akan tewas dalam perang ini, tapi untuk apa? Sesungguhnya apa yang kalian lakukan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepentingan Belanda yang katanya sedang kalian bela. Secara tidak sadar kalian hanya tengah membela kepentingan segelintir elite keluarga kerajaan. Wahai kawan-kawanku sesama pemuda Belanda darah kalian tidak pantas tumpah untuk sebuah keluarga yang memiliki lebih banyak darah Jerman dibandingkan darah Belanda…Serdadu-serdadu Belanda janganlah berkhianat kepada orangtua kalian sendiri, apakah kalian sadar bahwa orang-orang yang tengah kalian hadapi di sini adalah para buruh tani laiknya orangtua kalian di Belanda sana…” demikian bunyi pidato Peter seperti dikutip Harry A. Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak . Sontak pihak Belanda marah dengan siaran tersebut. Mereka mengajukan protes keras. Ketidaksenangan pihak Belanda itu lantas dilanjutkan oleh Pemerintah Republik Indonesia ke pihak BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia) yang membawahi RGM. “Siaran itu bisa mengganggu perundingan-perundingan antara Belanda dengan Indonesia sebagai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati,” ujar Asmudji dalam Pitojo: Aku Menolak Bertempur melawan Saudara-Saudaraku Pemuda Indonesia. Lantas siapakah sebenarnya Peter Volkland? Desersi Peter Volkland tentu saja hanya nama samaran. Nama asli penyiar muda berkebangsaan Belanda itu sejatinya adalah Piet van Staveren. Piet adalah anggota ANJV (Organisasi Pemuda Belanda yang berafiliasi ke Partai Komunis Belanda). Semasa Belanda dikuasai Jerman, dia terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah untuk melawan Jerman, di mana dia berkenalan dengan sejumlah pemuda Indonesia seperti Maroeto Darusman, Moerianto Koesoemo Oetojo dan Setiadjit “Sebagai anggota partisan, hidupku selalu diiringi bahaya. Tidak jarang, untuk menghindari kejaran mata-mata NAZI dan Gestapo, kami harus bersembunyi beberapa hari,” ungkapnya dalam Vrijheid voor Piet van Staveren karya Eric Mol. Pengalamannya berhadapan dengan segala kekejaman Jerman menjadikan Piet sangat membenci fasisme dan segala bentuk penindasan. Termasuk penindasan yang dilakukan oleh bangsanya terhadap rakyat Indonesia. Karena prinsip itu pula, bersama ribuan pemuda Belanda lainnya, Piet menolak mentah-mentah permintaan pemerintah Belanda untuk masuk wajib militer dan diberangkatkan ke Hindia Belanda pada 1946. Namun takdir menentukan Piet tidak bisa mengelak dari “kewajiban” tersebut. Suatu hari, saat dia tengah berjalan-jalan secara tiba-tiba dia ditangkap. Pemerintah Belanda lantas memberikan dua pilihan kepadanya: diadili sebagai penjahat perang atau pergi ke Indonesia. Piet akhirnya memilih untuk pergi ke negeri tropis itu, dengan syarat: ditempatkan di barisan palang merah. Singkat cerita, Piet diberangkatkan ke Indonesia. Dia lantas ditempatkan di Cimahi. Berbeda dengan janji semula pihak militer Belanda, di sana dia ternyata dimasukan dalam grup pasukan tempur, bukan di bagian medis atau palang merah. Piet tentu saja marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Alih-alih ditanggapi, beberapa saat kemudian Piet malah dipindahkan ke Nyalindung, sebuah desa yang terletak antara Sumedang dengan Cirebon, batas demarkasi antara militer Belanda dengan tentara Republik Indonesia, di mana pertempuran hebat selalu terjadi di antara dua pihak yang tengah bertikai. Piet menjalani kehidupannya sebagai seorang serdadu dalam situasi setengah hati. Sebagai seorang komunis yang lurus, hati nuraninya tak bisa menerima kenyataan jika dirinya harus berhadapan dengan kaum proletar yang ingin merdeka. Setelah berperang hebat dalam dirinya, maka pada 14 Juni 1947, ia lari melintas garis demarkasi untuk menjadi seorang desersi. “Tentu saja itu aku lakukan, demi keberpihakanku kepada para buruh dan tani yang tertindas oleh negaraku sendiri,”ujar lelaki kelahiran Rotterdam pada 1925 itu. Namun tidak serta merta, pihak militer Indonesia percaya begitu saja kepada niat Piet. Setelah berminggu-minggu ditahan di Sumedang, ia kemudian diserahkan ke PT (Polisi Tentara) di MBT (Markas Besar Tentara) Yogyakarta. “Seperti yang pernah saya alami, orang-orang Indonesia itu tak begitu saja percaya pada bule-bule totok seperti aku dan Piet, mereka selalu minta waktu meyakinkan diri bahwa keputusan kami bergabung dengan Republik adalah betul-betul keinginan murni kami sendiri…” ujar J.C. Princen, salah satu pembelot Belanda lainnya. (Bersambung)
