Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kekejaman Inggris di Jawa
BANYAK orang yang menganggap dijajah Inggris lebih baik daripada dijajah Belanda. Barangkali karena mereka melihat kemajuan negara-negara bekas jajahan Inggris. Bagaimana dengan Indonesia, bukankah Indonesia juga pernah dijajah Inggris meski hanya lima tahun (1811-1816)? “Generasi sekarang, khususnya orang Jawa malah menganggap Inggris sebagai bangsa pembebas. Sebelumnya, orang Jawa mendapatkan kekejaman dari Gubernur Jenderal Daendels dan penggantinya Willem Janssens. Penjajahan Inggris kesannya tidak negatif,” kata Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam acara tur sejarah “Jejak Inggris di Jawa 1811-1816,” yang diselenggarakan Penerbit Buku Kompas, di Semarang, Senin, 28 Agustus 2017. Carey, penulis buku Inggris di Jawa (1811-1816) , mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro ketika diminta membandingkan Inggris dengan Belanda oleh menantu Gubernur Jenderal de Kock, dia menilai Inggris dengan positif. “Selama di Jogja saya tidak pernah menjumpai orang secerdas dan seulet John Crawfrud (Residen Inggris di Yogyakarta, red ). Dia menguasai bahasa Jawa Kromo Inggil hanya dalam waktu enam bulan,” kata Carey mengutip ucapan Diponegoro. Carey justru berpendapat sebaliknya bahwa salah satu warisan Inggris adalah untuk meremehkan orang Jawa. Misalnya, buku History of Java karya Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, membuat orang Jawa berpikir saat ini mereka mengalami degradasi. Buku itu menebar desas-desus kalau budaya Jawa sebenarnya pernah unggul dan agung sebelum akhirnya semakin memburuk. “Sebenarnya dulu agung sekali, tapi sekarang menjadi tidak bernyali. Dalam tiga jam Keraton Yogyakarta yang paling hebat di Jawa Tengah bagian selatan itu bisa ditaklukkan,” kata Carey. Lebih dari itu, kata Carey, penjajahan Inggris menyisakan kekejaman seperti terlihat dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1816) karya Pangeran Panular, putra Sultan Hamengkubuwono I dari istri selir. Dalam babad itu tercatat bahwa Pangeran Sumodiningrat, seorang keturunan sultan pertama, meninggal di kediamannya dalam penyerbuan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Sumodiningrat dibunuh pasukan yang dipimpin oleh John Deans, sekretaris Keresidenan Yogyakarta. Pakaian Sumodiningrat dilucuti, badannya dipotong-potong. “Lehernya ditebas. Anak buah John Deans lalu mempreteli semua pakaian dan perhiasan yang dipakai Sumodiningrat,” ungkap Carey. Menurut Carey, kekejaman juga dilakukan oleh Raffles terhadap anak buahnya sendiri. Anak muda banyak yang meninggal ketika melayani letnan gubernur jenderal itu. Dia tidak peduli kepada kesehatan anak buahnya. Jika Inggris melakukan kekejaman, bagaimana bisa penjajahannya dipandang lebih baik daripada Belanda? “Ini soal pencitraan,” kata Carey. “Inggris punya satu industri untuk membuat buku yang mengagungkan Inggris, khususnya Raffles.”*
- Alkisah Kompi Parang Berdarah
Kota Medan, pertengahan 1947. Di tiap-tiap sudut kota berseliweran plakat sayembara. Demikian isinya. “Siapa saja yang berhasil membawa kepala Mayor Bahrin, Mayor Alamsyah, Kapten Bejo dan Kapten Nukum Sanany hidup atau mati dan menyerahkannya kepada Belanda, diberi hadiah uang sebesar Fl.000,- gulden.” Nama pertama barangkali yang paling diburu sekaligus ditakuti pihak militer Belanda: Mayor Bahrin Yoga. Dalam beberapa sumber lain namanya disebut Bahren. “Ia jantan dan galak di medan pertempuran, sehingga pernah dijuluki Singa Medan Area,” tulis Tengku Abdul Karim Jakobi dalam Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area . Bahrin termasuk rombongan dari Aceh pertama yang terjun ke kancah Front Medan Area. Di Aceh, Bahrin berkedudukan sebagai komandan Batalion II Resimen I Divisi Gajah II di Kutacane. Longmarch menuju Medan dilakukan sejak Februari 1946, tak lama setelah kota itu dikuasai Belanda. Dalam rombongan Aceh itu turut serta para pejuang Gayo dari Blangkejeren dan Kutacane, Aceh Tenggara. Di Medan, Bahrin menjadi komandan Batalion I Resimen I dari Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) yang bermarkas di Tuntungan, Medan Barat. RIMA merupakan resimen khusus yang dipersiapkan untuk membebaskan kota Medan dari kekuatan militer Belanda. Dalam batalionnya, Bahrin lebih banyak menggunakan waktunya di front bersama pasukan. Dalam bunga rampai Kisah Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia dari Serangan Belanda disebutkan, Batalion Bahrin kerap beroperasi di malam hari dengan hanya bersenjatakan parang atau senjata tajam lainnya. Operasi yang dipimpin Bahrin biasanya dilakukan menjelang subuh bersama satu atau dua orang pembantu. Target operasinya adalah patroli tentara Belanda yang sedang lengah. Selain itu, penyergapan juga dilakukan dengan menyamar dan menyusup ke asrama serdadu Belanda. “Dari sekian banyak operasi yang dilakukan, tak jarang berhasil menebas patroli Belanda dan mereka kembali biasanya dengan parang berlumuran darah,” tulis Jakobi yang merupakan veteran tentara pelajar dalam pertempuran Medan Area. Dari sinilah awal kisah lahirnya unit pasukan pembunuh berdarah dingin “Parang Berdarah”, yang kemudian dilanjutkan dan ditata kembali oleh Letnan Bustanil Arifin dalam suatu kesatuan yang diberi nama “Kompi Parang Berdarah”. Penggunaan parang bukan tanpa alasan. Menurut Bustanil Arifin dalam biografinya Beras, Koperasi, dan Politik Orde Baru karya Fachry Ali dkk, di dalam kompi itu hanya mempunyai 17 buah senapan api dan selebihnya adalah parang dan kelewang. Pada April 1947, Panglima Divisi Gajah I, Kolonel Husein Yusuf mengangkat Mayor Bahrin menjadi komandan RIMA menggantikan Mayor Hasan Ahmad. Pengangkatan itu didasarkan pertimbangan bahwa Mayor Bahrin yang beroperasi di sekitar Tuntungan cukup berpengalaman dan disegani oleh patroli Belanda. Hanya dua bulan saja Bahrin menjabat komandan RIMA. Mayor Bahrin ditembak mati oleh anak buah kepercayaannya, Letnan Satu Ahmad Ahman Bedus. Tragedi ini justru terjadi di markas Batalion Bahrin di Tuntungan. Setelah peristiwa nahas itu, Letnan Ahmad diinterogasi kemudian di penjara di Pematang Siantar. Motif pembunuhan misterius. Menurut anggota pasukan Batalion Bahrin, sebagaimana dikutip Jakobi, menjelang tertembaknya Bahrin, seorang wanita cantik memasuki kompleks pemukiman Batalion Bahrin yang kemudian menabur isu dan saling curiga antarpasukan. Wanita itu menyamar sebagai istri pemilik warung makanan dalam kompleks pemukiman. Dalam pertempuran Medan Area, Belanda menebar ratusan mata-matanya ke pihak tentara Republik bahkan hingga ke pedalaman Aceh. “Sebagiannya terdiri dari wanita-wanita ayu yang mampu meringkus prajurit yang kelaparan di front,” ujar Jakobi.
