Hasil pencarian
9573 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kedaulatan Pangan Kedaulatan Angan-Angan
DALAM konteks politik dan ekonomi, kata ‘pangan’ kerap dilekatkan dengan ‘kedaulatan’. Kedaulatan pangan merupakan jalan untuk mencapai ketahanan, keamanan, dan kesejahteraan hidup masyarakat. Dan pada masa-masa jelang pemilihan umum, para calon presiden dan pasangannya kerap menggunakan ‘kedaulatan pangan’ sebagai jargon kampanyenya. Namun siapapun yang pernah terpilih menjadi presiden Indonesia, pada kenyataannya tidak kunjung mampu memenuhi kondisi pangan yang berdaulat untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera.
- Kepercayaan Tanpa Rasa Takut
DI ruang tamu seluas 18 meter persegi, Subagiyo duduk di kursi menghadap selatan. Sebuah anak kunci, lambang organisasi penghayat Kapribaden, tergantung di tembok, tepat di atas kursinya. Di sisi tembok lain terpajang foto seorang tua mengenakan blangkon, baju lurik, dan bawahan kain batik bermotif parang. “Romo Semono Sastrohadidjojo (1900-1981)”, begitu keterangan pada foto itu.
- Dewi Sukarno Setelah G30S
SEBUAH foto persegi yang menampilkan potret Jenderal Oerip Soemohardjo terpajang di sebidang tembok sebuah ruangan. Di bidang tembok seberangnya, terpajang sebuah lukisan besar kepala staf angkatan perang pertama itu sedang menunggangi kuda. Begitulah suasana Ruang Jenderal Oerip Soemohardjo di dalam Museum Satria Mandala, Jakarta. Dulunya, ruangan itu merupakan ruang santai istri Jepang Sukarno, Ratna Sari Dewi. “Kita berada di ruang santai. Dulu ada meja bulat khas Jepang untuk lesehan. Dulu juga ada televisi. Jadi saat santai bisa menonton televisi,” kata Kepala Sub-Seksi Promosi Museum Satria Mandala Yulianto Setiawan Yulianto kepada Historia.ID , sembari menunjuk posisi lukisan sebagai tempat dulu televisi Dewi Sukarno berada. Museum Satria Mandala awalnya merupakan rumah tinggal Dewi. Namanya Wisma Yaso. Di sanalah Dewi menyaksikan berita televisi tentang Gerakan 30 September 1965 (G30S) dan setelahnya hampir day-to-day . Di hari-hari itu, ia hanya bisa pasrah dan merasakan kegetiran dalam kesendirian. Sejak 1 Oktober 1965 pagi, sang suami, Presiden Sukarno, belum kembali lagi ke Wisma Yaso. Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi dinikahi Sukarno pada Maret 1962. Menurut Masashi Nishihara dalam The Japanese and Sukarno’s Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations, 1951-1966 , Dewi pertama kali diperkenalkan dengan Sukarno medio 1959 oleh seorang pebisnis Jepang Masao Kubo. Kubo berharap dapat proyek bisnis pasca-Indonesia mendapatkan dana pampasan perang dari pemerintah Jepang. Wisma Yaso merupakan hadiah Sukarno kepada Dewi. Kala itu daerah tempatnya berdiri masih sepi, jalan di depannya masih bernama Bypass. “Ibu Ratna Sari Dewi minta dinamakan [rumah] ini Wisma Yaso. Karena dia pingin mengenang (Yasoo Nemoto, red. ) yang meninggal dengan bunuh diri,” terang Kepala Museum Satria Mandala Letkol Adm. Saparudin Barus. Ruang Jenderal Oerip Soemohardjo di Museum Satria Mandala yang dulu ruang bersantai Dewi Sukarno. (Historia.ID). Bertemu Janda Jenderal Yani Dewi duduk di ruang santai sambil menyaksikan siaran televisi pada 4 Oktober 1965. Rasa pilu menusuk hatinya kala menyaksikan pengangkatan jenazah para jenderal yang jadi korban keberingasan Gerakan 30 September dari sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur. “Hampir-hampir saya menutup mata. Saya sama sekali tidak mengerti, mengapa adegan-adegan sedih harus ditontonkan kepada