- H.R. Dharsono, Akhir Tragis Mantan Loyalis
HARU bercampur jengkel dalam kalbu Ali Sadikin ketika menghadiri pemakaman H.R. Dharsono. Bagaimana tidak, sebagai tokoh militer yang berjasa bagi negara, pemerintah hanya bersedia memakamkan Dharsono di Tempat Pemakaman Umum Sirna Raga, Bandung. Dharsono kehilangan haknya untuk dikebumikan di Taman Makam Pahlawan karena pernah dipenjara lebih dari setahun. Meski berasal dari matra berbeda, kondisi tersebut membuat Ali Sadikin berang. “Berbicara sebagai wakil keluarga, waktu itu Ali Sadikin menyatakan bahwa Dharsono ikut mendirikan Orde Baru dan sekarang ia dibunuh oleh Orde Baru. Belum selesai Sadikin berbicara, seseorang telah maju dan merenggut pengeras suara dari tangannnya,” tulis Aris Santoso dkk dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa . Kemal Idris lebih geram lagi. Tatkala melepas kepergian terakhir sahabatnya itu, Kemal menggerutu. “Seperti menguburkan kucing saja,” kata Kemal seperti dikutip Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto . Kritik Berujung Bui Pertengahan Januari 1978, Dharsono yang saat itu menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) ASEAN, berpidato di hadapan anggota eksponen 66 di Bandung. Dalam pidato itu Dharsono menyeru kepada ABRI untuk lebih memperhatikan kesulitan rakyat. Menurut Dharsono yang paling penting bagi pimpinan ABRI adalah mendengarkan aspirasi rakyat kecil. “Jika mereka tetap mengandalkan kekuasaan dan kekuatan militer, maka rakyat akan menurut karena takut, bukan karena mencintai ABRI,” himbau Dharsono sebagaimana dikutip David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia, 1975—1983 . Kritik Dharsono dilatari penyimpangan pemerintahan Orde Baru yang berubah menjadi rezim represif, keras, dan anti-demokrasi. Untuk mengoreksi dan mengarahkan kembali, maka Dharsono terdorong bersuara. Sekalipun Dharsono berbicara dalam kapasitas pribadi, ucapannya dianggap terlalu keras bagi kelompok penguasa. Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean sampai gusar dan menuntut Dharsono meminta maaf. Ketika Dharsono menolak, pemerintah memutuskan mencopot kedudukannya dari ASEAN. Setelah tak menjadi Sekjen ASEAN, mantan loyalis Orde Baru itu bergabung dengan Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD. Fosko yang berdiri pada April 1978 ini merupakan wadah tukar pikiran bagi para perwira tinggi pensiunan dari Divisi Brawijaya, Divisi Siliwangi, dan Divisi Diponegoro atau lebih dikenal dengan sebutan Brasildi. Dharsono dipercaya menjadi Sekjen Fosko TNI AD. Sejak terbentuk, lembaga yang dipimpin Letjen (Purn.) Djatikusumo ini mengambil tempat di jalur kritis. Selain mengkritik Golkar, mereka mempertanyakan arah dwifungsi ABRI dan menyoal ketimpangan sosial-ekonomi. Aksi Dharsono bersama para jenderal pensiunan lain semacam Achmad Sukendro, M. Jasin, dan lainnya menyulut amarah Soeharto dan berujung pada pembubaran Fosko pada 1979. Cap sebagai musuh pemerintah makin melekat pada diri Dharsono setelah namanya dikaitkan dengan kelompok oposan Petisi 50. Menurut sejarawan Australia yang mengkaji tentang Indonesia Merle Calvin Ricklefs, petisi ini menuduh Presiden Soeharto telah salah menafsirkan Pancasila dengan berlaku seolah-olah dia merupakan perwujudan Pancasila itu sendiri. “Tuduhan lainnya adalah penyalahgunaan ABRI untuk berpihak dalam urusan politik sebagaimana terlihat dalam kebijakan tangan besi ABRI untuk menggenjot suara