- Membela Kebenaran Tanpa Pamrih
Budi Sutomo menekuni kuliner sejak remaja. Dia kemudian mendalami tata boga di bangku sekolah kejuruan dan perguruan tinggi. Pengalaman kerjanya di berbagai hotel, bakery , restoran, hingga industri catering memperkaya pengetahuannya di bidang kuliner. Dia mulai dikenal setelah menjabat radaktur boga di majalah Kartini dan Sartika , food stylist beberapa produk iklan, serta konsultan bakery dan restoran. Lebih dari 50 buku tentang gizi dan kuliner yang sudah ditulis dan diterbitkannya. Saat ini, Budi Sutomo mengasuh rubrik diet dan nutrisi di majalah Dokter Kita , redaktur majalah Sri Arum , kontributor Yahoo Kuliner , pengasuh rubrik Ask the Expert , majalah Pastry & Bakery , redaktur boga majalah TIM Taiwan , chef Nestle Indonesia, serta host acara masak di DAAI TV Indonesia . Di balik kesibukannya dalam dunia kuliner, rupanya Budi mengidolakan sosok Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia yang meninggal dunia akibat racun arsenik. Kepada Historia , Budi berbagi kekagumannya mengenai sosok itu. Mengapa mengidolakan Munir? Dia selalu membela kaum tertindas sampai akhir hidupnya. Membantu total tanpa imbalan. Sejak kapan mengenal sosoknya? Sejak saya kuliah tahun 1990-an. Saya tahu dari buku, majalah, dan media elektronik. Apa yang Anda ingat dari perjuangan Munir? Ketika dia membela kaum buruh. Contohnya kasus Marsinah dan kaum marjinal lainnya. Lalu saya paling ingat soal kasus penculikan aktivis mahasiswa yang sampai sekarang banyak yang tak kembali. Marsinah adalah aktivis dan buruh pabrik PT Catur Putra Surya di Sidoarjo yang diculik dan ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993. Sementara penculikan aktivis terjadi dilakukan Tim Mawar bentkan Kopassus menjelang kejatuhan rezim Orde Baru, dengan 13 di antaranya belum kembali. Bagaimana perjuangan atas kaum marjinal sepeninggal Munir? Keberpihakan Munir dan kesediaannya membantu kaum marjinal menarik simpati. Ini justru menginspirasi banyak anak muda, bahwa hak asasi manusia harus ditegakkan. Sepeninggal beliau, saya pikir sekarang bermunculan banyak pahlawan hak asasi manusia. Perjuangan Munir juga menginspirasi Anda? Ya. Semangat berbagi dan membela kebenaran tanpa pamrih. Juga harus menghargai hak orang lain dan tak boleh melanggar hak asasi manusia. Itu sangat menginspirasi. Menurut Anda, apa tantangan penegakan HAM sekarang? Terkadang nyawa taruhannya. Membela hak asasi manusia kaum marjinal pasti akan berhadapan dengan penguasa yang memiliki power . Apa harapan Anda mengenai kasus kematian Munir? Menolak lupa. Artinya, kebenaran harus diungkap, fakta harus ditegakkan, dan hukum tak boleh memihak. Saya berharap kasus ini akan terungkap oleh pemerintahan sekarang.
