top of page

Hasil pencarian

9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ranah Rantau Rumah Makan Padang

    JARUM jam menunjukkan angka 12. Akmal Darwis memasuki Rumah Makan Inyai di simpang Olo Ladang, Kota Padang. Sejurus kemudian, tukang air (pramusaji) menyajikan segelas air putih panas di meja. “Saya membeli suasana,” ujar Akmal, 62 tahun, wartawan senior di Padang, yang menjadi pelanggan setia Inyai sejak akhir 1970-an.

  • Pengasingan Paksa Eksil Politik oleh Negara

    “Mereka bukan diaspora yang menerima paspor dengan kemegahan, melainkan orang-orang yang haknya atas sebuah tanah air telah dirampas. Mereka berkelana menyeberangi berbagai batas negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran yang dilancarkan oleh sebuah rezim yang bertahta berdasawarsa lamanya."

  • Olahraga Pelancar Usaha

    PADA penghujung April lalu, golf menjadi sorotan publik ibukota. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melontarkan pernyataan kontroversial. Ahok mengungkap sejumlah pejabat dalam jajaran pemerintahannya tergabung dalam “geng golf ”. Dia menyebut walikota Jakarta Utara yang mengundurkan diri, Rustam Effendy, termasuk salah satu anggotanya.

  • Menyapa Si Huma

    SEPUCUK surat berkop Sekretariat Negara diterima Partono awal 1980-an. Surat itu ditandatangani Gufran Dwipayana, kepala Pusat Produksi Film Negara (PPFN) –kini, Produksi Film Negara (PFN)– yang juga asisten menteri sekretaris negara bidang mass media/dokumentasi. Isinya, Partono diminta membantu PPFN dalam membuat film animasi.

  • Mengikis Penyakit Sifilis

    KOTA pelabuhan Tegal, sekira 1825, geger akibat berjangkitnya penyakit sifilis. Pemerintah kota pun berinisiatif membendung penyebarannya. Para penderita sifilis dikumpulkan di suatu tempat agar tak berkeliaran di jalanan.

  • Meniti Jalan Nasionalisasi

    LAMPU di rumah Jalan Pegangsaan Timur No 56 masih menyala. Malam itu, 2 Desember 1957, ditingkahi kepulan asap rokok, para pemimpin kelompok fungsional beradu argumen tentang rencana aksi nasionalisasi semua kepentingan Belanda di Indonesia. Instruksi bersama sudah disiapkan; tinggal ditandatangani semua yang hadir.

  • Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

    SUKARNO, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka disebut-sebut sebagai empat serangkai pendiri Republik Indonesia. Pada 1925, Sukarno masih kuliah teknik arsitektur di THS (kini ITB) Bandung. Begitu pula dengan Hatta yang mengambil studi ekonomi di Handels Hogeschool (kini Universitas Erasmus) di Rotterdam, Belanda. Sjahrir bahkan belum lagi merampungkan sekolah menengah MULO di Medan. Sementara itu, Tan Malaka sudah menulis risalah tentang konsep negara Indonesia merdeka dalam Naar de Republiek Indonesia   (Menuju Republik Indonesia ). Tan Malaka menulis risalah itu saat berada dalam pelarian di Kanton, Tiongkok pada April 1925. Isinya kemudian disempurnakan lagi di Tokyo pada Desember 1925. Namun, pengakuan terhadap Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia masih belum diresmikan oleh negara sampai saat ini. “Tan Malaka adalah penggaggas konsep Republik Indonesia ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan juga para founding fathers  kita yang lain seperti Sukarno membaca dan mendapat inspirasi dari Tan Malaka,” kata sejarawan Asvi Warman Adam dalam diskusi “100 Tahun Naar De Republik Indonesia ” di Perpustakaan Nasdem, Jakarta, 21 November 2025. Menuju Republik Indonesia adalah manifesto politik Tan Malaka yang jauh mendahului proklamasi kemerdekaan. Dengan analisis tajam tentang kolonialisme Belanda, situasi global, dan strategi perjuangan rakyat, Tan Malaka menegaskan bahwa Republik bukanlah hadiah, melainkan hasil kesadaran dan organisasi kolektif. Dalam pengantarnya yang ditulis di Kanton, Tan Malaka mengatakan, jiwanya berharap dapat menjangkau kaum terpelajar Indonesia, dan buku yang ditulisnya ini dimaksudkan sebagai alat penghubung. Meski bukan diplomat, menurut Asvi, Tan Malaka seorang pemimpin Indonesia yang mobilitasnya sangat tinggi. Ia membandingkan Tan Malaka dengan Sukarno yang sebelum Indonesia merdeka baru sekali ke luar negeri, yaitu ke Jepang pada 9 Agustus 1945. Sebaliknya, Tan Malaka dalam rentang 1925–1945 telah berkelana dari satu negara ke negara lain. “Amsterdam, Berlin, Moskow, Tiongkok; Amoy, Shanghai, Kanton. Kemudian dia menyeberang ke Manila, Saigon, Bangkok, Hong Kong, Rangoon, dan Penang. Jadi, Tan Malaka termasuk pemikir yang traveller  ya. Tapi, dia dalam banyak hal itu lebih sebagai buronan, dikejar-kejar oleh polisi Belanda, Inggris, dan lain-lain. Ini yang membedakan Tan Malaka dengan pemimpin Indonesia yang lain,” jelas Asvi. Setelah buron keliling dunia, Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 1942. Sukarno sendiri menaruh hormat pada Tan Malaka. Itu sebabnya, dalam pertemuan mereka pada September 1945, Sukarno menuliskan testamen politik yang menyatakan kepemimpinan Republik diembankan kepada Tan Malaka, andai kata terjadi sesuatu terhadap Sukarno dan Hatta. Ketika dirundingkan dengan Hatta, isi testamen itu lantas direvisi. Maka, jalan tengahnya, pemegang amanah testamen itu ditambah dengan tokoh lain, yaitu Sjahrir, Wongsonegoro, dan Iwa Kusumasumantri. Diskusi “100 Tahun Naar De Republik Indonesia ” karya Tan Malaka di Perpustakaan Nasdem, Jakarta, 21 November 2025. (Martin Sitompul/Historia.ID) Tan Malaka kemudian bergerilya membentuk basis kekuatannya dalam front Persatuan Perjuangan yang mengusung kampanye “Merdeka 100 Persen”. Namun, akhir riwayat Tan Malaka berakhir tragis. Dia meringkuk dalam tahanan di penjara Yogyakarta, setelah dikaitkan dengan aksi Kudeta 3 Juli 1946 yang dilancarkan Jenderal Mayor Soedarsono. Tan Malaka dibebaskan pada 1948, setelah memperoleh amnesti dari Presiden Sukarno. Aktivitas politik Tan Malaka selanjutnya membentuk Partai Murba. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi oleh pasukan Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya atas perintah Letda Soekotjo di Selopanggung, Kediri. Berakhirlah kiprah dan perjuangannya di masa revolusi. Pada 1963, Presiden Sukarno mengangkat Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional bersama tokoh kiri Alimin. Klaim Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia mula-mula digaungkan oleh Mohammad Yamin, pakar hukum dan budayawan, yang semasa muda menjadi pengikut Tan Malaka dalam Partai Murba. Pada 1946, Yamin menulis ketokohan Tan Malaka dalam buku berjudul Tan Malaka: Bapak Republik Indonesia . Kendati demikian, selama rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, nama Tan Malaka dihilangkan dari narasi sejarah. “Nama Tan Malaka ini saya kira patut diabadikan sebagai Bapak Republik Indonesia. Gelar Bapak Republik ini agar kiranya bisa diformalkan oleh negara. Kemudian pemakaman Tan Malaka di Selopanggung, Kediri itu bisa dipugar secara resmi sehingga masyarakat bisa menziarahinya (dan mengenangnya),” pungkas Asvi. Sementara itu, Airlangga Pribadi Kusman, dosen ilmu politik Universitas Airlangga, menyebut risalah Menuju Republik Indonesia  yang ditulis Tan Malaka sebagai karya monumental. Manuskrip politik yang padat, lugas, dan tidak bertele-tele ini merupakan karya pertama dalam sejarah para pendiri bangsa yang berhasil menjelaskan jalan perjuangan revolusioner untuk menghasilkan Indonesia merdeka. Tan Malaka menunjukkan bagaimana perjuangan itu harus berhadapan dengan kondisi struktural yang berlangsung dalam skala dunia maupun Indonesia; kekuatan sosial apa yang terlibat; bagaimana proses dialektika dan syarat bagi terwujudnya Republik; serta program-program konkret dari Republik Indonesia yang hendak dibangun. “Karya ini ditulis Tan Malaka sewaktu di Kanton. Kanton ini penting pada waktu ia menulis tahun 1925. Kanton adalah pusat pergerakan kaum bawah tanah se-Asia. Kalau kita baca [memoar Tan Malaka] Dari Penjara ke Penjara , Tan Malaka berdialog panjang dengan Sun Yat Sen, dia bertemu Ho Chi Minh. Dia bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan Asia. Dan semua refleksi renungannya itu kemudian dituliskan dalam Menuju Rapublik Indonesia  tahun 1925,” terang Airlangga. Selain itu, sambung Airlangga, karya Tan Malaka menjadi inspirasi bagi tokoh pergerakan nasional Indonesia lainnya. Sukarno menjadikannya rujukan sebagai sumber untuk mengadakan kursus politik. Begitu juga dengan Hatta. “Kalau saya bilang, kalau pakai istilah anak gen-z zaman sekarang secara positif, figur-figur seperti Sukarno, Hatta, dan yang lainnya, itu ketika membaca ini mengidap apa yang disebut sebagai FOMO ( fear of missing out ). Jadi, istilahnya kalau enggak membaca ini ya ketinggalan,” kata Airlangga.*