Golkar, tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 . Meski tak terdaftar sebagai anggota petisi, Dharsono dikenal dekat dengan Ali Sadikin – salah satu tokoh penggagas Petisi 50. Mengenai Petisi 50, Dharsono pernah menyatakan, “Memang saya tak ikut tanda tangan Petisi 50 tetapi saya sejiwa dengan mereka.” Namun di mata Soeharto, Dharsono setali tiga uang dengan Petisi 50. Yaitu sama-sama pembangkang yang harus ditindak. Ketika mulai “akrab”dengan kalangan Islam – kelompok yang juga jadi batu sandungan bagi pemerintah, Dharsono betul-betul menjadi incaran. Tudingan subversif yang berbau tipu daya mengantarkan Dharsono ke pintu jeruji besi. “Dharsono pernah menghadiri pertemuan anti-pemerintah yang diadakan di rumah pemimpin Islam dan pendakwah A.M. Fatwa,” demikian menurut Soeharto seperti ditulis Robert Edward Elson dalam Suharto: A Political Biography . Akibat dipenjarakan dalam usia senja, kondisi fisik Dharsono merosot drastis. Penjara LP Cipinang yang lembab menyebabkan Dharsono terkena penyakit bronkitis. Kesehatannya pun memburuk meski bebas dari penjara pada 1990. Pada hari Rabu 5 Juni 1996, Dharsono menghembuskan nafas terakhir di Bandung karena komplikasi penyakit. Ketika hendak dimakamkan, timbul polemik. Jenazah Dharsono ternyata tak boleh dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Menurut Salim Said, Soeharto tak memperkenankannya. Berselang dua tahun kemudian, rezim Soeharto runtuh. Pada 1998, Presiden Habibie yang menggantikan Soeharto, merehabilitasi nama baik Dharsono. Dharsono yang meninggal setelah lama dipenjara karena mengkritik Soeharto, diberikan penghargaan Bintang Mahaputra Utama, penghargaan tertinggi dalam sistem penghormatan Indonesia, sebagai pengakuan atas sumbangan Dharsono terhadap kemerdekaan Indonesia.
- Happy Birthday & Potong Kuenya
SETIDAKNYA sampai dengan berakhirnya bulan September 1965, ketika tatanan budaya masyarakat Indonesia masih dibagi dalam tiga kelompok politik, masing-masing Nasionalis, Agama, Komunis –disingkat Nasakom– sesuai maunya Pemimpin Besar Revolusi –disingkat Pembesrev– Soekarno sang orator ulung, maka dalam mengucapkan "selamat hari ulang tahun" disertai nyanyian "Happy Birthday to You", arkian kita akan segera mengetahui dari latar apa –Nasionalis, Agama, Komunis– yang memberi selamat ulang tahun tersebut berdasarkan pilihan istilah yang dipakainya.
- Mengusung Ulah Adigung
LOGAT Sunda begitu kental mengiringi cerita yang keluar dari mulut Tommy Manoch. Padahal, dia blasteran Kupang-Belanda. Meski sudah beberapa kali terserang stroke ringan, Tommy masih bergairah jika mengenang masa mudanya menjadi joki kuda besi di lintasan balap. Pria kelahiran Bandung, 3 Maret 1947 dari pasangan John dan Edith Manoch itu merupakan satu dari sedikit maestro balap motor yang masih ada. Dia merintis karier balap melalui balap sepeda. Sejak usia 8 tahun, Tommy sudah ikut berbagai lomba balap sepeda. Meski sudah tak ingat pastinya, dia sempat beberapa kali juara. Suatu hari, ayahnya yang hobi motor membelikan Tommy sebuah motor BMW 250. “Mulanya saya enggak suka sama motor. Awalnya juga saya diamkan saja di rumah. Tapi beberapa waktu kemudian, saya coba di lingkungan rumah, eh kok enak juga (jajal motor) ya. Dari situ saya mulai sering datang ke ajang balapan, hanya sekadar nonton saja,” ujarnya kepada Historia . Dari situ pula Tommy mulai kenal sejumlah pembalap senior macam Tjetjep Heriyana serta M Gumilar. Tommy pun terjun ke dunia balap motor. Debutnya terjadi di GP Indonesia 1963 di Sirkuit Curug. Sebagai pendatang baru, Tommy yang mengendarai Honda CB72 250cc tampil prima meski sebelumnya terserang demam. Dia menjuarai dua kelas sekaligus. “Pembalap muda ini keluar sebagai pemenang pertama dalam nomor 250 cc, junior (25 km) dengan Honda dan merebut pula gelar juara pertama dalam 250 cc Grand Prix (42 km) ,” tulis Majalah Djaja tahun 1963. Sekira tiga setengah tahun berkarier di balap motor, Tommy lalu menjajal balap mobil. “Belakangan saya coba balap