- Perempuan Biasa Melawan Nazi-Jerman
Marie Madeleine Fourcade kaget tak percaya. Pada suatu hari di awal 1941, Jenderal Georges Loustaunau-Lacau memintanya memimpin kelompok perlawanan bawah tanah Prancis. Marie, sekretaris di perusahaan penerbitan yang dipimpin Lacau, ragu bisa menjalankan permintaan itu. “Saya hanya perempuan biasa,” kata Marie. Navarre, nama samaran Lacau, tersenyum mendengar jawaban Marie. Dia mendapatkan seseorang yang tepat. “Tak ada prajurit Jerman yang akan mencurigai perempuan biasa,” kata Navarre. Di masa pendudukan Jerman, Prancis tak punya cara lain untuk melakukan perlawanan selain gerakan bawah tanah. Pemerintahan pengasingan di London yang dipimpin Jenderal Charles de Gaulle tak bisa memberi bantuan. Marie menerima permintaan Navarre. “Bersama Loustaunau-Lacau, Fourcade mendirikan salah satu jaringan perlawanan pertama di Prancis, Alliance,” tulis buku Women and War: A Historical Encyclopedia From Antiquity to the Present suntingan Bernard A. Cook. Tugas pertama Marie membuat pembagian zona wilayah Prancis yang tak diduduki, yakni wilayah selatan. Marie kemudian merekrut sebanyak mungkin agen untuk dikirim ke wilayah-wilayah tadi. Jaringan spionase yang dikoordinir Marie kemudian dikenal dengan nama Alliance. Para agen Alliance setiap hari mengamati aktivitas darat dan laut militer Jerman. “Agen-agen Alliance terutama mengumpulkan informasi intelijen militer tentang U-boat di Laut Mediterania, kapal selam-kapal selam Jerman, dan pekerjaan yang dilakukan oleh organisasi Todt di Atlantic Wall,” tulis Sandra Ott dalam Living with the Enemy . Mereka mengirim hasil pengamatannya ke kantor pusat tempat Navarre berada. Setelah menyortirnya, Navarre meneruskan informasi itu ke markas Jenderal de Gaulle di London, yang lalu meneruskannya ke British Intelligence Service dan Special Operations Executive. Pada Mei 1941, Navarre ditahan oleh Pemerintahan Vichy di bawah pimpinan Marsekal Philippe Petain, kolaborator Nazi-Jerman. Marie mengambilalih tugas Navarre, termasuk mengirim informasi ke London. Tentara Nazi-Jerman mengendus keberadaan Alliance. Banyak agen Alliance tertangkap. Meski mayoritas bisa menjaga kerahasiaan, beberapa agen tak kuasa menutup mulut saat menjalani interogasi. Nasib sekira 3.000 agen Alliance berada di pundak perempuan kelahiran Marseilles, 8 November 1909 itu. Untuk menjaga kerahasiaan dan keselamatan mereka, Marie mengganti nama sandi masing-masing agen dari sandi berupa rangakaian tiga huruf diikuti angka menjadi nama binatang –jejaring spion hewan itulah yang kemudian dijadikan dasar oleh tentara Jerman untuk menamakan mereka sebagai Noah’s Ark. Marie sendiri memiliki nama sandi landak. Bahaya makin mendekati para agen Alliance, tak terkecuali Marie. Pada suatu hari, seorang agen dengan sandi Grand Duke mendatangi apartemen Marie. Dia menginformasikan bahwa besok musuh akan menggeledah seluruh kota untuk mencari orang-orang yang terlibat gerakan bawah tanah. Grand Duke meminta Marie menyembunyikan semua alat komunikasi dan ikut kabur bersamanya. Mereka sepakat akan lari esok hari. Tak lama setelah Grand Duke pergi, Marie mendengar keributan di pintu apartemennya yang belum ditutup. Begitu tahu yang datang lebih dari dua lusin serdadu Gestapo, Marie buru-buru masuk dan menutup pintu. Dia terlambat kabur lewat jendela. Para serdadu itu masuk dan menanyakan kenapa Marie tergesa-gesa menutup pintu. Berhasil menguasai diri, Marie pura-pura tak mengetahui bahwa yang datang Gestapo. Bila tahu yang datang Gestapo, dia akan buru-buru membukakan pintu. Aktingnya sangat tenang sehingga para serdadu yang mencari Grand Duke itu, percaya. Sembari mengamati beberapa serdadu Gestapo memeriksa isi ruangan, Marie sesekali mengajak mereka mengobrol. Celakanya, beberapa catatan Alliance masih tersisa di atas meja. Seolah membereskan ruangan, Marie mengamankan catatan-catatan itu dan melemparkannya ke bawah sofa. Marie merasa senang ketika pemimpin Gestapo pamit. Tapi, salah seorang serdadu tiba-tiba melihat sesuatu di bawah sofa dan langsung memeriksa. Marie ditangkap. Di dalam sel, Marie memikirkan cara agar bisa keluar malam itu juga untuk menemui Grand Duke yang tak tahu penangkapan itu. Sebuah celah besar di tengah jeruji jendela sel memberinya harapan. Tanpa buang waktu, dia langsung tanggalkan semua pakaian dan menggigitnya. Setelah berhasil mengeluarkan kepalannya, Marie perlahan mengeluarkan bahunya. Tapi celah jeruji tak cukup lebar untuk tubuh Marie. Dia lalu memiringkan badan dan menekan pinggulnya yang tak muat masuk celah jeruji. Meski amat sakit, dia tak menyerah. Tubuhnya akhirnya jatuh ke tanah, dia berhasil keluar sel. Setelah merangkak dan mengenakan pakaiannya, Marie langsung lari. Menjelang subuh, Marie sampai di pusat kota. Dari kejauhan dia melihat beberapa serdadu Nazi-Jerman mondar-mandir di atas jembatan dan memeriksa semua orang yang hendak melintasi jembatan itu. Beruntung, di bawah jembatan terdapat ladang. Beberapa perempuan tua sibuk memanen tanpa dipedulikan serdadu di atas jembatan. Pelan-pelan, dia bergabung dengan para petani itu. Dia berhasil melewati jembatan tanpa melalui pemeriksaan. Lebih beruntung lagi, dia berhasil sampai di rumah Grand Duke sesaat sebelum pria itu berangkat menjemput Marie. Keduanya langsung melarikan diri. Itu bukan satu-satunya penangkapan yang dialami Marie. Setidaknnya dia empat kali ditangkap. Namun, dia selalu berhasil kabur, di antaranya ke Swiss untuk menitipkan kedua anaknya. Atas saran MI-6, Marie mengungsi ke Inggris pada Juli 1943. Dari sebuah rumah di Chelsea, ribuan agen Alliance di Prancis dikendalikan Marie. Para agen itulah yang kemudian memasok informasi berharga termasuk untuk merancang invasi D-Day. Setelah Sekutu berhasil merebut Prancis usai D-Day, Marie kembali ke Prancis pada Mei 1945. Dia mengunjungi kamp-kamp penahanan untuk mencari anggota jaringannya yang selamat. Marie mencatat dalam memoarnya, Noah’s Ark , setidaknya 438 agennya kehilangan nyawa di kamp-kamp penahanan maupun di luar. Atas perjuangannya, Marie mendapat banyak penghargaan. Pemerintah Prancis menganugerahinya Legion d’Honneur dan Kerajaan Inggris menjadikannya anggota Order of the British Empire.
