Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Roman Sepakbola Negeri Jiran
MALAYSIA tampak lebih maju dari Indonesia soal bal-balan . Duel keduanya dalam kualifikasi Piala Dunia 2022, Kamis (5/9/2019), sudah cukup membuktikan kualitas sepakbola mana yang lebih maju saat ini. Indonesia keok 2-3 meski main di kandang. Padahal, kandang Indonesia selama ini terbilang angker bagi tim negeri jiran itu. Rivalitas sengit antar-kedua negara membuat suporter Indonesia mati-matian mendukung tim kesayangannya jika berhadapan dengan Malaysia. Lagi-lagi, faktor mental pemain berperan penting dalam tiap pertandingan. Para pemain Malaysia terlihat lebih matang dalam mental sejak beberapa tahun belakangan. Hal itu dibuktikan oleh keberhasilan Malaysia merepotkan Indonesia kala bertanding di Indonesia. Sebaliknya, para pemain Indonesia tampak “mati gaya” kala bermain di Malaysia. Lantas, bagaimana sepakbola Malaysia bermula dan bisa sampai berkembang seperti saat ini? Bentangan Masa Bola Sepak Malaysia Kendati induk organisasi sepakbola Malaysia sudah eksis sejak September 1926, bisa dipastikanpermainan sepakbola telah menjalar ke negeri itu lebih awal. Sepakbola diperkenalkan orang-orang Inggris di Singapura ke British Malaya mulai akhir 1880-an. Klub-klub amatir lalu bermunculan bak jamur di musim hujan hingga mencapai semenanjung dan kemudian Borneo. “Singapore Amateur Football Association (SAFA) sudah berdiri pada 1892. Walau awalnya hanya untuk pemukim Eropa, olahraga ini lantas menular ke komunitas Melayu dan Cina. Kompetisi lintas negeri saja sudah mulai pada 1894 ketika tim Eropa dari Singapore Cricket Club melawat ke utara menuju Johor untuk berlaga melawan tim Melayu, Johor Football Club XI,” sebut Charles Little,pakar hubungan Malaysia-Singapura dari London Metropolitan University, dalam ulasannyayang berjudul “Hamlet without the Prince: Understanding Singapore-Malaysian Relations through Football” yang dimaktub dalam Football in Asia: History, Culture and Business. Namun, hingga kini klub apa yang tertua di Malaysia masih sumir. Situs resmi FAMhanya menyebutkan Selangor FA-lah klub tertua dan masih merumput saat ini. Meski dicantumkan lahirnya pada 1936 (berubahnya SAFL menjadi Selangor FA),klub itu sudah berakar sejak 1905 dengan menggalang kompetisi tahunan internal, Selangor Association Football League (SAFL) mulai 1906. Tim-tim yang mengikuti kompetisi itu semua tim di bawah naungan Selangor FA yang berbasis di Kuala Lumpur. Kompetisi itu dihelat untuk memperebutkan gelar Watson Shield, yang diambil dari nama Residen Selangor kala itu, R.G. Watson. Merujuk catatan rsssf.com , Selangor Club jadi juara di perhelatan pertamanya dan Recreation Club sebagai runner up -nya. K ompetisi resmi yang disepakati bersama seluruh negara bagian British Malaya sendiri baru tiba hampir dua dasawarsa berselang dengan digelarnya HMS Malaya Cup pada 1921. Kompetisi diprakarsai para perwira dan kru kapal perang HMS Malaya yang s e d an g b er l a buh di Kuala Lumpur. Mengutip periset politik, budaya, dan olahraga Jerman Ben Weinberg dalam Asia and the Future of Football: The Role of the Asian Football Confederation , kompetisi itu dihelat sebagai balas budi atas sambutan hangat masyarakat setempat. Kompetisi lantas rutin diadakan tahunan hingga dinamai Malaya Cup (pada 1963 berubah jadi Malaysia Cup). “Segera setelah lahirnya kompetisi itu, sepakbola menyebar lebih luas ke pelosok negeri yang lantas mendirikan asosiasi-asosiasi mereka sendiri. Saat itu komposisi tim-timnya masih berdasarkan latarbelakang etnis setempat seperti Cina, Melayu, dan Eropa,” sebutnya. Medio September 1926, lahirlah MFA untuk mewadahi asosiasi di masing-masing negara bagian yang satu dekade berselang berubah menjadi FAM. SAFA kala itu masuk sebagai anggota FAM. Timnas Malaysia bersama PM Tunku Abdul Rahman usai memenangi Pestabola Merdeka 1958 (Foto: Wikipedia) Sebagaimana di negara-negara lain, sepakbola Malaya “mati suri” saat Perang Dunia II dan baru bangkit tahun 1950-an,utamanya setelah diterima masuk sebagai anggota AFC dan FIFA pada 1956.Pada 1950, SAFA (sejak 1966 berubah menjadi Football Association of Singapore/FAS) memilih keluar dari FAM. “Perdana menteri pertama Malaysia Tunku Abdul Rahman terlibat langsung dalam pembangunan Merdeka Stadium yang menjadi tempat perayaan kemerdekaan pada 1957. Pembangunannya mensinyalkan perhelatan Turnamen Merdeka, sebuah turnamen internasional dengan prestis tinggi untuk negara-negara Asia,” kata Weinberg. Di turnamen tertua Asia yang punya sebutan asli Pestabola Merdeka itu, tim Hong Kong League keluar jadi juaranya. Timnas Malaya sendiri hanya menduduki posisi buncit putaran final yang bersistem klasemen itu. “Tim federasi (Malaya, red. ) memang tak berjaya, namun setidaknya kita bisa berbahagia memikirkan bahwa kita telah menjalankan program yang tak hanya diniatkan untuk menghibur pecinta bola namun juga mempromosikan niat baik, semangat olahraga yang baik dan persahabatan dengan semua negara di dunia,” kata PM Tunku Abdul Rahman, dikutip Weinberg.