mobil, diajak Hengky Iriawan (ipar Tommy). Saya coba mobil dan go-kart sampai ke Makau. Di Makau saya balapan dengan (mobil) Mini Cooper,” lanjut Tommy. Namun, karier Tommy di arena balap roda empat amat singkat dan berakhir tragis. Kecelakaan mencederai dirinya. Dia lalu memilih pensiun. Prinsip Karier balap sarat prestasi di tingkat nasional Tommy tak semata berasal dari kerja kerasnya. Menurutnya, ada prinsip yang selalu dia pegang. “Ulah Adigung” namanya, istilah bahasa Sunda yang berarti: “Jangan Sombong”. Tommy menuliskan prinsip itu sebagai slogan di tangki motornya. “Ungkapan itu ya muncul dari diri saya sendiri. Karena saya merasa yang lain pada bangga (pamer) dengan pakai motor merek-merek yang lebih keren. Saya merasa, kok enggak ada yang bangga sama Indonesia? Dari situ saya cat saja tangki motornya itu, saya tuliskan: ‘ Ulah Adigung ’,” kata Tommy. Prinsip itu mendorongnya untuk selalu tampil sportif saat balapan, bahkan ketika ada saingan yang mencoba berbuat curang. “Ada satu pembalap (sengaja namanya tidak disebutkan), mau curangin tangki bensin saya waktu balapan di (sirkuit) Pangkalan Jati. Tangki saya itu diisi air sama anak buahnya, biar motor saya macet, biar mogok. Tapi sebelum balapan, saya sudah tahu. Saya tidak marah. Malah saya coba datangi. Saya ajak bicara bahwa kita ini balapan buat Indonesia juga, makanya jadilah pembalap yang baik, yang sportif. Habis itu nangis dia, peluk saya,” ujarnya. Prinsip itu pula yang ikut menentukan karier Tommy setelah pensiun balap. Meski sempat bekerja di Honda Imora, dia kemudian pilih membaktikan diri pada kemanusiaan. Tommy bekerja sebagai pelayanan ibadah untuk para tahanan yang beragama Nasrani di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Untuk biaya hidup, Tommy dan istri bersama putra bungsunya mengelola sebuah perusahaan kosmetik E&T di rumahnya, kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. “Tapi setelah kena stroke , Papa sudah tidak lagi. Soalnya pernah kejadian pas mau pulang dari (memberikan) pelayanan itu, Papa sempat jatuh di tengah jalan,” timpal Berto, putra Tommy. Agustus 2015 silam, Tommy mendapat kejutan tak bernilai. Dia mendapat hadiah sebuah motor replika Honda CB72 persis yang digunakannya saat balapan dulu. Motor itu dibangun kembali atas bantuan Ulah Adigung Project yang diprakarsai fotografer cum bikers dari Elders Company Heret Frasthio, Berto putra sulung Tommy, Omar, dan Arya Hidayat. Dari kampanye yang mereka galang, terkumpul sumbangan sejumlah parts dan dana sekira Rp50 juta. “Kita menggagas ini karena merasa perlu adanya tokoh yang kita angkat dalam permotoran Indonesia. Kita rebuild berdasarkan riset foto-foto Om Tommy yang ada. Kita juga kampanye via online dan media sosial dengan memperkenalkan siapa sih Tommy Manoch ini,” kata Heret ketika ditemui terpisah. Selain mendapat banyak sumbangan dari berbagai komunitas, mereka menggunakan berbagai komunitas itu untuk menyebarkan pesan yang diangkat lewat slogan “Ulah Adigung” milik Tommy Manoch ke semua bikers di Indonesia. “Yang diangkat visi sosial, dan diharapkan bisa menginspirasi banyak orang. Makanya kemudian project ini kami katakan sangat berhasil.” Heret mengaku, timnya sempat bimbang untuk menghadiahi Tommy motor itu. Tapi setelah rembukan dengan keluarga, mereka mantap. Pada 17 Agustus (2015) di acara Mods vs Rockers, kita serahkan motornya ke Om Tommy,” lanjut Heret. “Om Tommy responsnya terkejut banget, bahagia banget . Dia yang mendadak jadi sehat langsung naik ke panggung. Motornya dinyalain, di- starter , dibawa keliling dengan kondisi habis stroke.” Motor legendaris Tommy itu kini berada di sebuah sudut dekat pintu depan kediaman Tommy. Bersamanya, berbagai memorabilia tentang Tommy memenuhi dinding ruangan. Kondisi motor itu masih terjaga, mesinnya masih bisa dihidupkan. “Tapi memang beberapa bagiannya saya cabut, saya lepas. Takut tiba-tiba atau diam-diam Papa nekat nyalain (mengendarai) motornya,” kata Berto.