- Setelah Kiamat Krakatau Mereda
BEBERAPA saat usai letusan pamungkas yang paling mengerikan dari amukan Gunung Krakatau 27 Agustus 1883, orang-orang yang lolos dari maut tersadar selamat dalam berbagai cara yang ajaib. Seorang lelaki yang pada saat kejadian sedang tertidur pulas di rumahnya baru bangun dan tersadar sudah berada di puncak sebuah bukit lengkap beserta ranjangnya. Sementara itu seorang lainnya, sebagaimana dikutip dari Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 , mengaku selamat dari empasan gelombang tsunami dengan menunggangi seekor buaya. Aneka cerita juga muncul di berbagai sumber para petugas Eropa: mulai penjaga menara mercusuar, residen, asisten residen, kontrolir dan para pelaut yang pada saat kejadian menjadi saksi mata dari peristiwa alam itu. Alexander Patrick Cameron, konsul Inggris di Batavia menuliskan laporannya untuk London tentang kerusakan yang ditimbulkan akibat letusan Krakatau. “Kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang-gelombang di pantai, baik terhadap nyawa manusia maupun properti, sekalipun dari laporan-laporan yang sudah diserahkan dinyatakan sangat luas, tidak bisa ditentukan dengan pasti, mengingat laut masih berombak tinggi dan hujan abu masih berlangsung, komunikasi telegraf dan jalan terputus atau terganggung,” tulis Cameron dalam laporan bertitimangsa 1 September 1883 itu. Dalam laporan yang sama, sebagaimana dikutip oleh Simon Winchester, Cameron juga menuliskan tentang kondisi daerah pesisir yang terkena dampak letusan Krakatau. “...seluruh pantai tenggara Sumatera mengalami kerusakan sangat parah akibat gelombang laut, dan ribuan penduduk pribumi yang menghuni desa-desa di pantai pasti telah lenyap. Pantai barat Jawa dari Merak sampai Tjeringin (Caringin, red. ) telah menjadi rata dengan tanah. Anyer, bandar di mana kapal-kapal dengan tujuan laut Jawa dan laut Cina berhenti untuk menunggu perintah, dan yang merupakan kota yang ramai dengan penduduk (pribumi) beberapa ribu orang, telah lenyap, dan lokasinya telah berubah menjadi rawa.” Selain sumber-sumber yang ditulis oleh pejabat kolonial, keterangan ihwal letusan gunung Krakatau juga bisa tersua dalam Syair Lampung Karam yang berhasil disusun dan diterjemahkan oleh Suryadi Sunuri. Syair yang ditulis dalam aksara Arab-Melayu itu banyak memberikan kesaksian situasi di Lampung usai diterpa gelombang tsunami dan hujan abu vulkanik. Hari terang nyatalah, Tuan Turunlah orang berkawan-kawan Mencari rumah serta pakaian Tidak bertemu hilang sekalian. Lalu Berjalan di tepi hutan, Lalu bertemu mayat perempuan, Badannya penuh dengan pakaian, Anaknya dikepit nyawa-nyawa ikan Petikan syair itu menggambarkan betapa ganasnya gelombang tsunami meluluhlantakan rumah penduduk dan menelan banyak korban jiwa manusia. Perempuan dan anak-anak tewas karena tak kuasa lari dari kejaran ombak setinggi puluhan meter yang menggulung mereka hingga menjemput ajal. Naskah syair tersebut mencatat kejadian secara detail, membantu memahami apa yang terjadi saat bencana itu terjadi. Selain naskah arsip yang mencatat keterangan saksi mata, warga Labuan, Pandeglang, Banten, pun hingga kini masih merawat ingatan bencana Krakatau dalam cerita yang mereka peroleh secara turun temurun. Labuan terletak di wilayah pesisir barat Banten, sejajar dengan Caringin yang disebut di dalam laporan Cameron sebagai area yang mengalami kehancuran akibat gelombang tsunami Krakatau. Uyuh Sururi, 74 tahun, salah seorang warga Labuan mendapat kisah tersebut dari mulut ke mulut, semacam legenda yang tersebar secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. “Waktu itu air naik, air laut. Banyak penduduk mengungsi ke sini untuk menyelamatkan diri,” kata dia kepada Historia , ditemui di rumahnya di kampung Karabohong, Labuan, Senin, 28 Agustus. Asrawijaya, 41 tahun, seorang warga Labuan lainnya menuturkan kisah Krakatau yang diperoleh dari penuturan kakeknya. Dia percaya bahwa tanah Labuan yang dipijaknya kini telah bergeser jauh dari posisi semula akibat letusan Krakatau. “Yang sekarang kita duduki ini bukan daratan yang dekat ke pantai. Ini tadinya bukit, dataran paling tinggi. Dataran rendahnya di sana di tengah. Tapi karena tsunami Krakatau, dataran tinggi ini jadi rendah dan dekat ke pantai,” ujarnya kepada Historia . Dia pun menuturkan ketika masa kecilnya, selalu ada acara peringatan meletusnya gunung Krakatau pada 28 Agustus setiap tahunnya. Namun kini tak pernah lagi ada peristiwa serupa. “Dulu waktu masih di bawah Jawa Barat selalu ada peringatan, istighosah, memperingati peristiwa Krakatau. Jadi masyarakat kita ini tidak lupa tentang peristiwa itu. Tapi sekarang kan sudah diambilalih pemerintah provinsi Lampung, jadi sekarang tidak (ada) lagi,” kata dia kepada Historia . Kenangan sisa-sisa kehancuran akibat letusan Krakatau masih bisa terlihat di beberapa titik sepanjang pantai Anyer, Kabupaten Serang. Sebuah gundukan batu karang dengan berat sekitar 600 ton itu diempaskan gelombang laut setinggi 40 meter dari tengah Selat Sunda ke tepi pantai barat Pulau Jawa. Batu itu berada tak jauh dari menara mercusuar Anyer di kampung Bojong, desa Cikoneng, Anyer. Menara mercusuar itu dibangun pada 1885 sebagai menara yang menggantikan menara lama yang tumpas akibat diterjang tsunami Krakatau. Menara yang semula berdiri menjulang puluhan meter itu kini tersisa sebagai bongkahan setinggi kurang dari dua meter, lambang keganasan Krakatau yang masih tersisa. (Tb. Ahmad Fauzi/Kontributor Serang).