- Bambu Runcing Dibilang Pagar
SJAFTA (92) masih ingat kejadian 70 tahun lalu itu. Di pagi yang dingin, dia bersama 18 orang kawannya mengendap-endap di sebuah bukit hijau dekat perbatasan Cianjur dengan Sukabumi yang mengapit jalan setapak. Tak seorang pun di antara mereka yang memegang senjata api kecuali stengun yang dimiliki Letnan Anwar, sang pemimpin lasykar. “Kami masing-masing hanya memegang sebilah bambu runcing yang dibuat secara terburu-buru di hutan Caringin (terletak di tenggara Cianjur) malam sebelumnya,” kenang eks anggota Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) itu. Satu setengah jam baru saja berlalu, saat dari kejauhan tetiba terdengar suara berbicara dalam bahasa Belanda. Rupanya patroli yang mereka tunggu sudah mulai datang; sekitar 9 prajurit berseragam hijau kekuning-kuningan, yang sebagian besar merupakan bule totok. Mereka berjalan tak teratur, dan dalam posisi lengah. Begitu rombongan tersebut melintas di bawah mereka, Letnan Anwar meneriakkan aba-aba untuk menyerbu. “Serang...!” Sjafta dan kawan-kawannya langsung berloncatan. Dalam hitungan detik, darah pun menyembur diiringi teriakan beringas para gerilyawan bersanding dengan jeritan panik para serdadu yang rata-rata seusia. Sjafta sendiri berhasil menusuk lambung seorang serdadu hingga tewas di tempat. Bisa dikatakan, penghadangan itu sukses besar: sembilan serdadu musuh tewas dan semua senjata berhasil dirampas oleh pasukan Letnan Anwar. Di tengah minimnya senjata (sepuluh berbanding satu), para pejuang Republik tidak punya banyak pilihan lain kecuali menggunakan bambu runcing sebagai alat untuk menghadapi musuh mereka. Sebagai senjata, bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang saat itu dikenal dengan sebutan takeyari . Sejatinya bilah bambu ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakan takeyari , yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan. “Laiknya seorang prajurit tengah menggunakan senapan bersangkur,” tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali! Semasa dididik menjadi perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada 1944, almarhum Mayor Jenderal TNI (Purn.) Moestopo pernah menjadikan bambu runcing sebagai tema “disertasinya”. Di hadapan para perwira tinggi Jepang, eks pimpinan Pertempuran Surabaya itu berhasil mempertahankan karya tulisnya yang berjudul "Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Untuk People Defence dan Attack serta Biological War Fare ". Tidak hanya lulus dan menjadi yang terbaik, karyanya ini malah mendapatkan pujian setinggi langit dari militer Jepang saat itu. Banyak cara yang dilakukan oleh para pejuang Republik untuk menjadikan bambu runcing miliknya “bukan hanya sekadar bambu”. Dalam bukunya yang berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren , Syaifuddin Zuhri menyebut figur Kyai Haji Subkhi, seorang ulama besar di Parakan, Temanggung yang pada masa revolusi kemerdekaan dijuluki sebagai Kyai Bambu Runcing. Julukan itu muncul karena Kyai Subkhi menciptakan sejenis bambu runcing yang disepuh doa untuk nantinya digunakan para pejuang republik di medan laga. Uniknya, para petarung yang datang ke Parakan bukan hanya berasal dari kalangan santri. Para laskar yang tergabung dalam barisan kaum kiri juga mendatangi Kyai Subkhi sekadar untuk mendapatkan barokahnya! Di antaranya adalah Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman (tokoh PKI) dan Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di bawah pimpinan Krissubbanu. Selagi menjadi kepala Kepala Staf Komandemen I TKR Jawa Barat pada 1946, Kolonel A.H. Nasution pernah memiliki kisah lucu terkait bambu runcing ini. Pada suatu hari, dia berkesempatan menemani Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara (MBT) Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo melakukan inspeksi ke Resimen XIII di wilayah Tanjungsari, Sumedang. Begitu rombongan Pak Oerip sampai di lapangan, serentak komandan pasukan berteriak: “Hormat senjataaa...!” Namun, bukan bedil yang diangkat melainkan bambu runcing. Pak Oerip membalas sikap hormat itu dengan khidmat layaknya seorang komandan tertinggi. Namun, sambil berjalan memeriksa barisan pasukan bambu runcing tersebut, Pak Oerip masih sempat berbisik dalam nada gurauan kepada Nasution: “Nas, kamu suruh aku periksa pagar bambu ya?” demikian kisah Nasution dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid III.
- Bidan Rebut Pendapatan Dokter di Negeri Jajahan
KEDATANGAN bidan Eropa ke Hindia Belanda pada abad ke-19 membawa sedikit berkah bagi para ibu pribumi hamil. Kasus kelahiran sulit bisa diatasi dengan lebih hiegenis sehingga mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Para bidan kulit putih itu biasanya ditempatkan di tiga kota besar di Jawa: Batavia, Surabaya, dan Semarang. Bidan yang telah memegang izin praktek sering dimintai bantuan oleh penduduk sekitar. Bidan Eropa diwajibkan memberi layanan gratis pada kasus kelahiran sulit bagi perempuan miskin dari segala ras. Kebijakan yang terlihat mulia ini sebetulnya kampanye dari Dinas Kesehatan Sipil. Dinas ingin perempuan pribumi ramai-ramai menggunakan jasa bidan sekaligus tertarik mendaftar ke sekolah kebidanan. Peter Bloomgard dalam “The Development of Colonial Healthcare in Java” menyebut, Dinas Kesehatan Publik sudah seperti negara dalam negara. Mereka melakukan kampanye kesehatan, seperti manajerial rumahsakit, riset nutrisi dan medis, dan pelatihan pada tenaga kesehatan. Agenda-agenda ini cukup berhasil mengingat banyaknya bidan kulit putih yang hijrah ke tanah Indies. Sekolah kebidanan di Belanda menelurkan 60-70 bidan terlatih tiap tahunnya. Para bidan ini tak semua bisa bekerja di Belanda. Sementara, kabar tingginya pendapatan di negeri jajahan sudah tersebar ke Belanda. Liesbeth Heseelink dalam Healers on the Colonial Market menyebut, upah di Hindia-Belanda selama sebulan setara gaji bidan di Belanda selama setahun. Karena itulah, banyak bidan Eropa rela menyeberangi lautan untuk membuka praktik di negeri jajahan. Beberapa pensiunan bidan memilih bekerja sebagai bidan pribadi bagi keluarga-keluarga kaya Eropa. Para bidan amat senang mengurus keluarga Eropa karena upah yang mereka terima cukup banyak, juga dilayani dengan baik oleh babu dan jongos mereka. Lebih dari itu, bidan Eropa menikmati privilege dan rasa hormat yang diberikan baik oleh masyarakat Eropa, pribumi, maupun Tionghoa. Kepuasan masyarakat Eropa di Hinda-Belanda pada kinerja bidan pribadi cukup tinggi. Saran para bidan amat didengar para nyonya kulit putih. Bahkan, pada beberapa keluarga Eropa, bidan punya pengaruh lebih besar dibanding dokter Eropa yang notabene laki-laki. Di masa ini, yang boleh jadi dokter hanya lelaki. Aletta Jacobs, dokter perempuan pertama di Belanda, saja baru lulus pada 1879. Dokter H van Buuren pernah mengeluhkan ibu hamil Eropa yang menjadi pasiennya lebih banyak mendengarkan nasihat bidan berpengalaman dibanding dirinya yang seorang dokter dengan pengetahuan ilmiah. Liesbeth menyebut, Van Buuren menceritakan pengalamannya ini dengan rasa kesal dan nada merendahkan. Van Buuren menilai tindakan para bidan sudah melangkahi ranah dokter dan tidak bisa diterima. Ia juga menyayangkan mereka tak mendapat sanksi. Rebutan pasien inilah yang jadi salah satu pemicu ketegangan hubungan antara bidan dan dokter. “Mereka berani menggunakan segala metode untuk membantu persalinan, meresepkan obat, dan mereka memandang rendah para dokter yang dipanggil untuk membantu persalinan. Daripada mendengarkan saran dokter yang berdasar pengetahuan ilmiah, mereka lebih bersandar pada pengalamannya sendiri,” kata van Buuren. Pada 1849, terdapat aturan bahwa obat hanya boleh diresepkan oleh dokter. Orang tidak memenuhi syarat yang mempraktikkan pengobatan Barat akan diberi sanksi. Namun, aturan ini lebih sering tidak dijalankan lantaran minimnya tenaga medis di negeri jajahan. Pada 1951, pemerintah kolonial mendirikan sekolah medis di Batavia untuk mengatasi masalah kurangnya ahli kesehatan. Satu Sekolah Dokter Djawa untuk jejaka pribumi yang lulusannya jadi mantri, satu lagi sekolah kebidanan untuk gadis Jawa. Ide pendirian sekolah ini dicetuskan Kepala Layanan Medis dokter W. Bosch. Sebelum mengusulkan pendirian sekolah dokter Jawa, Bosch lebih dulu mengusulkan pendirian sekolah kebidanan. Tujuan pendirian dua instansi pendidikan ini sama, meningkatkan kualitas layanan medis negeri jajahan dan menyingkirkan pengobatan lokal. Lebih jauh, kata Liesbeth dalam disertasinya, tujuan pendirian sekolah itu untuk merebut pasar pengobatan di negeri jajahan. Namun apa daya, yang berebut malah sesama tenaga medis kulit putih. Tiap perempuan yang lulus ujian masuk sekolah bidan akan mendapat bonus 50 gulden. Namun pada 1899, sekolah kebidanan terpaksa ditutup. Ada dua alasan yang menjadi penyebab penutupan itu sebagaimana ditulis dokter MPH van Kol dalam laporannya. Alasan yang beredar di muka umum ialah minimnya jumlah peminat. Namun alasan utamanya, pengelola pendidikan medis ingin memperluas Sekolah Dokter Djawa sehingga sekolah kebidanan yang muridnya sedikit ditiadakan agar bangunannya bisa digunakan.