- Ketika Bung Besar Digugat Cerai
PROKLAMATOR dan Presiden pertama RI Sukarno, dikenal sebagai seorang pencinta. Tidak hanya pencinta seni, Bung Besar juga pencinta makhluk Tuhan bernama wanita. Tidak heran sepanjang hidupnya acap diramaikan kisah-kisah percintaan dengan sembilan istri. Ada yang bertahan sampai akhir hayat Putra Sang Fajar, ada pula yang akhirnya menggugat cerai. Dari kesembilan istri Bung Karno, enam di antaranya berakhir dengan perceraian; Siti Oetari, Inggit Garnasih, Kartini Manoppo, Haryati, Yurike Sanger dan Heldy Djafar. Sukarno dan Oetari Lantaran menumpang di rumah “mentornya”, HOS Tjokroaminoto di Gang Paneleh, Surabaya, Sukarno muda bisa dekat dengan keluarganya. Termasuk dengan Siti Oetari, putri sulung HOS Tjokroaminoto. Sukarno memutuskan untuk menikahinya pada 1921. Ketika itu, Oetari belum lama ditinggal mati ibunya dan membuat kondisi keluarga Tjokroaminoto tertekan. “Bila aku perlu menikahi Oetari guna meringankan beban orang yang kupuja itu (Tjokroaminoto), itu akan kulakukan,” cetus Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams. Ketika itu, usia Bung Karno belum 21 tahun dan Oetari juga masih 16 tahun. Keduanya seolah “kawin gantung” karena Sukarno muda belum berniat hidup seperti lazimnya suami-istri. Keduanya pun secara usia sejatinya belum matang untuk melepas masa lajang. Di tahun itu pula Sukarno pindah ke Bandung untuk berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung/ITB). Namun baru dua tahun di Bandung, Sukarno memilih menceraikan Oetari. Gara-garanya, Sukarno muda menemukan kepincut istri orang yang merupakan cinta sejati pertamanya –Inggit Garnasih, hingga memutuskan menceraikan Oetari pada 1923 dan menikahi Inggit. “Ini cinta yang sebenarnya. Cinta dewasa yang sudah ada birahi di dalamnya. Akhirnya Inggit bilang ke Sanusi, Sukarno bilang ke Tjokro. Jadi Sukarno memulangkan Oetari ke Pak Tjokro baik-baik. Sanusi juga berpesan pada Sukarno, jangan sia-siakan Inggit,” tutur Roso Daras, Sukarnois dan penulis buku-buku Sukarno kepada Historia . Sukarno dan Inggit Garnasih Kisah percintaan Sukarno dan Inggit berawal dari asmara terlarang di Kota Kembang. Sukarno yang pada 1921 baru pindah ke Bandung, statusnya suami orang (Siti Oetari). Inggit yang usianya juga lebih tua 13 tahun, berstatus istri orang (H Sanusi, politisi Sarekat Islam). “Tapi ya sifatnya kawin gantung karena keduanya (Sukarno dan Oetari) masih sangat muda,” cetus Roso Daras. Di rumah kos di Bandung milik Inggit itulah benih-benih cinta tersemai. Sampai akhirnya mereka memutuskan menikah pada 24 Maret 1923. Tentunya setelah Sukarno menceraikan Oetari dan Inggit menceraikan H Sanusi. Susah senang dilalui bersama. Termasuk ketika Sukarno dibui di Penjara Banceuy, hingga mesti diasingkan ke banyak tempat, salah satunya Bengkulu, di mana Sukarno pertama kali bertemu Fatmawati. Nama terakhir ini memincut hati Sukarno yang ketika itu belum jua punya keturunan dari Inggit. Keinginan Sukarno menikahi Fatmawati “digugat” Inggit. Istri yang setia menemaninya sekitar dua dekade itu memilih minta cerai ketimbang dimadu. Bahtera rumah tangga mereka pun berakhir pada 1942, disertai sejumlah perjanjian perceraian. Seperti janji Sukarno membelikan rumah di Bandung, maupun pemberian nafkah seumur hidup. “(Tapi) Inggit tidak pernah sekalipun menanyakan, apalagi menuntut suatu hal yang dijanjikan Sukarno dalam surat perjanjian cerai, yang juga disaksikan dan ditandatangani oleh Moh Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan KH Mas Mansoer pada 1942,” tulis Ramadhan KH dalam Soekarno: Ku Antar ke Gerbang. Sukarno dan Kartini Manoppo Dari seni turun ke hati. Bung Karno jatuh hati pada seorang model dan mantan pramugari. Namanya Kartini Manoppo. Bidadari jelita asal Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara yang sempat jadi salah satu model lukisan karya Basoeki Abdullah yang dikagumi sang Pemimpin Besar Revolusi. Setelah ditanya siapa modelnya dan alamatnya, Sukarno mendekati Kartini. “Kartini yang menjadi pramugari pesawat Garuda, lantas dimintanya ikut terbang setiap kali Presiden Sukarno ke luar negeri,” ungkap Peter Kasenda dalam Bung Karno: Panglima Revolusi. Rayuan maut Sukarno juga melelehkan hati Kartini yang berkenan dipinang sebagai istri kelima. Walau pada akhirnya, mereka tak menikah secara resmi, melainkan hanya nikah siri pada 1959. “Keluarga tidak menyetujui. Pantang bagi keluarga terpandang putri kesayangannya jadi istri kelima meski dia seorang presiden. Itulah kenapa saya tidak menikah secara resmi dengan