umum. Barangkali maksudnya untuk memperlihatkan kepada rakyat fakta-fakta mengenai perbuatan yang kejam dan tidak berperikemanusiaan itu. Kedengkian, kemarahan dan kesedihan hampir-hampir tidak dapat dipercaa bahwa Jenderal (Ahmad) Yani telah meninggal dunia,” tutur Dewi kepada majalah Shukah Asahi , dikutip harian Sinar Harapan , 12 Oktober 1966. Pada malam kejadian, Dewi mengaku sedang bermalam bersama Presiden Sukarno di Wisma Yaso. Mereka bersama setelah Sukarno menjemput Dewi dari Hotel Indonesia memenuhi sebuah undangan dari duta besar Iran. Pada pagi 1 Oktober 1965, Sukarno berangkat dari Wisma Yaso tanpa diketahui Dewi tujuannya. Sejak itu ia nyaris sepekan tak bertemu lagi dengan Sukarno. Sejak menyaksikan pengangkatan jenazah para Pahlawan Revolusi tadi, Dewi mengaku sulit tidur setiap malam. Ia juga mengaku kaget dengan prosesi iring-iringan jenazah menuju Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan barisan kendaraan lapis baja karena belum pernah melihat prosesi pemakaman semacam itu sebelumnya. “Ucapan-ucapan untuk mengenang mereka yang berpulang diucapkan oleh Jenderal (Abdul Haris) Nasution, menyedihkan hatiku. Dia sendiri terluka, kakinya patah sewaktu meloloskan diri dari bahaya. Bahkan ia kehilangan anak perempuannya. Sebenarnya tidak mengherankan bila ia menjadi seorang ‘Setan Pembalas Dendam’. Namun sambil tersedu-sedu, kata-kata terakhir yang diucapkan itu masih mendengung di telingaku,” tambahnya. Dua pekan berselang, 14 Oktober 1965, seingat Dewi, pertemuan dengan keluarga para Pahlawan Revolusi diadakan di Istana Merdeka. Dewi mengaku sempat berbincang dengan Yayu Rulia Sutowiryo, istri mendiang Men/Pangad Jenderal Ahmad Yani. “Kami mengundang Nyonya Yani yang suaminya telah mengakhiri hidupnya dalam suatu kematian yang celaka itu, datang ke Istana Merdeka. Ia seorang wanita yang cantik dan biasanya suka bergurau,” kenang Dewi. Tentu dalam pertemuan itu Yayu tak seperti biasanya. Dewi bisa memaklumi. Namun meski pandangannya serius dan cenderung hampa, Dewi bisa merasakan ketegaran Yayu sebagai seorang istri perwira militer. “Saya tidak boleh membiarkan diriku dalam kesedihan. Saya mempunyai lima anak. Terlebih lagi saya harus menjadi contoh bagi janda-janda lain yang juga kehilangan suaminya. Sebagai janda seorang militer secara mental saya telah dibiasakan dengan pendapat bahwa suamiku mungkin tdak akan meninggal di ranjang. Suamiku telah dimakamkan dengan kehormatan sebagai Pahlawan Revolusi dan hatiku telah terhibur,” kata Yayu kepada Dewi. Sebagai istri presiden yang sehari-hari berada di Jakarta, Dewi bisa lebih dekat dan lebih memahami situasi politik yang mencekam pasca-G30S. Pasalnya selain sering “disowani” para pebisnis Jepang di Wisma Yaso, Nishihara mengungkapkan bahwa Dewi juga sedikit-banyak “dimanfaatkan” pemerintah Jepang. “Melalui Dewi, para pejabat dan pelobi-pelobi Jepang bekerja sama dengan kelompok-kelompok di Indonesia untuk menjaga Sukarno tetap berada di pihaknya dan menjauhkannya dari genggaman komunis,” ungkap Nishihara. Tentu saja Dewi meyakini suaminya tak terlibat G30S. Dewi juga kian aktif setelah 1965. Tak hanya pemerintah Jepang, lawan-lawan politik suaminya, termasuk Nasution dan Soeharto, juga memanfaatkan Dewi untuk “jembatan” komunikasi dengan Sukarno. Ketika situasi kian memanas, Sukarno menginstruksikan Dewi untuk keluar dari Indonesia pada awal November 1966. Dewi kembali ke Jakarta menjelang wafatnya Sukarno pada Juni 1970 dan kemudian untuk berziarah ke Blitar. Ketika ia kembali, ia pun jadi