- Bencana Krakatau di Pengujung Agustus 1883
PADA 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau yang terletak di Selat Sunda meletus, menciptakan gelombang Tsunami setinggi 30 meter, melesat ke daratan dengan kecepatan tinggi, mengempaskan setiap bangunan dan benda yang berada di jalur lintasannya. Pemerintah kolonial melaporkan pada bencana terdahsyat abad ke-19 itu sekitar 36 ribu orang lebih tewas dan menyebabkan bencana susulan lain seperti kegagalan panen serta kelaparan. Sementara itu jutaan kubik abu vulkanik yang memapar langit menyebabkan hari dirundung gelap berkepanjangan. Johanna Beijerinck, istri kontrolir perkebunan Willem Beijerinck di Katimbang, pesisir pantai Lampung Selatan menjadi saksi dahsyatnya letusan Gunung Krakatau. Dalam catatan hariannya terungkap betapa mengerikannya letusan tersebut. “Aku mendengar suara berisik batu apung yang menimpa atap rumah, di atasnya terdengar suara geledek dari gunung, serupa auman mengerikan, yang kecepatannya hampir menyamai kecepatan cahaya,” kenang Johanna dari catatan hariannya yang disebut Bethany D. Rinard Hinga, penulis buku Ring of Fire , sebagai rekaman kesaksian paling rinci mengenai letusan Krakatau yang pernah ada. Johana Beijerinck, suami dan anak-anaknya menempati sebuah rumah di bibir pantai Katimbang, yang terletak sekitar 25 mil atau kurang lebih 40 kilometer dari Gunung Krakatau. Dari sekira 3000 orang warga Katimbang, seribu di antaranya tewas akibat hujan abu panas, termasuk bayi 14 bulan anak pasangan Beijerinck. Empasan gelombang laut dari episentrum letusan juga bergerak ke arah pesisir pantai wilayah lainnya. Dari kesaksian Ong Leng Yauw, warga Karangantu Banten, sebagaimana dikutip dari makalah Romi Zarman, “Letusan Krakatau 1883 dan Korban-korbannya di Desa Nelayan Karangantu Banten: Kesaksian Ong Leng Yauw” dalam jurnal Wacana Etnik No. 1, vol. 4, April 2013, letusan Krakatau mengakibatkan gulungan ombak setinggi pohon kelapa yang meluluhlantakan bangunan dan menelan ribuan korban jiwa di daerah Banten. Ong yang saat itu berusia 14 tahun menuturkan sebelum tsunami terjadi, air laut surut sehingga banyak orang lari menuju pantai dengan rasa takjub memunguti ikan yang tergeletak menggelepar. “Koetika Krakatau hampir meletoes itoe aer laoet poenja gerakan ada loear biasa anehnja. Sebentar soeroet begitoe djaoeh ka tengah hingga dasar laoetan seperti kering, dan banjak orang toeroen ka tengah aken djoempoetin ikan-ikan jang bergeletakan, dan kamoedian dateng ombak bergoeloeng-goeloeng satinggi poehoen kelapa jang mendampar sampe djaoeh ka tengah daratan,” ujar Ong mengenang kembali kejadian tersebut pada 1937, saat dia berusia 68 tahun. Desa Karangantu terletak di pesisir utara Banten, kini termasuk wilayah Kota Serang. Karangantu adalah pelabuhan nelayan di muara sungai Cibanten yang masih berada di dalam areal kota lama Kesultanan Banten. Ong selamat dari terpaan gelombang tsunami karena tersangkut pada sebatang pohon. Saat tsunami surut, dia menemukan seluruh wilayah Karangantu rata dengan tanah, termasuk rumah orangtuanya. Kenangan bencana Krakatau juga bisa tersua di dalam memoar PAA Djajadiningrat, mantan bupati Serang kelahiran 1875, yang salah satu keluarganya juga menjadi korban. Djajadiningrat menuturkan pamannya yang bertugas di Anyer kehilangan anak-istrinya akibat tersapu gelombang tsunami Krakatau. Dia bisa selamat dari amukan Krakatau dengan berlari menyelamatkan diri ke atas perbukitan di sekitar Anyer. Simon Winchester dalam bukunya Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 menjelaskan letusan Krakatau bukanlah peristiwa alam biasa yang tak hanya mendatangkan akibat lebih jauh dari sekadar kehancuran fisik dan hilangnya jiwa manusia. Ia juga menimbulkan dampak sosial dan politik bahkan temuan teknologi komunikasi. Pendapat Simon bukan yang satu-satunya. Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebutkan letusan Krakatau merupakan salah satu penyebab terjadinya pemberontakan petani Banten pada 1888. Bencana tersebut telah menyebabkan kegagalan panen dan maraknya wabah
- Percikan Awal Sebuah Konfrontasi
Yogyakarta, 23 September 1963. Dengan suara lantang, Presiden Sukarno meneriakan seruan "ganyang Malaysia" di hadapan puluhan ribu rakyat. Teriakan itu kontan disambut secara antusias dan histeris oleh massa. Sejarah mencatat, itulah percikan awal aksi konfrontasi antara Indonesia-Malaysia mengemuka secara resmi. Pertikaian kedua negara serumpun itu sendiri bermula dari penolakan Indonesia terhadap pendirian Federasi Malaysia. Dalam pandangan Indonesia, pembentukan Federasi Malaysia tak lebih sebagai salah satu bentuk persekongkolan para kolonialis dan membahayakan Indonesia yang baru saja membebaskan diri dari penjajahan. Pramoedya Ananta Toer dalam pengantarnya untuk buku karya Greg Poulgrain The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945- 1965 menyebut konfrontasi sebagai upaya untuk membantu gerakan perjuangan antikolonialisme. Bagi Pram, alasan Inggris membentuk negara Federasi Malaysia lantaran mereka tidak siap untuk kehilangan sumber uang dari Malaya (nama lama dari Malaysia), Singapura, dan Kalimantan Utara (Brunai). Malaya merupakan penghasil timah, karet, dan minyak kelapa sawit. Sedangkan Brunai merupakan