- Riwayat Islam di Bali
MAJAPAHIT tidak pernah mati di Bali. Pengaruh kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara itu begitu besar di sana. Hampir semua bidang kehidupan, utamanya setelah ekspansi besar Maha Patih Gajah Mada di Bali pada 1343, terpengaruh oleh kebudayaan Jawa yang dibawa Majapahit. Begitu kentalnya pengaruh tersebut, hingga penyebaran pertama agama Islam di Pulau Dewata itu juga tidak terlepas dari campur tangan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389), raja yang membawa Majapahit pada puncak kejayaannya. Syahdan, di wilayah pemerintahan Majapahit, komunitas Muslim telah mendapat tempat yang cukup kuat. Menurut arkeolog dan epigraf Hasan Djafar, dalam tulisannya “Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan pada Masa Majapahit Akhir” dimuat Pertemuan Arkeologi IV , di bawah kekuasaan Hayam Wuruk banyak penduduk Majapahit yang sudah memeluk Islam. Sebagai bukti, para arkeolog telah berhasil menunjuk pemakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto. “Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” ungkap Hasan. Menetap di Bali Masyarakat Muslim di Bali muncul berkat hubungan diplomatik yang baik antara Majapahit sebagai negara penguasa dengan Bali sebagai negara vasal (negara yang dikuasai). Ketika Hayam Wuruk memerintah, Dalem Ketut Ngelesir (1380-1460), putra raja pertama Samprangan Sri Aji Krisna Kepakisan alias Dalem Sri Kresna Kepakisan (memerintah 1352), mendapat undangan berkunjung ke Keraton Majapahit pada 1380-an. Saat itu, Hayam Wuruk sedang mengadakan konferensi di kerajaannya. Turut diundang dalam acara tersebut negara-negara koloni Majapahit dari seluruh wilayah Nusantara. Dalem Ngalesir datang mewakili Kerajaan Gelgel, pecahan dari Kerajaan Samprangan yang dikuasai kakak tertuanya. Dalam buku Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang , peneliti senior Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) Dhurorudin Mashad menceritakan bahwa ketika kembali ke Gelgel, Dalem Ngalesir mendapat pengawalan dari pemerintah Majapahit. Ia diberi 40 orang pengiring dalam perjalanan pulangnya itu. Mayoritas dari mereka berprofesi sebagai tentara, sementara sisanya berkerja sebagai juru kapal dan juru masak. Yang menarik, para pengawal tersebut seluruhnya beragama Islam. Spekulasi pun akhirnya muncul di antara para ahli. Banyak yang beranggapan Hayam Wuruk ingin mengurangi jumlah populasi Muslim yang terus berkembang di pusat pemerintahannya. Ia khawatir kaum minoritas itu akan mendominasi daerah kekuasaannya. Mengingat Majapahit adalah kerajaan Syiwa-Buddha. “Realitas itu tentu menjadi fakta yang sangat aneh dan memerlukan kajian historis secara lebih mendalam,” tulis Dhurorudin. Setelah sampai, 40 orang Islam itu enggan kembali ke wilayah Majapahit dan memilih untuk tinggal di Bali. Akhirnya oleh Dalem Ngalesir mereka diberi satu daerah pemukiman khusus di Gelgel. Keempat puluh orang itu pun diperintahkan mengabdi kepada Kerajaan Gelgel, tanpa syarat apapun. Artinya mereka tidak harus berpindah kepercayaan mengikuti agama yang berkembang di Gelgel. Sehingga praktis agama Islam pun memulai perjalanannya di Bali. “Rombongan muhibah (harta yang tidak berwujud) politik kaum Muslim generasi pertama di Bali akhirnya menetap dan kawin mawin dengan wanita Bali,” tulis Dhurorudin. Komunitas Muslim pertama Bali itu lalu membangun masjid di Gelgel, yang sekarang dikenal sebagai masjid tertua di tanah Bali. Sejak saat itu Islam mulai melakukan aktivitasnya. Menghalau Pengaruh Islam Setelah Dalem Ngalesir melepaskan takhtanya, Kerajaan Gelgel-Klungkung diperintah oleh Dalem Waturenggong (1460/1480--1550). Masa ini juga menjadi puncak kejayaan Islam di Nusantara. Sementara Hindu-Buddha, termasuk Majapahit, pengaruhnya kian surut akibat banyak kerajaan yang mulai menerima keberadaan agama Islam di wilayahnya. Majapahit sendiri mendapat serangan dari Kesultanan Demak pada 1518. Akhirnya keruntuhan kerajaan besar itupun tidak lagi dapat dihindari. Momen kehancuran Majapahit lalu dimanfaatkan oleh Dalem Waturenggong untuk memerdekakan wilayah Bali dan memperluas wilayah kekuasaannya. Berhasil merebut dan mengislamkan wilayah Majapahit di Jawa, Demak pun berencana melancarkan aksi serupa di Bali. Namun kali ini mereka tidak menggunakan jalan penaklukkan, tetapi melalui perdamaian. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana (1521-1546), Demak mengirim utusan ke Kerajaan Gelgel-Klungkung. Menurut Dhurorudin ekspedisi damai itu bertujuan menjalin hubungan baik sebagai sesama mantan vasal Kerajaan Majapahit. “Namun, intinya tujuan ekspedisi ini adalah untuk menyebarkan Islam,” tulis Dhurorudin. Tetapi Dalem Waturenggong tidak tertarik dengan misi Islamisasi di wilayah kekuasaannya. Sang raja lalu menyusun berbagai macam rencana untuk menghalau pengaruh Islam di Bali. Sementara utusan dari Demak yang tidak diterima raja memilih bergabung dengan komunitas Muslim yang sudah ada di Gelgel guna memperkuat posisi Islam di wilayah Bali. Menurut Dhurorudin alasan Gelgel tidak dapat menerima pengaruh Islam di Bali adalah ikatan historis emosional dengan Majapahit. Meski terbebas dari kuasa vasal Majapahit, tetapi penyerangan Demak tidak bisa begitu saja diterima. “Mereka (para pangeran dan mantan pejabat Majapahit) yang lari ke Bali