sasaran media massa yang menanyakannya tentang hubungan Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Jika yang dimaksud adalah apakah dia siap membubarkan Partai Komunis, ya tentu saja, tetapi tuntutannya adalah agar dibuktikan dengan jelas bahwa Partai Komunis terlibat kudeta. Laporan yang diberikan kepadanya tidak akurat. Dia jujur dan adil, dan sementara itu tentara mulai membunuh. Dia meminta bukti kepada Sukarno karena dia ingin tetap obyektif. Dia tidak setuju bahwa hanya Partai Komunis yang dituduh merencanakan dan melaksanakan kudeta,” tukas Dewi kepada harian Leeuwarder Courant , 29 Juli 1970.*
- Sayuti Melok bukan Sayuti Melik
PADA akhir 1930-an, di Semarang ada dua orang pejuang bernama Sayuti. Keduanya sama-sama wartawan. Satu di majalah Pesat, satunya lagi di De Locomotief . Keduanya juga sering datang pada rapat-rapat pergerakan kemerdekaan dan sering tampil berpidato. Sayuti yang satu, berperawakan kecil dan bermata kecil. Maka, ia kemudian dijuluki Sayuti Melik. Nama Melik kemudian juga menjadi nama samarannya. Sedangkan untuk membedakan dengan Sayuti Melik, Sayuti yang lainnya dijuluki Sayuti Melok. “Kebetulan pada waktu itu Sayuti yang lainnya tadi sudah menggunakan kacamata, jadi kelihatan melok-melok ,” kata Sayuti Melik dalam Wawancara dengan Sayuti Melik. Kelak, Sayuti Melik, pejuang yang sering keluar masuk penjara terkenal karena mengetik naskah Proklamasi. Sementara Sayuti Melok, yang juga sama-sama pejuang, tak begitu dikenal dalam sejarah. Kisah Sayuti Melok memang tak banyak dicatat. Mantan Walikota Jakarta, Sudiro, dalam Pelangi Kehidupan telah mengenal Sayuti Melok sejak 1930-an ketika ia menjadi murid Algemene Middelbare School (AMS, setingkat Sekolah Menengah Atas) bagian Sastra Timur di Surakarta. “Kami bersama-sama dengan Armijn Pane dan Amir Hamzah, waktu itu menjadi anggota Indonesia Muda. Sayuti Melok berwatak penuh humor. Hingga sekarang pun beliau masih tetap lucu dalam pergaulan, dan mempunyai cara tertawa yang mampu mengajak lain orang turut tertawa,” kata Sudiro pada 1986 ketika Sayuti Melok masih hidup. Pada masa mudanya, kenang Sudiro, ketika jejaka usia 18–29 tahun suka berpakaian perlente, Sayuti Melok justru berbeda. Ia seringkali memakai baju Toro, pakaian kusir andong tempo dulu yang biasanya berwarna merah atau biru. Tak hanya berpakaian seperti kusir andong, Sayuti Melok bahkan sering kali mendapat pinjaman andong dari kenalannya dan mengajak teman-temannya untuk naik. Sudiro menyebut Sayuti Melok pernah memimpin Taman Siswa di Jombang. Asrama Taman Siswa saat itu berbatasan pagar tembok sekira satu meter dengan rumah wedana. Suatu hari, ayam milik Sayuti Melok melompat pagar memasuki pekarangan rumah wedana. Ayam itu lalu dilempari batu oleh pelayan wedana hingga kakinya pincang. Sayuti Melok berang. Ketika ayam sang wedana yang masuk ke asrama langsung ditangkap anak-anak asrama dan disembelih oleh Sayuti Melok. “Tidak itu saja! Beliau bahkan memerintahkan anak-anak itu berdiri berjajar di atas pagar tembok itu dan atas ‘komandonya’, anak-anak itu kencing kearah halaman sang wedana,” terang Sudiro. Sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I menyebut Sayuti Melok seringkali dikira sama dengan Sayuti Melik. Pasca kemerdekaan, Sayuti Melok merupakan pimpinan Dewan Perdjoangan Djawa Tengah, sebuah badan permusyawaratan antara tentara dan kelompok-kelompok perjuangan di Jawa Tengah. “…dan juga seorang tokoh terkemuka dalam Barisan Banteng,” tulis Poeze. Pada 4 Januri 1946, Sayuti Melok mengikuti