Bung Karno,” kenang Kartini di buku Bung Karno! Perginya Seorang Kekasih, Suamiku dan Kebanggaanku. Namun perubahan situasi politik pasca-Tragedi 1965, turut mengguncang hubungan Sukarno dan Kartini, hingga Kartini diminta Sukarno “menyelamatkan” diri ke Eropa. “Kartini diminta ke Eropa demi keselamatan mereka. Bung Karno tidak mau Kartini yang sedang hamil, terjadi sesuatu di Indonesia,” ujar Roso Daras. Di Nurnberg, Jerman pada 17 Agustus 1966, Kartini melahirkan seorang putra yang dinamai Bung Karno, Totok Surjawan. Dua tahun berselang, keduanya memutuskan berpisah. Sukarno dan Haryati Sejak mengagumi keindahan tarian dan kemolekan tubuh Haryati pada suatu momen, Sukarno langsung jatuh hati. Tak pelak segala jurus rayuan dilontarkan hingga menjerat pula hati sang penari yang juga merupakan staf Sekretariat Negara Bidang Kesenian itu. Sukarno lantas menikahinya gadis berusia 23 tahun itu pada 21 Mei 1963 dengan hajatan sederhana. “Bapak berpendapat, sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak diumumkan kepada masyarakat luas,” terang Haryati saat ditanya Cindy Adams yang dituangkan ke buku keduanya tentang Sukarno, My Friend the Dictator . Sayangnya di antara yang lain, Haryati termasuk yang paling tidak akur dengan istri atau keluarga istri Sukarno yang lain. “Ibu Dewi (Ratna Sari Dewi, istri keenam Sukarno) pernah berang dan naik pitam melihat kehadiran Ibu Haryati dan perkataannya. Memang demikian aku pun pernah tersinggung karena ucapan-ucapannya,” ungkap Rachmawati Sukarnoputri di buku Bapakku, Ibuku. Gonjang-ganjing Tragedi 1965 juga mempengaruhi hubungan Sukarno dan Haryati, hingga akhirnya Sukarno memilih menceraikannya pada 1966. “Perceraianku dengan engkau ialah karena kita rupanya tidak ‘cocok’ satu sama lain,” tulis Sukarno dalam surat perceraiaannya yang dikutip Reni Nuryanti dalam Perempuan dalam Hidup Sukarno. Sukarno dan Yurike Sanger Kisah cinta Putra sang Fajar dengan seorang pelajar. Bung Karno mengenal Yurike semasa sang gadis masih tergabung di Barisan Bhinneka Tunggal Ika, di sebuah acara kenegaraan pada 1963. Pemimpin kharismatik itu juga tak ayal bikin Yurike jatuh hati lewat beragam perhatiannya, hingga memutuskan menghalalkan hubungan mereka ke hadapan penghulu pada 6 Agustus 1964. Sebagaimana dengan istri-istrinya yang lain, Yurike kian kesulitan bertemu suaminya pasca-Tragedi 1965. Terlebih setelah Bung Karno mulai sakit-sakitan. Pada suatu ketika Yurike bisa membesuk suaminya di Wisma Yaso, Bung Karno melayangkan permintaan yang menusuk hatinya. Yurike diminta bercerai demi masa depan Yurike sendiri. Permintaan yang awalnya ditolak sang istri muda. “Dengan terpaksa kupenuhi permintaannya. Kami bercerai secara baik-baik (pada 1967). Sungguh mengharukan karena kami masih sama-sama mencintai. Kami berpisah saat kami sedang rapat bersatu,” kenang Yurike dalam Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA: Biografi Cinta Presiden Sukarno dengan Yurike Sanger karya Kadjat Adra’i. Sukarno dan Heldy Djafar Sebagaimana pula Yurike Sanger, Heldy Djafar bisa bertemu dan dekat dengan Sukarno semasa tergabung di Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Tarian lenso keduanya pada sebuah acara di Istana Negara, seolah jadi titik balik kisah mereka yang sama-sama jatuh hati. Keintiman keduanya kian rapat dari waktu ke waktu, sampai Sukarno meminangnya dan menikahinya pada 11 Juni 1966 di Istana, tepatnya di Wisma Negara. Namun bahtera rumah tangga mereka hanya bertahan dua tahun. Selain karena sudah dimakzulkannya Sukarno, sang pemimpin besar revolusi pun mulai sakit-sakitan. Untuk bisa bertemu saja harus di rumah Yurike, di Jalan Cipinang Cempedak, Polonia, Jakarta Timur. Di sisi lain, Heldy mulai gundah karena ada “orang ketiga”. Di antara para pengagum Heldy, ada seorang pemuda yang paling gigih, Gusti Soeriansjah Noor, putra Pangeran Mohammad Noor, mantan Menteri Pekerjaan Umum. Hingga suatu ketika kala keduanya bertemu di masa sulit, Heldy meminta izin untuk menjauh dari Sukarno. “Mas, maafkan saya, kalau saya boleh menjauh dari Mas untuk melepaskan diri. Kondisi dan suasana saat ini sangat menyakitkan hati saya. Tidak bisa begini terus. Harus ketemu di rumah orang lain,” lirihnya dalam Heldy: Cinta Terakhir Bung Karno karya Ully Hermono dan Peter Kasenda. Kata-kata itu menyiratkan Heldy minta cerai. Namun ditolak Sukarno yang belum ingin berpisah. Seiring waktu, status mereka kian tak jelas. Dibilang istri sulit, cerai pun tidak. Sampai akhirnya Heldy menerima pinangan Gusti Soeriansjah pada 19 Juni 1968.