tentu menyebarkan informasi tentang nasib tragis mereka ke penduduk lokal, sehingga ikut menjadi kurang bisa menerima Islam,” tulis Dhurorudin. Dalam Babad Dalem: Warih Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan karya Tjokorda Raka Putra disebutkan bahwa setelah menjadi negeri merdeka, Waturenggong segera memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Ia berhasil menguasai ketiga wilayah itu antara tahun 1512 sampai 1520. Menurut I Made Sumarja, dkk. dalam Sejarah Masuknya Islam dan Perkembangan Pemukiman Islam di Desa Kecicang Kabupaten Karangasem Provinsi Bali perluasan wilayah Kerajaan Gelgel-Klungkung hingga ke Lombok merupakan usaha lain Waturenggong menghadang penyebaran ajaran Islam di negerinya. Lombok menjadi pilihan terbaik bagi Waturenggong untuk menghentikan Islam masuk ke Bali. Dengan menguasai Lombok, yang sejak 1500-an telah menerima keberadaan agama Islam, maka Gelgel-Klungkung terhindar dari pengepungan. Mereka dapat fokus kepada Islam Demak yang datang dari Jawa. Namun selepas Dalem Waturenggong, tidak ada lagi raja yang mampu membangun Gelgel-Klungkung. Kerajaan itu pun akhirnya terpecah dan mulai menunjukkan kemunduran. Akibatnya, kekuasaan mereka di Lombok berhasil diruntuhkan. Penguasa Klungkung selanjutnya memilih menjalin hubungan baik dengan Lombok, bukan menaklukkan dengan paksaan. Setelah itu penyebaran masyarakat Muslim dari Lombok ke Bali mulai gencar terjadi. Meski pengaruhnya di masyarakat tidak dapat menggeser dominasi Hindu, yang telah berabad-abad menjadi kepercayaan utama rakyat Bali. “Lama-lama terjadi akulturasi komunitas Hindu-Muslim, terbangun kultur perekat yang lebih menonjolkan kesamaan serta saling menghargai dan menghormati,” tulis Dhurorudin
- "Ciuman" Terakhir Ade Irma Untuk Ibu Negara
MENDENGAR Ibu Fatmawati Sukarno dirawat di RS Boromeus, Bandung, Johana Sunarti langsung menyempatkan diri besuk pada suatu hari, Agustus 1965. Istri Menko Hankam/KSAB Jenderal AH Nasution itu memiliki kedekatan dengan sang ibu negara. Sewaktu Fatmawati tinggal di Jalan Sriwijaya 26, Jakarta pasca-keluar Istana, Johana merupakan salah satu orang terdekat yang kerap bertamu. Johana sering mengajak Ade Irma Suryani, putri bungsunya, ketika bertamu. Fatmawati, yang penyuka anak, kerap mendongengkan cerita-cerita kepada Ade Irma saat ikut bertamu. Maka, sebagaimana dituliskan wartawan Kadjat Adra’i dalam Suka-Duka Fatmawati Sukarno: Seperti Diceritakan Kepada Kadjat Adra’i , ketika Johana datang membesuk tanpa mengajak Ade Irma, Fatmawati langsung menanyakan. “Kenapa tidak dibawa?” tanya Fatmawati. “Lain kali insya Allah saya bawa, Bu. Kalau diajak sekarang, bisa-bisa hanya bikin repot,” jawab Johana. “Siapa bilang bikin repot?” Fatmawati bertanya balik. “Anak itu sangat lucu, menyenangkan, dan kelihatannya cerdas seperti ayahnya.” Johana pun menceritakan bagaimana Ade Irma sempat membuatnya repot sewaktu akan berangkat. Pasalnya, gadis mungil itu merengek minta ikut. Tidak biasanya Ade Irma bersikap seperti itu. Ketidakbiasaan sikap Ade Irma bukan hanya dirasakan sang ibu. Sang ayah, Nasution, pun merasakan hal serupa. “Pada bulan-bulan terakhir Adek memang agak lain dari biasa, ini kesimpulan saya dalam renungan kemudian. Kalau saya sembahyang ia suka memandangi saya. Kalau sudah selesai, ia suka meminjam sajadah saya dan ia sembahyang, mencontoh saya. Jika ada minuman saya di meja, ia suka meminta meminumnya. Kalau saya malam-malam membaca di kursi itu, ia tidur mendekat tempat kursi malas itu,” kata Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6 . Ketidakbiasaan sikap Ade Irma itu membuat Johana mesti “bersiasat” agar Ade Irma mau ditinggal menjenguk Fatmawati. Entah “siasat” apa yang digunakan, Johana akhirnya berhasil meluluhkan hati putrinya. “Kalau begitu, peluk ciumnya aja untuk Eyang Fat ya, Ma,” pinta Ade saat melepas kepergian ibunya, dikutip Kadjat. “Insya Allah nanti mama sampaikan, anak manis,” jawab sang ibu. “Betul ya, Ma, peluk cium untuk Eyang Fat.” Fatmawati amat terhibur dengan cerita tentang Ade Irma itu. Dia –dan Johana– tak pernah menyangka permintaan peluk-cium Ade Irma kepada Johana merupakan persembahan rasa sayangnya yang terakhir untuk Eyang Fat. Sekira dua bulan kemudian, dini hari 1 Oktober, Ade Irma tertembak oleh sepasukan Tjakrabirawa yang hendak menculik ayahnya. Sebagian kecil pasukan pengawal presiden itu terlibat dalam gerakan bernama Gerakan 30 September yang berupaya menghadapkan beberapa jenderal Angkatan Darat kepada Presiden Sukarno karena dikabarkan hendak kudeta. Tiga peluru pasukan Tjakrabirawa bersarang di tubuh Ade Irma. Kendati terus tersadar selama perawatannya di RSPAD, kondisi Ade Irma terus memburuk. Pada petang 6 Oktober 1965, Johana dengan besar hati membisikkan kalimat ke telinga Ade. "Ade, mama ikhlaskan Ade pergi," kata Johana. Gadis lima tahun itu pun meneteskan airmata dan akhirnya pergi untuk selamanya.
- Ironi Operasi CIA di Indonesia
AWAL April 1958, Kolonel Achmad Yani merencanakan sebuah operasi militer gabungan di ruang makan rumah Letkol Rukminto Hendraningrat di Jalan Lembang, Jakarta. Yani memilih rumah tetangganya itu karena di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) tidak aman. Sebelumnya, perintah operasi darinya yang dirancang di MBAD telah disadap pemberontak PRRI/Permesta.