sidang besar di Purwokerto yang membahas “hasrat perjungan rakyat seluruh Indonesia”. Sidang ini bukan sidang biasa. Dihadiri oleh sekira 300 orang yang mewakili 40 organisasi. Dari Partai Komunis Indonesia, Masyumi, Partai Boeroeh Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Hisbullah, hingga Persatoean Wanita Indonesia (Perwari). “Orang-orang dari ‘semua lapisan rakyat’ melengkapi semuanya itu, termasuk Panglima Besar Soedirman dan Tan Malaka,” tulis Poeze. Sayuti Melok bersama Ismail dari Jawa Timur, Armoenanto dan Chairul Saleh dari Jakarta Raya dan Jawa Barat membuka sidang. Sayuti Melok sendiri menyampaikan laporan dari Jawa Tengah. Sidang itu memunculkan pendapat bahwa pemerintah Indonesia tak memberikan reaksi yang cukup dalam menghadapi provokasi dan tipu daya Inggris. “Kesatuan dan koordinasi diperlukan, demikian Ismail dan Sayuti Melok berkata. Untuk itu Sayuti Melok mengusulkan agar dibentuk sebuah badan koordinasi,” tulis Poeze. Sidang itu belakangn bersambung pada rentetan peristiwa pada awal 1946 yang sering dikenal sebagai “kudeta Tan Malaka”. Sayuti Melok disebut turut ditangkap bersama Ibnu Parna, tokoh Angkatan Komunis Muda (Akoma) dan Ahmad Subardjo. Sayuti Melik “kembarannya” juga ditangkap bersama Adam Malik, Chairul Saleh, dan beberapa tokoh lainnya. Mereka baru dibebaskan pada 1948. Solichin Salam dalam “In Memoriam Soemarmo” yang termuat dalam Soemarmo, Pejuang Tanpa Tanda Jasa mencatat sedikit soal Sayuti Melok. Pada 7 Juni 1967, Solichin bersama Sayuti Melok, Masagung, dan Soemarmo datang ke Istana Bogor dalam perayaan ulang tahun Bung Karno yang ke-66. Pulangnya, Solichin menginap di rumah Sayuti Melok. Solichin menyebut Sayuti Melok adalah tokoh pergerakan yang dekat dengan Sukarno dan Muhammad Hatta. “Sesudah pengakuan kedaulatan, beliau menjual rokok untuk menegakkan hidup. Saya kagum pribadi yang demikian. Karena beliau punya prinsip dan memiliki karakter,” kenang Solichin. *
- Sayuti Melik dalam Gerakan Bawah Tanah Singapura
SAYUTI Melik, yang kelak dikenal sebagai pengetik naskah Proklamasi, pernah ditangkap pemerintah kolonial Belanda karena dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI pada 1926. Setelah ditahan sebentar di Banyumas, dia diasingkan ke Boven Digul, Papua pada 1927. Dia baru dibebaskan pada 1930. Setelah itu, dia bekerja di kapal pengangkut sapi dan babi. “Sekembalinya dari Digul, Mas Yuti jadi tukan transport sapi dan babi. Dari Bali dibawanya sapi dan babi ke Singapura. Begitu mondar-mandir. Tapi kemudian tinggal di Singapura beberapa lamanya dia,” tulis Minggu Pagi , 11 Maret 1951. Sementara itu, Soebagijo I.N. dalam S.K. Trimurti, Wanita Pengabdi Bangsa menyebut Sayuti Melik memang berpetualang ke Malaya dan Singapura pasca pembebasannya. Di Singapura, ia menyamar sebagai kuli pelabuhan atau kuli angkut barang. Di samping bekerja sebagai kuli, Sayuti Melik tetap melakukan aktivitas politik. Soebagijo menyebut Sayuti Melik ketahuan polisi Inggris ketika sedang mengetik naskah di sebuah kamar hotel. “Polisi menjadi curiga, karena mana mungkin kuli dapat mengetik,” tulis Soebagijo. Soebagijo menyebut Sayuti Melik kemudian ditangkap dan dikembalikan ke Indonesia. Cerita lebih terang dikisahkan Sayuti Melik sendiri dalam Wawancara dengan Sayuti Melik yang disusun Arief Priyadi, terbit pada 1986. Selepas dari Digul, Sayuti Melik mendapat kabar bahwa ada seorang pejuang Indonesia di Singapura yang baru saja datang dari Amerika Serikat. Orang itu berharap ada pejuang Indonesia yang menemuinya. Sayuti