tambang minyak dan Singapura merupakan pelabuhan transit yang bisa dijadikan pusat kendali kekuasaan maupun ekonomi. Sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Indonesia melawan Amerika Konflik PD 1953-1963 menulis alasan lain yang membuat Sukarno menolak pendirian Malaysia. Dia merasa Inggris maupun Malaya telah melangkahi Indonesia dalam proses pendirian Malaysia. Hal itu diamini pula oleh sejarawan Asvi Warman Adam. "Saya tidak melihat ada persoalan kolonialisme (terkait konfrontasi dengan Malaysia, red.) . Ada ketersinggungan Sukarno pada Tun Abdul Rahman...” kata Sejarawan Asvi Warman Adam kepada Historia. Sebelumnya, pada 16 September pemerintah Malaka dan Inggris mengumumkan pendirian Federasi Malaysia dengan cakupan wilayah Malaka, Singapura, Sabah, dan Sarawak. Dua jam sebelum pengumuman tersebut, Sekretaris Tetap Malaka untuk Urusan Luar Negeri Ghazali telah menghubungi Subandrio di Jakarta. Tetapi tak urung Indonesia tetap merasa terhina dengan pembentukan Malaysia. Pasalnya, ketidakpercayaan Indonesia terhadap hasil jajak pendapat tidak ditanggapi pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di hari yang sama gelombang protes besar dilakukan di depan Gedung Kedutaan Inggris di Jakarta. Massa menolak keputusan berdirinya Federasi Malaysia. Sukarno kemudian menulis surat pada Presiden Amerika John F Kennedy bahwa ia menolak Federasi Malaysia karena meragukan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh tim Misi Michelmore. Sukarno bahkan mengutip laporan Sekretaris Jenderal U Thant yang mengatakan bahwa tim jajak pendapat kekurangn personil. “Sukarno mengharapkan John F Kennedy untuk menjadi penengah dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Jadi ia meminta suatu jalan keluar yang tidak menyebabkan satu pihak kehilangan muka,” kata Asvi. Pada 17 September 1963 Malaysia memutuskan hubungan diplomatiknya karena merasa tak terima dengan penolakan keras Indonesia. Tak mau kalah, Indonesia pun menghentikan hubungan dagang dengan Malaysia pada 23 September 1963. Dari pidato Sukarno di Yogyakarta, ia menegaskan keinginannya untuk menghancurkan Federasi Malaysia. Pada 24 Desember 1963 Sukarno mengenalkan dua slogan baru dalam rangka mengganyang proyek neo-kolonialisme Malaysia. Rosihan Anwar menulis dalam bukunya Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965 dua slogan baru Sukarno, yakni “Maju Terus Jangan Mundur” dan “Ini dadaku, mana dadamu?”.
- Ahmad Yani dan Panser Saracen
Dalam rangka Operasi Trikora untuk merebut Irian Barat (Papua), Tentara Nasional Indonesia (TNI) membeli alutsista ke sejumlah negara Eropa. Pembelian alutsista itu dipimpin oleh Deputi II Kepala Staf Angkatan Darat Brigjen TNI Ahmad Yani sehingga disebut “Misi Yani.” “Brigadir Jenderal Ahmad Yani ditunjuk menjadi Ketua Staf Operasi dan untuk melengkapi persenjataan Indonesia dalam rangka pelaksanaan Trikora. Misi Yani berkunjung ke negara-negara Eropa untuk membeli senjata yang diperlukan,” ungkap Marieke Pandjaitan boru Tambunan dalam biografi suaminya, DI Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran. Demi melancarkan pembelian, Yani meminta bantuan para atase militer di masing-masing Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Di KBRI Bonn, Jerman Barat misalnya, Yani dibantu oleh Kolonel DI Pandjaitan. Sedangkan di KBRI London, Inggris, Yani dibantu Kolonel Sutojo Siswomihardjo. Di Inggris, Yani sukses memboyong sejumlah alutsista berupa puluhan kendaraan tempur lapis baja atau panser, termasuk Alvis Saracen yang pertama kali dibuat pada 1952. “Ayah (Sutojo Siswomihardjo) saat itu Atase Militer RI di London, menyaksikan penandatanganan nota pembelian panser buatan Inggris tahun 1959 dengan Letjen TNI Ahmad Yani selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Kepala Staf Komando Tertinggi (Koti). Pesanan panser-panser ini baru dikirim sebelum Peristiwa 1965,” kata Nani Nurrachman Sutojo dalam Kenangan Tak Terungkap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965 . Menurut data Trade Register Stockholm International Peace Research Institute ( armstrade.sipri.org ), Indonesia memesan 179 panser. Masing-masing 55 APC (Armoured Personnel Carrier) Alvis FV603 Saracen, 69 Armoured Car Alvis FV601 Saladin, dan 55 unit APV Ferret. "Inggris sangat menikmati penjualan kendaraan lapis baja ke Indonesia," tulis Mark Phythian dalam The Politics of British Arms Sales Since 1964: To Secure Our Rightful Share. Mark mencatat pada akhir tahun 1983, Indonesia memiliki 65 Saladin, 60 Saracen, dan 60 Ferret. Panser-panser itu sempat digunakan TNI AD mengepung Pangkalan TNI AU di Halim Perdanakusuma pada 2 Oktober 1965. Terjadi kontak senjata antara Batalyon 330 Kujang/Siliwangi dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus) dengan Batalion 445/Para dari TNI AU. “Ironisnya, panser-panser itu menjadi pengangkut jenazah para perwira tinggi yang gugur pada 1 Oktober 1965,” kata Nani yang ayahnya, Sutojo Siswomihardjo, menjadi salah satu korbannya. “Peti-peti jenazah diletakkan di atas panser-panser dengan dikawal para perwira tinggi dan pasukan RPKAD. Panser-panser ini adalah peralatan yang dibeli bapak dalam Misi Yani,” kata Amelia Ahmad Yani dalam biografi ayahnya, Profil Seorang Prajurit TNI .