- Ketika Firaun Keliling Dunia
TAK ada firaun yang lebih terkenal ketimbang Tuthankhamun. Relik-relik dari makamnya sering keliling dunia. Membangunkan imajinasi banyak orang akan sosok firaun muda ini. Tuthankhamun memerintah Mesir selama tahun 1332-1323 SM. Ia naik takhta saat berusia 9-10 tahun, menikahi saudari tirinya (Ankhesenamun) dan punya dua anak perempuan, kemudian meninggal dunia saat berusia 18-19 tahun. Menikahi saudari perempuan adalah kebiasaan di Mesir Kuno. Ibunda Tuthankamun adalah istri dan juga saudari perempuan sang ayahandanya, firaun Amenhotep IV. Sejak makamnya ditemukan arkeolog Inggris Howard Carter tahun 1922, Tuthankhamun melejit sebagai simbol peradaban Mesir Kuno. Relik-relik dari makamnya melanglang Eropa dan Amerika sejak awal 1960-an. Kali ini, Kementerian Purbakala Mesir kembali menggelar pameran dunia. Dimulai dari dari Los Angeles (24 Maret 2018–6 Januari 2019), Paris (23 Maret–15 September 2019, diperpanjang hingga 22 September), dan kemudian London (2 November 2019–3 Mei 2020). Pameran ini akan jadi yang terakhir digelar di luar Mesir. Pasalnya, saat ini pemerintah Mesir sedang membangun Grand Egyptian Museum (Museum Mesir Raya) di kawasan Giza. Museum Nasional di Kairo dianggap tak mampu lagi menampung barang koleksi. Rencananya, museum baru kelar tahun 2021. Selesai pameran ini, semua barang koleksi akan disimpan di museum baru untuk selamanya. Gerbang Kematian Pameran ini menyajikan 150 relik dari makam Tuthankhamun. Jumlah ini tentu kecil. Sebab, ada sekitar 5.000 lebih relik yang ditemukan dan disusun katalognya oleh Howard Carter. Meski demikian, pameran tetap mengesankan karena 150 relik itu lumayan mewakili keberagaman relik dari makam Tuthankhamun. Pameran terdiri dari sembilan bagian: enam bagian pertama menggambarkan 12 gerbang kematian yang mesti dilalui sang firaun, dan tiga bagian terakhir mengisahkan proses penemuan makam Tuthankhamun oleh Carter. Jadi, 150 relik yang disajikan dalam pameran ini disusun berdasarkan prosesi sang firaun saat melalui 12 gerbang kematian. Gerbang kematian ini menjadi konteks fungsi simbolisasi dari keberadaan relik di dalam keseluruhan prosesi. Dengan ini, pengunjung seakan diajak-serta melalui 12 gerbang kematian sang firaun. Dari situ, pengunjung mengenali arti penting setiap gerbang dan mengerti mengapa relik itu ada di dalam makam sang firaun. Bagian pertama menggambarkan Tuthankhamun sebagai firaun muda dan kematiannya. Di sini disajikan antara lain dua set permainan senet (mirip catur ala Mesir Kuno) yang kerap dimainkan Tuthankhamun dan sang istri, kursi Tuthankhamun saat berusia 9 tahun, dan ranjang kematian yang memiliki kaki berukir cakar singa sebagai lambang penjaga sang firaun. Kursi Tuthankhamun saat naik takhta. Ukuran kursi yang kecil disesuaikan dengan tubuh sang firaun. (Jafar Suryomenggolo). Bagian kedua dan ketiga menggambarkan gerbang-gerbang kematian yang dilalui Tuthankhamun sebagai seorang penguasa tangguh. Di sini disajikan antara lain alat-alat perang yang digunakan Tuthankhamun guna memerangi roh jahat dan binatang buas di dunia kematian, kendaraan yang dipakai Tuthankhamun, dan patung-patung yang menggambarkan kekuatan Tuthankhamun. Patung Tuthankhamun memegang tombak dan berdiri di atas seekor panther. Panther melambangkan dunia kematian dan langit malam. (Jafar Suryomenggolo). Bagian keempat dan kelima menggambarkan gerbang-gerbang kematian yang dilalui Tuthankhamun sebagai seorang penguasa kaya-raya. Di sini disajikan antara lain sejumlah perhiasan yang dikenakannya sebagai simbolisasi seorang firaun dan patung-patung yang menggambarkan kelengkapan pakaian kebesarannya. Dua patung kayu: Tuthankhamun bermahkota dan berpakaian lengkap memegang alat pukul serta Tuthakhamun mengenakan wig gading dan kalung emas. (Jafar Suryomenggolo). Bagian keenam menggambarkan gerbang kematian yang membawa Tuthankhamun menuju kelahiran-kembali. Di sini disajikan antara lain sandal emas (emas sebagai lambang fisik dewa), kalung emas bermotif elang/rajawali sebagai lambang Dewa Horus, dan piala bermotif teratai sebagai lambang Dewa Heh (dewa kekekalan). Kalung emas bermotif elang/rajawali. (Jafar Suryomenggolo). Piala kekekalan bermotif teratai. (Jafar Suryomenggolo). Egiptologi Modern Tiga bagian terakhir menyodorkan kisah pencarian makam Tuthankhamun. Carter memulai penggalian awal 1914. Sempat terhenti karena Perang Dunia I (1914-1918), proses penggalian berlanjut usai perang. Lima tahun berlalu tiada hasil, Lord Carnarvon sebagai penyokong dana bermaksud menghentikan penggalian. Pada tahap inilah terdapat peran seorang bocah pembawa air, yakni Hussein Abdel-Rassoul. Secara tak sengaja, ia tersandung batu. Ternyata batu atas tangga menuju pintu makam. Inilah yang mendorong Carter melakukan penggalian lebih lanjut dan memaksa Carnarvon tetap menyokongnya. Dari kisah penemuan makam Tuthankhamun ini terlihat jelas peran dua cabang ilmu: filologi dan arkelogi, yang membentuk egiptologi modern di Barat. Meneliti Mesir Kuno bukanlah perihal kisah romantis ala Cleopatra, kisah magis ala novel Ibu Susu , atau kisah petualangan ala Indiana Jones. Sejak hieroglif Mesir Kuno dipecahkan pertama kali oleh Jean-François Champollion, sejawaran-cum-linguis asal Prancis yang dijuluki “Bapak Egiptologi”, pada awal abad ke-19, filologi punya peran besar dalam perkembangan penelitian Mesir Kuno. Foto Hussein saat bocah mengenakan satu kalung temuan dari makam Tuthankhamun, dan saat dia berusia 70 tahun sebagai penjaga makam Tuthankhamun. Usai dia meninggal dunia, posisinya sebagai penjaga makam dilanjutkan putranya. Di kemudian hari, perkembangan teknologi selama abad ke-19 memperluas peran arkeologi. Penggalian tak lagi dilakukan para petualang pemburu harta-karun seperti penjelajah-arkeolog Giovanni Belzoni yang menjual relik-relik eksotis Mesir Kuno, melainkan oleh para sarjana yang punya dedikasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan seperti Auguste Mariette, egiptologi berkebangsaan Prancis, yang menemukan patung Dewa Amun pelindung Tuthankhamun pada 1857. Menarik dicatat, penemuan patung Dewa Amun justru mendorong pencarian makam Tuthankhamun. Sebelumnya, kisah tentang Tuthankhamun dianggap ilusi belaka. Tapi lewat patung ini, ilmuwan semakin yakin keberadaan makam Tuthankhamun yang belum dijarah para pemburu harta-karun. Pula, Auguste Mariette menunjuk Gaston Maspero sebagai pengganti dirinya pada 1880 sebagai direktur jenderal arkeologi Mesir. Maspero punya peran menggagalkan penyelundupan barang-barang antik Mesir Kuno. Maspero pula yang memperkenalkan Carter kepada Lord Carnarvon sebagai penyandang dana. Di sini kita bisa lihat pentingnya keberlanjutan kerja sama dan jaringan dalam egiptologi modern di Barat. Tut-mania di Barat Pameran ini menawarkan oase bagi para penggemar Tuthankhamun di Eropa dan Amerika. Pengunjung yang membludak bukan hanya menjadi tolak ukur keberhasilan pameran, tapi juga bagaimana imajinasi masyarakat Barat akan Tuthankhamun terbentuk sejak penemuan makamnya. Inilah yang disebut “Tut-mania”. Fenomena ini disokong beragam koleksi Mesir Kuno di banyak museum di Eropa. Museum di Berlin ( Ägyptisches Museum und Papyrussammlung ), Paris ( Musée du Louvre ), dan London ( British Museum ) memiliki koleksi-koleksi penting Mesir Kuno. Koleksi di museum Paris, misalnya, tak pernah sepi pengunjung yang tertarik melihat koleksi sarkofagus para firaun dari berbagai zaman. Pameran ini memang tak mampir ke negara-negara Selatan seperti Indonesia. Ada banyak sebab yang bisa diduga mengapa tak pernah terlaksana. Kiranya perkembangan ilmu punya peran membangkitkan ketertarikan masyarakat umum akan Mesir Kuno. Apakah ada sarjana Indonesia yang mendalami egiptologi?
- Bandung Ibukota Kerajaan Belanda?