- Moestopo Sang Jenderal Nyentrik
SATYA GRAHA Graha masing ingat pertemuan itu. Ketika mendaftar menjadi anggota Markas Besar Pertempuran Djawa Timoer di Madiun, dia diwawancarai langsung oleh pimpinan pasukan Mayjen TNI Moestopo. Saat wawancara berlangsung, pelayan datang menyuguhi secangkir kopi. Alih-alih dinikmatinya, Moestopo malah menggeser cangkir kopi itu ke hadapan Satya. “Nih kamu minum saja kopinya, soalnya hanya satu cangkir,” ujar sang jenderal. Moestopo dikenal sebagai sosok egaliter sekaligus nyeleneh. Ketika memimpin Divisi Mobil yang beroperasi menggunakan kereta api, dia kerap nekat menyerang militer Belanda dari atas kereta api yang dikendarai dengan kecepatan tinggi. Sambil bertempur, dia berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu kereta api yang terbuka dan berteriak: “Hei Nederlandse soldaat! Als je witt vechten, kom dan hier tevoorschijn: Generaal Moestopo! (Hei serdadu Belanda! kalau kalian ingin berkelahi, ayo hadapi aku: Jenderal Moestopo!). Kereta api tempur itu tak jarang berhenti sekonyong-konyong di tengah jalan. Itu dilakukan masinis sekadar memenuhi perintah komandannya yang kebelet buang air kecil. Namun, yang paling mengesankan anak buahnya adalah kebiasaan Moestopo mengkonsumsi daging kucing. Menurut sejarawan Robert B. Cribb, itu dilakukan sang jenderal guna “memelihara kemampuan tempurnya”. Alasannya “supaya dapat melihat dalam gelap layaknya mata seekor kucing,” tulis Cribb dalam Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People’s Militia and Indonesian Revolution 1945-1949. Saat memimpin Pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi) di front Subang, Jawa Barat, Moestopo pernah mendorong anggota pasukannya untuk melaksanakan kebiasaannya itu. Tentu saja, anggota Pasukan Terate yang sebagian besar maling dan pencopet “dengan penuh dedikasi” melaksanakan perintah itu. Tradisi nyeleneh itu sempat diketahui oleh Kepala Staf TRI, Letjen TNI Oerip Soemohardjo. Ceritanya, suatu hari di tahun 1947, Moestopo mengajak Oerip meninjau pos terdepan pasukannya. Di suatu pos, tiba-tiba perhatian Oerip tertuju kepada deretan makam dengan nisan sederhana terpancang di atasnya. “Itu makam?” tanya Oerip “ Ya, Jenderal!” jawab salah satu anggota pasukan Moestopo. “Jadi, banyak korban di sini?” “ Ya... Ya... Jenderal,” ujar sang prajurit tergagap-gagap. Dengan mimik serius, Oerip memperhatikan kembali makam-makam tersebut. Wajahnya sedikit mendung. “Tetapi maaf Jenderal. Itu bukan makam manusia," kata si prajurit agak segan. “Lha, terus makam apa?” “ Ehmm... Anu Jenderal… Itu hanya makam ayam, kambing dan kucing, yang menjadi korban santapan kami sehari-hari.” Konon, kompleks pemakaman binatang itu idenya Moestopo. Untuk apa? Ya, apa lagi jika bukan untuk menghormati jasa-jasa kucing dalam perjuangan karena “sudah disantap”.*
- Naturalisasi, Dulu dan Kini
CHRISTIAN Gonzales, Raphael Maitimo, Sergio van Dijk, Tonnie Cussel, Stefano Lilipaly, Bio Paulin, Greg Nwokolo, Victor Igbonefo, Diego Michiels, Johnny van Beukering, Guy Junior, Kim Jeffrey Kurniawan, Ruben Wuarbanaran, dan Ezra Walian merupakan bintang sepakbola naturalisasi atau blasteran yang menyemarakkan persepakbolaan Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Jelang Asiang Games 2018 di negeri sendiri, PSSI tak ingin kehilangan muka dalam cabang olahraga paling bergengsi itu dengan ambil langkah bypass: naturalisasi. Adalah Ilija Spasojeciv, pesepakbola Montenegro, yang Oktober 2017 sah menjadi warga negara Indonesia (WNI) dan menambah deretan nama