  • Memupuk Asa di Desa Putera

    KECERIAAN memenuhi suasana Panti Asuhan Desa Putera, biasa disingkat Padestra, di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Mata yang masih kuyu selepas tidur siang tak menghalangi mereka beraktivitas. Ada yang bercerita sambil berjalan bersama teman. Ada pula yang bermain sepakbola di aula.

  • Kuasa “Jagal Film” Negara

    TIGA anggota Badan Sensor Film (BSF) menonton film baru berjudul Perawan Desa pada 1978. Film ini disutradarai Frank Rorimpandey, penulis skenario Putu Wijaya, dan diproduksi Safari Sinar Sakti. Seperti film lainnya, Perawan Desa harus lolos sensor sebelum diputar di bioskop. Sebagai tanda lolos sensor, Surat Tanda Lulus Sensor harus disertakan bersama roll film yang dikirim ke bioskop.

  • Gelora dari Purwakarta

    SENJA hampir tenggelam. Kompi Satoean Pemberontak 88 (SP 88) pimpinan Saridil bergerak cepat. Mereka melepaskan sekrup-sekrup rel kereta api di dekat Pasirembe, Purwakarta. Sejurus kemudian mereka menyingkir ke arah perbukitan. Sekitar pukul 18.00, dari arah Bandung, datanglah kereta api ekspres Bandung-Jakarta yang dikawal militer Belanda. Ketika melintasi jalur tersebut, kereta langsung anjlok dan terguling.

  • Dalih Pengambilalihan Massal

    SORE hari, Desember 1957, Soehadi Reksowardoyo mengantar enam orang veteran eks Brigade XVIII ke pabrik kertas NV Papier Fabriek Padalarang. Mereka datang diam-diam untuk “mengintip pabrik” dan “mengumpulkan data teknologi perkertasan” sebagai bekal membangun pabrik kertas di Blabak milik Bank Industri Negara (BIN). Pasalnya, pihak pabrik menolak permintaan BIN untuk melakukan kunjungan resmi.

  • Bukan Kutukan Si Pait Lidah

    SUNGGUH sakti mulut Si Pait Lidah. Kutukan yang keluar darinya bisa mengubah apapun menjadi batu. Sudah banyak orang jadi korban. Lihat saja arca-arca batu yang tersebar di kawasan Lahat dan Pagar Alam (pemekaran dari Lahat tahun 2001), Sumatra Selatan. Setidaknya itulah yang dipercayai masyarakat pendukung Budaya Besemah atau lebih dikenal dengan Pasemah.

bottom of page