PINDAH ibukota lumrah dilakoni banyak negara. Amerika Serikat, Australia, Brazil dan negeri jiran Malaysia di antaranya. Indonesia bakal menyusul dalam kurun beberapa tahun ke depan, untuk kesekian kalinya. Rencana pindah ibukota sempat muncul baik pada masa Orde Lama dengan Palangka Raya-nya, Orde Baru dengan Jonggol-nya, hingga yang belakangan pemerintahan Jokowi dengan Kalimantan Timur. Namun, Indonesia bukan hanya sempat merencanakan pindah ibukota tapi sudah sempat beberapakali pindah ibukota. Bahkan, sejak masih bernama Hindia Belanda. Di masa kolonial, ibukota pernah diwacanakan “hijrah” ke Surabaya pada abad ke-19 dan dua kali rencana hengkang ke Bandung di awal abad ke-20. Adalah Hendrik Freek Tillema yang menggagasnya dengan meracik studi terkait kondisi kesehatan kota-kota di pesisir Pulau Jawa. Gagasannya itu mendapat dukungan J. Klopper, rektor Technische Hoogeschool (kini Institut Teknologi Bandung/ITB). Gagasan yang diusulkan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda JP Graaf van Limburg Stirum pada 1916 itu nyaris terwujud. Selain para pebisnis yang mulai tertarik pindah, beberapa kantor dinas pemerintahan sudah turut dipindah dari Batavia, kecuali Onderwijs en Eredienst (Departemen Pendidikan dan Peribadatan). Pemindahan itu akhirnya gagal akibat depresi ekonomi dekade 1930-an. Namun, 22 tahun berselang, Bandung kembali diusulkan menjadi ibukota Hindia Belanda. Kali ini oleh Burgemeester (walikota) N. Beets. Menurut Haryanto Kunto dalam Balai Agung di Kota Bandung , Walikota Beets melayangkan usulan itu ke pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia pada 12 Januari 1938, mengingat kondisi ekonomi yang mulai pulih. Sebagai penguat usulan, ia memaparkan contoh pemerintah kolonial Inggris yang sudah memindahkan ibukotanya dari Kalkuta ke Delhi dan Australia yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Sydney ke Canberra. Mengingat Batavia sudah mulai sumpek, Bandung dipilih sebagai pengganti karena keindahan, kesejukan, kenyamanan, dan punya infrastruktur yang lengkap. Selain stasiun besar, Bandung sejak 1921 sudah punya Bandara Andir (kini Bandara Internasional Husein Sastranegara). “Keretaapi cepat empat kali sehari – de Vlugge Vier , hanya membutuhkan dua jam 45 menit untuk trayek 175 km (Bandung-Jakarta, red. ) dan dengan pesawat terbang hanya setengah jam saja,” sambung Haryanto. Kompleks Gedung Sate yang mulanya direncanakan jadi kantor baru gubernur jenderal Hindia Belanda (Foto: Repro "Album Bandoeng Tempo Doeloe") Keseriusan Walikota Beets dibuktikan dengan memerintahkan biro arsitektur Aalbers en de Waal untuk membuat rencana pembangunan Het Jubileumpark seluas 50 hektar sejak 1936 sebagai pengembangan kompleks Departemenplan 1919. “Dalam rancangan besar ini, di sebelah utara Departement van Gouvernementsbedrijven (BUMN-BUMN Hindia Belanda, red. ), istana baru gubernur jenderal, gedung baru Volksraad (DPR, red. ), Hoogerechtshof (Sekolah Tinggi Hukum) secara cuma-cuma dan sebagian biaya pembangunan Departemen Pendidikan dan Peribadatan sebesar 1,1 juta gulden dibayar sebagai uang muka,” lanjut Haryanto. Usulan Ibukota Belanda Pindah ke Bandung Namun, wacana pemindahan ibukota ke Bandung kedua batal akibat Perang Dunia II yang pecah sejak 1 September 1939. Dalam perang itu, negeri Belanda diduduki Jerman sejak Mei 1940. Ratu Wilhelmina sampai mengungsi ke London, Inggris. Di masa itulah muncul usulan memindahkan pemerintahan darurat dari Amsterdam ke Bandung. Gagasan itu datang dari PM Dirk Jan de Geer. Pada Juli 1940, giliran Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer yang menawarkan Ratu Wilhelmina untuk pindah dari London ke Bandung. Kota berjuluk “Parijs van Java” diprediksi bakal aman dari kancah perang, mengingat dikelilingi basis-basis militer kuat di Cimahi dan polisi di Sukabumi. “Namun ratu berpendapat lain. Dengan dalih kesehatannya yang tidak mengizinkan bertempat tinggal di daerah tropis, meski Bandung sejuk, beliau ingin tinggal dekat Belanda selama peperangan dan bekerjasama dengan Inggris merebut kembali kemerdekaan,” ungkap Haryanto. Alhasil, wacana itu tinggal wacana. Bandung yang tidak pernah jadi ibukota hanya sempat dijadikan basis utama ABDACOM (Komando Amerika-Inggris-Belanda-Australia) sebelum akhirnya dikuasai Jepang. Sebelumnya, 23 April 1941, Bandung hanya menjadi tempat jamuan terhadap rombongan menteri Kabinet Perang Belanda. Rombongan turut disambut Ketua Regentenbond (Persatuan Bupati) Raden Adipati Aria Wiranatakoesoemah. “Marilah kita mohon kepada Allah bahwa kita, putih dan coklat, sampai kapan pun tetap hidup bersama dalam keselarasan dan kedamaian,” kata Wiranatakoesoemah dalam pidatonya yang dikutip Haryanto.