Melik tentu saja tertarik. Sebelum ke Singapura, Sayuti Melik keliling pulau Jawa dengan sepeda. Menemui kawan-kawan lamanya, terutama para Digulis. Setelah itu, sampailah ia di Bali. Dari Buleleng Bali, ia berangkat ke Singapura. Sayuti Melik tentu saja harus menyamar. Ia bekerja sebagai kuli pada kapal angkut sapi yang membawanya ke Singapura. Di kapal, pekerjaannya memberi makan sapi. Sesampainya di Singapura, Sayuti Melik bertemu dengan orang itu yang ternyata adalah Amir Hamzah Siregar. Cheah Boon Kheng dalam From PKI to The Comintern, 1924–1941: The Apprenticenship of The Malayan Communist Party menyebut Amir seorang komunis asal Tapanuli yang merupakan orang Indonesia paling berbahaya di Malaya. Belakangan, ia tertangkap ketika berada di Surabaya pada akhir 1934. Sayuti Melik menyebut Amirlah yang kemudian mengenalkannya pada jaringan pejuang bawah tanah di Malaya. “Orang inilah yang merupakan perantara untuk dapat berhubungan dengan para aktivis dari sebuah gerakan anti-penjajahan yang ada di negeri itu, yang terdiri dari orang-orang China yang paling banyak, orang Vietnam, Filipina, Melayu bahkan ada beberapa orang Prancis dan Inggris,” kata Sayuti Melik. Gerakan anti-penjajahan yang dimaksud Sayuti adalah gerakan bawah tanah bernama Southeast Asia Anti Imperialism League (Liga Anti Imperialisme Asia Tenggara). Dalam rapat-rapatnya, mereka menggunakan bahasa China, Inggris, Prancis, Vietnam, dan Melayu. Sayuti Melik menyebut dirinya pernah menjadi ketua liga tersebut karena dianggap mewakili orang Melayu serta berpengalaman karena pernah dibuang ke Digul. “Sekitar tahun 1936 liga semakin meningkatkan kegiatan berdiskusi. Saya sering mengadakan perjalanan keliling khususnya di Tanah Melayu untuk menghubungi kawan-kawan,” kata Sayuti Melik. Di Singapura, Sayuti Melik bekerja di pabrik karet milik orang Belanda, Singapore Rubber Work Ltd. Mulanya ia bekerja sebagai kuli kasar. Namun, karena bisa berbahasa Inggris dan Belanda, ia diangkat sebagai kerani. Kala itu ia memakai nama samaran Budiman. Masih di tahun 1936, ketika Sayuti Melik berada di Seremban, Negeri Sembilan, ia menulis surat untuk kawan-kawannya di Singapura. Sayangnya, kurir suratnya tertangkap. Surat berbahasa Inggris yang berisi rencana rapat itu ternyata ketahuan oleh Polisi Rahasia Inggris, DSB (Detective Special Branch). DSB kemudian melacak siapa penulis surat itu. Sayuti Melik akhirnya ketahuan setelah DSB mencocokan tulisan dalam surat itu dengan tulisan tangannya sebagai kerani di Singapore Rubber Work Ltd. “Itulah akhirnya saya ditahan oleh DSB,” kata Sayuti Melik. Cheah Boen Kheng menyebut Sayuti Melik alias Budiman mempunyai nama samaran lain yakni Amat. Ia sebenarnya merupakan pengganti Amir Hamzah Siregar untuk kedudukannya di Singapura. Menurut laporan, sebelum tertangkap di Surabaya, Amir diketahui telah menghubungi Sayuti Melik. “Amir Hamzah telah menerima instruksi dari Sayuti atas nama MCP (Malayan Communist Party, red .),” tulis Cheah Boen Kheng. Sayuti Melik mengaku ditangkap pada 1936. Namun, Cheah Boen Kheng mendapati surat perintah penangkapan Sayuti Melik pada 15 Juli 1935. Sayuti Melik dipenjara di Singapura selama satu tahun. Pada 1937, ia diusir dari wilayah koloni Inggris itu . DSB tampaknya telah bekerja sama dengan Polisi Rahasia Belanda, PID (Politieke Inlichtingen Dienst). Sayuti Melik dibawa ke Batavia dan langsung dijebloskan ke Penjara Gang Tengah di Salemba. *
- Sayuti Melik Merasa Bebas di Dalam Penjara