- Meneropong Masa Silam Kiri Indonesia
MAX Lane, Indonesianis yang kini mengajar di Victoria University, Australia, melemparkan bola panas. Di historia.id , dia menulis kalau “Sukarno bukan pemersatu tapi pembelah Indonesia.” Bagi sebagian besar orang Indonesia yang terlanjur mengenal Sukarno sebagai tokoh pemersatu bangsa, pendapat Max itu terdengar aneh. Bagaimana bisa seorang Sukarno yang seumur hidupnya bekerja keras menyatukan bangsa Indonesia justru disebut “pembelah”?
- Pesawat Sukhoi Rasa Minyak Sawit
MENTERI Pertahanan Republik Indonesia Jenderal TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa TNI Angkatan Udara akan diperkuat dengan sebelas Sukhoi Su-35 “Flanker-E” asal Rusia. Pesawat tempur super canggih itu disebut akan menggantikan 12 pesawat tempur lawas F-5E “Tiger” yang akan dipensiunkan. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi negara kedua setelah Tiongkok di luar Rusia yang memiliki jet tempur single-seat bermesin ganda yang andal dalam duel udara dan pembomban.
- Kisah Lucu di Sungai Pakuanan
Suatu hari di tahun 1949, Komandan Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera Mayor Maraden Pangabean sedang mengunjungi pos-pos terdepan pasukannya di wilayah antara Hubu dan Saur Matinggi, pelosok Sumatera Utara. Di tengah kunjungan tersebut, ia mendapat informasi bahwa Letnan Kolonel A.E. Kawilarang (Komandan Sub Teritorium VII Sumatera) sedang menuju markas Sektor IV di tepi sungai Pakuanan. Tanpa menunggu lama, Mayor Maraden lalu memutuskan untuk berbalik lagi menuju markasnya itu. Hari sudah mulai remang, saat sang mayor melewati anak sungai sebelum mencapai markas yang berupa bunker tersebut. Menurut kebiasaan, di tempat ini celana harus dicopot karena menghindar basah (maklum celana cuma satu-satunya). “Jadi saat itu saya hanya mengenakan baju dan celana dalam saja,” ujar Maraden dalam biografi yang ditulisnya, Berjuang dan Mengabdi. Begitu sampai di seberang sungai, ia lantas memanggil salah seorang perwira bernama Letnan Mulatua Purba, tujuannya: ingin menanyakan kebenaran akan kedatangan Letnan Kolonel Kawilarang itu.Belum terlontar pertanyaan tersebut, tiba-tiba Letnan Purba muncul dari arah bunker di seberang sungai, menghormat dan langsung berseru dalam bahasa Belanda: “Mayor! Letnan Kolonel Kawilarang sekarang berada di sini, beliau ingin bertemu dengan Mayor dan mengetahui kondisi sektor kita.” Kawilarang kemudian muncul dari bunker sambil tersenyum dan mengangkat tangan kanan. Melihat kehadiran atasannya itu, Mayor Maraden yang sudah kadung ada di tengah sungai untuk menyebrang lantas mengambil sikap sempurna sambil berseru lantang: “ Lapor! Mayor Maraden Pangabean, Komandan Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera beserta seluruh pasukan Sektor IV dalam keadaan aman! Siap menunggu dan melaksanakan perintah Komandan Sub Teritorium VII Sumatera!” Sang Letnan Kolonel yang tadinya tidak bermaksud formil-formilan, terpaksa juga mengambil sikap sempurna, membalas penghormatan dan menerima laporan Mayor Maraden. Usai sesi formil-formilan tersebut, sambil tersenyum lebar, Kawilarang masuk ke dalam sungai dan membentangkan tangannya. Mereka berdua lantas berpelukan. “Saat itulah kami baru sadar bahwa pada upacara pelaporan tersebut, kami sama-sama hanya mengenakan celana dalam saja karena waktu saya datang, Pak Kawilarang lagi mengeringkan kakinya di atas batu seusai berenang di sungai,” kenang Maraden Pangabean.