- Sikap Sukarno Terhadap Kaum Intelektual
PAGI, 24 April 1961. Sebuah pesawat mendarat di Pangkalan Udara Andrews, Maryland, Amerika Serikat, disambut Presiden John F. Kennedy bersama sejumlah pejabat pemerintah. Orang yang ditunggu-tunggu Kennedy tak lain adalah Presiden Sukarno dari Indonesia yang hari itu memulai kunjungan resmi kenegaraannya ke Amerika Serikat. Sukarno dan rombongan disambut oleh Kennedy dalam suatu upacara resmi. Setelah sedikit bercengkrama, perjamuan kemudian dilanjutkan di White House dalam suasana yang lebih santai. “Ini adalah isyarat sambutan kehormatan luar biasa yang dilakukan Presiden Amerika kepada pemimpin Indonesia,” tulis Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen . Beragam hal diperbincangkan oleh keduanya. Mulai dari isu-isu berat yang membawa kepada perdebatan seperti tentang Irian Barat, hingga candaan-candaan kecil yang mencairkan suasana. Di tengah perbincangan santai itu, Kennedy melontarkan pertanyaan yang tidak terduga. Ia menanyakan perihal keberhasilan Sukarno membangun Indonesia setelah lepas dari pengaruh kolonialisme. Ia menduga di balik besarnya nama Sukarno ada orang-orang dari golongan terpelajar (kaum intelektual), atau di Barat dikenal sebagai intellectual classes , yang membantu usahanya itu. Bagi Amerika sendiri keberadaan kaum intelektual telah cukup lama berubah. Dalam buku The End of Ideology, Profesor Sosiologi dari Universitas Columbia Daniel Bell menyebut pada kurun masa 1950-an para penggerak yang dahulu menjadi motor ideologi-ideologi besar seperti Marxisme, Liberalisme, Konservatisme sudah kehilangan kharismanya. Sejalan dengan itu, politikus Partai Buruh di Inggris Anthony Crosland juga mengatakan bahwa masyarakat di Amerika dan Eropa yang telah makmur secara ekonomi mulai meninggalkan diskusi-diskusi dan debat-debat politik. Bahkan mereka menganggap kegiatan itu tidaklah penting. “Kita berhadapan di sini dengan apa yang dinamakan ‘post-politics society’,” pungkasnya. Namun kondisi itu tidak berlaku bagi negara-negara baru di sepanjang Asia-Afrika. Menurut Bell keberadaan kaum intelektual di sana berbanding terbalik dengan di Amerika dan Eropa, atau malah berbeda sama sekali. Jika di Amerika dan Eropa pengaruhnya mulai melemah, di Asia-Afrika para terpelajar itu justru baru saja memulai aksinya. Mereka menjadi penentu arah berdirinya negara-negara baru tersebut. “Ideologi-ideologi massa Asia-Afrika adalah parokial atau picik, instrumental, dan diciptakan oleh para pemimpin politik,” ucap Bell. Berangkat dari sana, rasa penasaran Kennedy terhadap keberhasilan Indonesia semakin besar. Ia pun lantas memberanikan diri bertanya kepada Sukarno. “Apakah kaum intelektual berada di belakang Anda?” tanya Kennedy. Dalam buku Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961- 1965 karya H. Rosihan Anwar diceritakan bahwa setelah mendengar pertanyaan presiden ke-35 Amerika itu, Sukarno tidak memberikan tanggapan apapun. Sebagai gantinya Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, yang kala itu ikut mendampingi Sukarno bersama Wakil Perdana Menteri Pertama Johanes Leimena dan Duta Besar Zirin Zain, berusaha memberikan jawaban mewakili Sukarno. “Kaum intelektual di Indonesia sekarang adalah reaksioner. Mereka tidak bisa dipakai untuk ikut dalam revolusi,” kata Subandrio. Percakapan dua pemimpin bangsa itu pun kembali dilanjutkan. Sekembalinya ke tanah air, Subandrio pergi menemui salah seorang intelektual dari Partai Sosialis Indonesia, yang juga berprofesi sebagai diplomat Soedjatmoko. Ia mempertanyakan sikap kaum intelektual di Indonesia terhadap rezim Sukarno. “Kenapakah teman-temanmu itu (golongan intelektual) begitu negatif selalu sikapnya? Kenapa mereka tidak menyokong pemerintah sekarang,” tanya Subandrio. “Soalnya mudah juga. Kalau saja Sukarno menyerukan kepada kaum intelektual untuk menyokong pemerintahannya atas dasar understanding dan kerja sama yang baik, pasti kaum intelektual tidak akan berdiri di pinggir terus. Bahkan pemerintah RRT (Republik Rakyat Tiongkok) pernah melakukan seruan kepada kaum intelektual Cina untuk menyokong dan memberikan bantuan kepada pemerintah RRT,” jawab Soedjatmoko. Dengan santai Subandrio menjawab, “Hal itu akan sukar di sini. Kau tahu betapa presiden tidak begitu suka kaum intelektual.” Persoalan kaum intelektual masa pemerintahan Sukarno juga pernah diperbincangkan oleh Rosihan Anwar, tokoh pers dan sastrawan Indonesia. Dalam bukunya, Rosihan bercerita bahwa beberapa kawan pernah bertanya kepadanya tentang permasalahan kaum intelektual tersebut. Umumnya mereka mempertanyakan sikap para intelektual yang terkesan diam saja meski banyak kebijakan pemerintah Sukarno yang merugikan rakyat. “Mengapa kaum terpelajar tidak bangkit memimpin gerakan perlawanan, mempelopori rakyat dalam menentang paksaan-paksaan yang dilakukan ruling elite ?” “Mungkin karena kini ketakutan telah terlalu mendalam,” jawab Rosihan. “Mungkin juga karena menyebar anggapan bahwa perlawanan toh sia-sia belaka. Lihat sajalah pada perlawanan yang dilakukan oleh PRRI-Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang dipimpin oleh kaum intelektual itu. Bagaimana akhirnya? Gagal.”
- Ketika Kolonel D.I. Pandjaitan Mengangkat Orang Jerman Jadi Intel
BONN, kompleks Kedutaan Besar RI di Jerman Barat. Di kamar kerjanya, Kolonel Donald Isaac Pandjaitan tekun menulis. Atase militer Indonesia untuk Jerman itu kerap merancang brosur dan pamflet propaganda. Isinya mengemukakan keinginan penduduk asli Irian Barat (kini Papua) untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Pandjaitan berencana akan menyebarkannya di negeri Belanda. “Siapa yang akan menyebarkan pamflet dan brosur itu nanti? Felix Metternich...,” ujar Marieke Pandjaitan br. Tambunan, istri Pandjaitan dalam biografi D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran . Felix Metternich adalah orang Jerman yang dikaryakan di Kedubes RI bagian Atase Militer (Atmil). Dia telah bekerja di sana sejak Kolonel Askari – pendahulu Pandjaitan – menjabat Atmil. Pandjaitan mulai menjabat Atmil pada 1956. Ketika konflik Irian Barat bergolak, Pandjaitan memakai jasa Metternich dalam serangkaian operasi rahasia. Menurut Marieke, Pandjaitan memang sengaja memilih Metternich untuk menjalankan misi intelijen. Sengketa Irian Barat membuat otoritas imigrasi Belanda menolak paspor warga negara Indonesia. Orang Indonesia tidak diperkenankan masuk, kecuali mereka yang telah lama menetap atau sudah menjadi warga Belanda. Itulah sebabnya, Pandjaitan menyusupkan Metternich ke Belanda guna menyokong kampanye pembebasan Irian Barat. Apa yang dilakukan Pandjaitan merupakan bagian dari Operasi C. Perintah ini langsung diinstruksikan oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution. Operasi A dilakukan dengan infiltrasi ke daratan Irian Barat. Operasi B menghimpun dan mengkaderasasi putra-putra Irian Barat. Sementara Operasi C adalah kegiatan “diplomasi senyap” yang dilancarkan perwira TNI di luar negeri. “Para atase militer di Eropa Barat, Kartakusumah di Paris, S. Parman di London, dan Pandjaitan di Bonn merupakan pendukung usaha ini,” ujar Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama . Tiba di Belanda, Metternich membagi-bagikan brosur dan pamflet tentang Irian Barat kepada golongan tertentu. Mereka adalah tokoh-tokoh berpengaruh yang dapat membentuk opini masyarakat Belanda soal Irian Barat. Metternich juga sering bertugas