pemain hasil naturalisasi. Dia sudah menjalani debutnya ketika timnas U-23 melakukan pertandingan persahabatan melawan timnas U-23 Suriah, November 2017. Naturalisasi bukan barang baru dalam persepakbolaan tanah air. Ketika republik ini masih seumur jagung, ada beberapa pemain kulit putih yang dinaturalisasi. Mereka –kecuali kiper Tan Mo Heng dan beberapa pesepakbola berdarah Tionghoa lain tak perlu mendapatkan nasionalisasi lantaran merupakan peranakan yang memilih Indonesia sebagai tanah airnya setelah Hindia Belanda bubar– orang Belanda yang menggeluti sepakbola sejak masa Hindia Belanda. Mereka antara lain, Boelard van Tuyl, Pieterseen, Van der Berg, Pesch, dan Arnold van der Vin. Nama terakhir menjadi pemain naturalisasi tersukses lantaran satu-satunya eks-orang Belanda yang mampu masuk timnas PSSI di era 1950-an. Van der Vin sebelumnya menjadi kiper andalan UMS (Union Makes Strength), VIJ (kini Persija Jakarta) dan melakoni debutnya di timnas Indonesia melawan tim asal Hong Kong, South China AA pada 27 Juli 1952. Sayangnya, kiper yang akrab disapa ‘Nol’ itu mesti “terusir” dari Indonesia pada 1954 akibat kebijakan anti-Belanda. Di Belanda, Nol memilih membela klub Fortuna Sittard. Bisa jadi, fakta ini mencatatkannya sebagai pemain Indonesia pertama yang tampil di salah satu liga bergengsi Eropa. Namun setahun kemudian, Nol kembali ke Indonesia untuk mengawal mistar PSMS Medan dan comeback ke timnas. Kendati kembali ke skuad Garuda, Nol justru kecewa dengan mundurnya kondisi persepakbolaan nasional. “Kondisi sepakbola Indonesia berada di level yang buruk. PSSI payah mendidik wasit dan perangkat pertandingan lainnya,” ujar Nol di suratkabar De Nieuwsgier , 6 Mei 1955. Tapi apa mau dikata, dia sudah memilih kembali ke Indonesia dan terus menjadi pilihan pertama atau kedua di timnas. Nol kembali merantau pada 1956 sampai 1961 ke klub Malaysia Penang FA hingga pensiun. Sejak itu, persepakbolaan Indonesia nihil dari naturalisasi baik di kompetisi Perserikatan maupun Galatama. “Dulu (di Galatama) malah enggak kenal sama sekali dengan yang namanya naturalisasi,” ungkap Bambang Nurdiansyah, penyerang timnas era 1980-an yang bermain di Arseto Solo, Tunas Inti, dan Pelita Jaya, kepada Historia via sambungan telepon beberapa waktu lalu. Maka, ketika naturalisasi kembali muncul pada awal 2000-an, ia langsung menuai pro-kontra. Menurut Timo Scheunemann, mantan pelatih Liga Indonesia yang kini jadi pengamat, naturalisasi pertanda pembinaan sepakbola Indonesia telah gagal. “Ya memang pembinaan kita gagal. Naturalisasi masih menjadi solusi jangka pendek. Itu no problem sebenarnya karena banyak negara melakukannya. Tapi Indonesia kan negaranya besar sekali. Kita punya 200 juta pemain, kok. Kalau untuk jangka pendek, tidak masalah, asal jangan terus-terusan,” ujarnya kepada Historia. Senada dengan Timo, Bambang juga posisi kontra terhadap naturalisasi. Pria yang juga pernah melatih klub-klub Liga Indonesia serta timnas itu menganggap naturalisasi merupakan buah dari kegagalan pembinaan dan juga kompetisi. “Saya pikir enggak perlu sebenarnya naturalisasi. Karena itu artinya kita mengakui gagal dalam pembinaan. Kalau gitu caranya, stop saja pembinaan dan kompetisi. Lari saja ke Eropa, cari yang darah (keturunan) Indonesia, suruh jadi pemain nasional, umpamanya. Ya untuk sekarang, silakan lah (naturalisasi jelang Asian Games), tapi ke depannya jangan ada lagi, pembinaan saja yang benar. Kalau naturalisasi terus, buat apa ada pembinaan dan kompetisi,” tutupnya.






