- Ratna Assan, Perempuan Berdarah Indonesia Pertama yang Tampil di Majalah Playboy
“SAYA baru bertemu dengan wanita tercantik yang pernah saya lihat,” kenang Wimar Witoelar. Wimar terdiam sejenak. Matanya menengadah ke atas seakan membayangkan kembali perjumpaan dengan Ratna Assan. “Cantik!” serunya lagi. “Dibandingkan dengan orang kulit putih, kulitnya cenderung gelap tapi kalau dibandingkan dengan orang Indonesia lebih putih.” Tawa pun menggelak dari pria yang kini berusia 72 tahun itu. Pada dekade 1990-an, Wimar dikenal sebagai pemandu acara talkshow yang kondang dan pernah menjadi juru bicara kepresidenan era Abdurrahman Wahid. Kepada Historia , Wimar menuturkan pengalamannya mewawancarai Ratna yang tengah di puncak popularitas. Pada awal 1970-an, Wimar ditugaskan ke California, Amerika Serikat untuk menemui Ratna. Ketika itu, Wimar adalah mahasiswa yang nyambi sebagai wartawan televisi untuk acara bertajuk Laporan dari Amerika di Washington DC. Laporan dari Amerika merupakan tayangan produksi United States Information Agency (USIA) mengenai siapa saja menyangkut orang Indonesia yang ada di Amerika. “Waktu itu masih terkenal Ratna Assan. Filmnya Papillon sedang main. Papillon itu artinya kupu-kupu,” ujar Wimar. Wimar mendapat kesan yang berbeda ketika bercengkrama dengan Ratna. “Kesan yang sangat berbeda dari yang saya lihat di film. Kesan anak rumah yang sopan, baik. Sampai saya agak nggak percaya apa dia itu beneran. Jadi persona showbiz- nya dengan persona di rumahnya beda. Dia cerdas,” tutur Wimar. Nama Ratna Assan melejit setelah membintangi film Papillon bersama Steve McQueen dan Dustin Hoffman pada 1973. Papillon menjadi film termahal (12 juta dolar) yang diproduksi pada masanya. Ratna berperan sebagai Zoraima, gadis pantai suku Indian yang menolong seorang pelarian kriminal Prancis bernama Henri Charriere “Papillon” (Steve McQueen). Dalam sebuah adegan, Ratna yang tampil bertelanjang dada beradu peran dengan aktor kawakan Steve McQueen sebagai sepasang kekasih. “Saya pikir gila ini, bisa topless . Filmnya padahal bagus sekali. Seru!” kata Wimar. Bakat seni Ratna menurun dari ibunya. Ratna Assan lahir pada 16 Desember 1954 di Torance, California, Amerika Serikat, dari pasangan Indonesia Ali Hasan dan Soetidjah. Ibunya Soetidjah lebih dikenal sebagai Dewi Dja, seorang penari dan koreografer yang tampil dalam film-film produksi Hollywood. Sejak usia tiga setengah tahun, Ratna telah diajari ibunya menari, bernyanyi, dan bermain seni peran. Dewi Dja kerap pula menyertakan Ratna dalam beberapa pertunjukan tari. “Dja melatih Ratna tarian Indonesia setiap hari dan menampilkannya sebagai bintang dalam rombongan tariannya yang bernama ‘Devi Dja Far Eastern Ballet’ dan ‘Devi Dancer’ pada 1960-an,” ujar Matthew Issac Cohen dalam Performing Otherness: Java and Bali on International Stages, 1905-1952 . Menurut Cohen, pakar sejarah seni pertunjukan Asia Tenggara di Universitas London, Devi Dja berperan besar mengantarkan Ratna berkarier di industri hiburan Amerika. Dja gencar mempromosikan Ratna bermain peran di serial televisi dan studio film. “Berharap agar Ratna berhasil, di mana Dja sendiri telah gagal di sana.” Dja gagal menembus Hollywood disebabkan kurang fasih dalam berbahasa Inggris. Debut profesional Ratna dimulai pada usia tujuh tahun. Ketika itu, dia menampilkan tarian tradisional Jawa dalam konser musik di sebuah amfiteater di kawasan Hollywood bernama Hollywood Bowl. Setelah itu, Ratna mulai tampil di televisi, menari dan berperan artis cilik dalam drama seri Destry to Bonanza . Dia tumbuh sebagai remaja California yang ceria dan menjadi pemandu sorak saat SMA. Beranjak dewasa, Ratna mekar menjadi gadis manis berparas eksotis. Colombia Pictures, rumah produksi yang menggarap Papillon segera memboyongnya untuk memainkan karakter Zoraima, pemeran utama wanita. Ratna Assan menembus panggung Hollywoood. “Seseorang yang bisa dan pernah main sama Steve McQueen saat itu termasuk (artis, red .) yang diperhitungkan,” ujar Wimar. Papillon sukses besar. Film itu meraup pendapatan sebesar 53 juta dolar. Ia juga masuk nominasi Oscar untuk kategori musik terbaik dan Steve McQueen menyabet penghargaan aktor pria terbaik. Nama Ratna Assan ikut melambung dan mulai dikenal publik Amerika. “Inilah bintang yang baru lahir, yaitu Ratna Assan. Nona Assan adalah seorang wanita muda cantik yang berusia 18 tahun yang juga memegang sabuk coklat karate,” dilansir The Milwaukee Sentinel , 30 November 1973. Penampilannya yang memukau di Papillon menarik Playboy untuk menampilkan Ratna dalam rubrik pictorial setahun kemudian. Ratna menjadi wanita Indonesia pertama yang tampil dalam majalah pria dewasa tersohor itu. “Ratna Assan si butterly girl bukan nama yang akrab, tapi penampilannya bersama Steve McQueen di Papillon menjadikan wajah dan figurnya begitu familiar,” tulis Playboy edisi Februari 1974. Popularitas Ratna Assan tak bertahan lama. Bintangnya meredup seketika. Kariernya di dunia seni peran Hollywood mandek. Apa sebabnya? “Rupanya Ratna anak yang manja dan tidak mempunyai kemauan keras untuk menanjak ke atas. Kontrak film sudah ditandatangani tapi dia tidak mau menghafal skrip. Atau tidak tepat datang ke tempat pengambilan film,” tulis Tempo, 16 Oktober 1977. Nama Ratna mulai hilang dari panggung hiburan tatkala menikah dengan seorang pemuda Amerika yang berprofesi sebagai tukang kayu di Las Vegas. Dari pernikahan itu, lahir seorang putri bernama Aisah Dewi. Biduk rumah tangga Ratna pun tidak berlangsung lama dan berakhir dengan perceraian. Tak diketahui persis dimana keberadaan Ratna Assan saat ini. “ I wish I knew . Wallahualam,” kata Wimar. “Kalau dia masih berada di dunia fana, saya rasa di Amerika.”*






