memposkan surat-surat rahasia dari pemerintah Indonesia kepada tokoh-tokoh politik dan ekonomi Belanda. Surat-surat itu diposkan dengan mencantumkan alamat pengiriman di wilayah Belgia. Demikianlah caranya untuk menghindari pengguntingan sepihak oleh dinas intelijen Belanda. Dari semua misi, tugas memasuki pelabuhan yang dikelola oleh Angkatan Laut Belanda merupakan upaya paling beresiko bagi Metternich. Pandjaitan pernah meminta Metternich untuk memotret kapal perang milik Kerajaan Belanda, terutama kapal induk bernama Karel Doorman. Memasuki tahun 1960, santer diberitakan bahwa Karel Doorman akan berlayar ke perairan Irian Barat guna memperkuat pertahanan Belanda. Dengan menggunakan kamera mini, Metternich berhasil memotret Karel Doorman dan kapal-kapal perang yang lain. Pandjaitan kemudian mengirimkan foto-foto jepretan Metternich ke Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) di Jakarta. Dan benar saja, pemerintah Belanda mendatangkan Karel Doorman pada akhir Mei 1960. Setelah mengetahui besaran kekuatan armada laut Belanda, TNI mempersiapkan diri menghadapinya dengan kapal penjelajah kelas berat bernama KRI Irian yang dibeli dari Uni Soviet. Selain itu, kekuatan AL Indonesia semakin lengkap dengan didatangkannya selusin kapal selam, belasan kapal roket cepat, pesawat-pesawat AL, helikopter-helikopter dan peralatan amfibi. Walhasil, TNI AL menjelma sebagai kekuatan laut yang terkuat di belahan bumi selatan. Metternich juga menjadi saksi bagaimana Pandjaitan memainkan perannya melobi dalam diplomasi senyap. Dengan pendekatan personal, Pandjaitan kerap mengundang Profesor Willem Duynstee ahli hukum tata negara Universitas Nijmegen berkunjung ke kediamannya untuk bertukar pikiran. Duynstee seperti dicatat Ganis Harsono dalam Cakrwala Politik Era Sukarno , pada 3 Agustus 1961, memelopori gerakan anti perang antara Indonesia dan Belanda. Selain itu, Pandjaitan sering mengatur pertemuan rahasia antara wakil-wakil Indonesia dengan tokoh-tokoh politik dan ekonomi Belanda. Biasanya pertemuan berlangsung di tempat netral yang ada di wilayah Jerman. Salah satu keberhasilan Pandjaitan ialah mempertemukan para pendeta dan pemimpin-pemimpin gereja dari Belanda dengan Jenderal Nasution di Bonn. “Sudah barang tentu bantuan Metternich kepada suami saya pantas dihargai. Gagasan dan ide tertentu Atmil (Pandjaitan) dapat dilaksanakan olehnya,” kenang Marieke. Pada 1962, Pandjaitan mengakhiri dinasnya sebagai Atmil di Jerman. Tugas baru menantinya sebagai Asisten IV/logistik Menteri Panglima Angkatan Darat. Di Jakarta TNI mengalami reorganisasi. Jenderal Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata sedangkan Letnan Jenderal Ahmad Yani naik sebagai orang nomor di jajaran AD. Yani-lah yang memilih Pandjaitan sebagai Asisten IV yang membidangi urusan logistik. Setelah Pandjaitan pulang ke Indonesia, Metternich tetap bekerja di Kedubes RI. Metternich masih terus membantu para Atmil Indonesia di Jerman. Mereka antara lain: Kolonel Wadly, Kolonel Sunggoro, dan Kolonel Abdullah. Tidak kurang dari 17 tahun lamanya "Si Intel Jerman” ini menjadi staf Atmil di Bonn hingga tahun 1972.
- Kala Panglima Siliwangi Distop Polisi
SETELAH beberapa saat dirawat di RS Boromeus, Fatmawati Sukarno akhirnya memilih tinggal di luar rumahsakit. Bukan pelayanan tim dokter yang membuat Ibu Fat, sapaan akrab Fatmawati, tidak betah tinggal di rumahsakit itu. “Terus terang, Ibu sulit tidur. Kalau terus-menerus begini, semuanya jadi repot,” kata first lady pertama Indonesia itu sebagaimana dimuat dalam buku Suka-Duka Fatmawati Sukarno: Seperti Diceritakan Kepada Kadjat Adra’i . Ibu Fat yang saat itu sedang mengalami darah tinggi parah dan sedikit depresi menahun pasca-keluar Istana, lanjut Kadjat, butuh tempat tinggal tenang untuk memulihkan kesehatannya. Dalimin Rono Atmodjo, personil Brimob yang jadi komanda regu di Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Resimen Tjakrabirawa, lalu mendapatkan Wisma Siliwangi III. Ibu Fat pun pindah ke sana pada akhir Agustus 1965. Wisma Siliwangi III dipilih Ibu Fat selain kondisinya bersih juga lantaran letaknya tak jauh dari tempat tinggal Guntur Sukarnoputra yang saat itu masih kuliah di ITB. Ibu Fat bisa lebih sering bertemu dengan putra sulungnya itu. Selain ditemani para pengawal, Ibu Fat juga mendatangkan juru masaknya dari Jalan Sriwijaya, Jakarta. “Perempuan berusia 35-an tersebut sudah cukup lama ikut Bu Fat sehingga tahu persis selera atau kesukaan Bu Fat,” tulis Kadjat. Praktis, Bu Fat tidak kesepian lantaran orang-orang dekat selalu siap di sekelilingnyanya. Kendati demikian, ketenangan merupakan hal paling dibutuhkan Bu Fat. Hal itulah yang membuatnya mengeluh ketika suatu malam suara tukang sate keliling mengusik istirahatnya. Kepada Dalimin, Bu Fat langsung meminta agar tukang sate menjauh dari rumahnya ketika berdagang. Dalimin pun langsung mengejar tukang satu yang sudah agak jauh itu. Didahului permintaan maaf, Dalimin langsung menerangkan duduk perkara dan meminta tukang sate itu tidak berisik lagi ketika melintas di depan Wisma Siliwangi III. Si tukang sate yang terperangah ketika mengetahui ada first lady di dalam wisma itu pun langsung menyanggupi permintaan Dalimin. “Mulai besok saya ndak teriak-teriak te..te... lagi. Sampaikan maaf saya kepada Ibu Fatmawati. Kalau beliau ingin makan sate, mari saya bikinkan,” kata tukang sate asal Madura itu. Dalimin lalu mengusulkan pola pengamanan sementara di sekitar Wisma Siliwangi III ke Istana dan Polri. Hasilnya, semua kendaraan maupun tukang jualan dilarang melintas di jalan yang melintasi depan Wisma Siliwangi III. Namun karena aturan tersebut tidak disosialisasikan, Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie pun kena batunya. Suatu malam, mobil yang membawa Adjie dan istrinya melintas. Di depan Wisma Siliwangi III, seorang polisi anggota DKP langsung menyetopnya. Adjie pun kaget. “Ada apa,” tanya Adjie. “Maaf, Pak. Semua kendaraan dilarang masuk jalan ini,” jawab sang petugas. “Siapa yang perintah ini?” Adjie kembali bertanya dengan nada meninggi. “Ibu Fatmawati sedang dirawat dan tinggal di Wisma Siliwangi III, Pak. Ibu Fat membutuhkan sekali ketenangan. Jadi jalan ini ditutup untuk lalu lintas umum.” “Baik, katakan kepada komandan regumu supaya besok menemui saya di kantor,” kata Adjie menutup pembicaraan. Adjie merupakan salah satu jenderal kesayangan Presiden Sukarno. Dua hari setelah G30S pecah yang disusul kondisi keamanan memburuk, Sukarno mengirimkan surat kepada Adjie berisi permintaan untuk menjaga keamanan diri dan keluarganya. “Hal ini menunjukkan kecintaan Bung Karno secara pribadi kepada Siliwangi dan kepada panglimanya, Mayor Jendral Ibrahim Adjie,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang . Maka, polisi yang menghentikan mobil Adjie tadi pun langsung melaporkan apa yang dialaminya kepada Dalimin. Mendengar laporan itu, Dalimin jelas khawatir. Dia tahu orang yang akan dihadapinya bukan sembarang orang. “Dia siap dimarahi karena berani menghentikan mobil panglima daerah,” tulis Kadjat. Keesokan paginya, Dalimin pun menghadap Adjie. Setelah menghormat dan meminta maaf terlebih dulu, Dalimin langsung menjelaskan duduk perkaranya kepada Adjie. “Ini perintah dari Istana dan sudah dikoordinasikan dengan kepolisian di sini, Pak,” kata Dalimin. “Oke, silakan ikuti perintah. Saya bangga kamu tetap memegang disiplin,” kata Adjie.





