SAYUTI Melik bukan hanya pengetik naskah Proklamasi. Sejak 1923, ia sudah menulis di berbagai surat kabar dari Islam Bergerak , Penggugah , hingga Sinar Hindia. Tulisan-tulisannya seringkali mengkritik pemerintah kolonial dan membuatnya selalu diawasi oleh pemerintah. Ketika usianya baru 16 tahun pada 1924, Sayuti Melik dipenjara di Ambarawa atas tuduhan menghasut rakyat. Kemudian pada 1926, ia ditangkap karena dituduh terlibat pemberontakan 1926. Ia dipenjara di Banyumas dan pada 1927 dibuang ke Boven Digul. Ia baru keluar dari Digul pada 1933. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia, Volume 3, menyebut pasangan suami istri Sayuti Melik dan S.K. Trimurti seringkali bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka yang kritis terhadap pemerintah. "Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu dimata-matai oleh dinas intel Belanda, PID (Politieke Inlichtigen Dienst). Trimurti sampai pernah melahirkan anaknya di penjara," tulis Rosihan. Keluar dari Digul, Sayuti kembali ditahan karena tulisannya. Kali ini oleh polisi rahasia Inggris DSB ( Detective Special Branch ) di Singapura pada 1936. Selama satu tahun ia meringkuk dipenjara di Singapura. Ia keluar setelah diusir dari wilayah kolonial Inggris itu dan ketika tiba di Jakarta, ia langsung dimasukan ke Penjara Gang Tengah (Salemba). Di Penjara Gang Tengah, Sayuti Melik merasakan hal berbeda dari pengalaman dipenjara sebelumnya. Ia merasa bebas dari pikiran macam-macam dan merasakan ketenangan. Saat itu ia juga tak berkabar kepada keluarga dan kawan-kawan agar mereka juga tidak merasa cemas. Sayuti Melik tinggal sendirian di dalam sebuah sel. Ia tidak mempunyai kegiatan apa-apa selain hanya membaca buku-buku yang dipinjamnya dari penjara. Kadang-kadang ia juga berolahraga. "Di situlah saya benar-benar sempat memikirkan soal filsafat hidup. Terus terang, selama di Penjara Gang Tengah itu saya merasakan kenikmatan hidup, merasa bebas merdeka seperti ajaran yang pernah saya kenal dari Ki Ageng Suryomentaram," ungkap Sayuti Melik dalam Wawancara dengan Sayuti Melik. Ajaran Ki Ageng Suryomentaram dikuti oleh banyak pejuang pada dekade awal 1930-an. Ajarannya terkenal dengan sebutan Ngelmu Begjo atau Ilmu Bahagia. Asasnya adalah nrimo atau menerima. Kala itu, menurut Sayuti Melik, suhu perjuangan tengah mengalami penurunan. Tokoh-tokoh perjuangan berusaha menyeimbangkan sukma dengan mempelajari Ngelmu Begjo tersebut. Sementara ia sendiri merasa ajaran tersebut tidak cocok di tengah perjuangan. "Saya anggap ajaran tersebut melemahkan perjuangan dan bertentangan dengan pikiran saya yang selalu menginginkan bagaimanakah perjuangan itu tetap ada derapnya," kata Sayuti Melik. Namun, Penjara Gang Tengah yang membuat Sayuti Melik merasakan kesunyian dan ketenangan mengubah pandangannya empat tahun yang lalu ketika baru keluar dari Boven Digul. "Jadi begitulah, ajaran yang empat tahun sebelumnya saya sangkal kebenarannya kemudian saya mengakui kebenarannya," jelasnya. Sayuti Melik merasa bahwa ajaran Ki Ageng Suryomentaram juga penting untuk keseimbangan. Selepas dari Penjara Gang Tengah, Sayuti Melik tetap bisa kembali menulis dan melanjutkan perjuangannya untuk kemerdekaan.*
- S.K. Trimurti di Tengah Perpecahan
RUMAH di Pakuningratan, Yogyakarta, ini cukup besar tapi masih kosong. Rumah ini pemberian Ny. Sri Mangunsarkoro, salah seorang pendiri dan ketua Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Tak kehilangan akal, S.K. Trimurti menyurati kawan-kawan seperjuangannya tentang niatnya membuat kursus kader. Isinya, minta bantuan.
- Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa
SUATU hari di tahun 1954, rumah keluarga Him Ie Nyan di Pasar Baru, Jakarta kedatangan dua tamu. Mereka bukan akan pesan koper atau semacamnya lantaran Him Ie Nyan penjual koper kulit. Dua tamu itu adalah anggota satuan Pertahanan Sipil (Hansip). Di telinga Him Ie Nyan yang sedang duduk di meja, kedua hansip itu terdengar sedang marah-marah. “Sedang tidak punya uang, lain kali ke sini lagi,” kata Him Ie Nyan kepada dua hansip tadi. Kedua hansip tetap tidak mau pergi. Saking inginnya uang dari Him Ie Nyan, kedua hansip itu lalu menendang kursi Him Ie Nyan. Setelah pergi tanpa dapat uang, dua hansip itu tak lupa ngomel-ngomel . Him Ie Nyan hanya bisa bersabar. Kesedihannya tak terbendung, air matanya tertumpah. Merasa sebagai pendatang sulit baginya untuk melawan hansip, yang biasanya bukan pendatang. Him Tek Ji, anak laki-lakinya yang baru 10 tahun, pun tentu tak bisa berbuat banyak. Orang Tionghoa dianggap pendatang, tak punya backing di kekuasaan maupun dalam kemiliteran atau lembaga yang kemiliter-militeran macam Hansip. Begitulah keadaan keluarga Him Ie Nyan sebagaimana dikisahkan Him Tek Ji dalam memoarnya, Tedy Jusuf, Kacang Mencari Kulitnya. Orang Kristen ke Istiqlal Tak terasa, masa SMA Him Tek Ji hampir berlalu. Dia hanya tinggal menanti ijazahnya keluar. Kala itu ijazah SMA masih berharga lantaran lulusan SMA belum sebanyak sekarang. Pada 1962, lulusan SMA bisa jauh dari pekerjaan kuli dan ijazahnya tidak akan ditahan pemilik toko. Him Tek Ji sangat ingin kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), seperti Sukarno setengah abad sebelumnya. Tapi Tek Ji sadar keadaan. Ada adik-adiknya yang harus dibiayai sekolah dasar dan menengahnya. Tak hanya dirinya saja yang butuh uang hasil keringat ayahnya. Di tengah kegalauannya akan masa depannya itu, Him Tek Ji kedatangan salah satu pamannya dari Semarang. Kegalauannya pun sirna. “Apakah mau masuk AMN?” tanya Gustaaf Brugman, pria yang biasa disapanya sebagai Om Brugman itu. Tek Ji hanya terdiam. Esoknya, dirinya diajak Om Brugman pergi. Om Brugman berpakaian necis atasan dan bawahan putih dilengkapi dasi. Rupanya dia hendak mengantar Tek Ji mendaftar agar menjadi tentara. Mereka lalu pergi ke daerah Gambir. Mula-mula ke tempat yang kini menjadi Markas Kostrad, lalu ke Mabes Angkatan Darat dan akhirnya tempat yang kini jadi Masjid Istiqlal yang kala itu markas KODAM Jaya. Tek Ji pun mencoba peruntungannya. Kala itu yang terpikir olehnya hanyalah untuk menyenangkan Om Brugman. Brugman sendiri merupakan tentara. Dari dokumen tawanan perangnya, dia ditawan militer Jepang setelah Jepang berkuasa di bekas Hindia Belanda. Saat ditawan, dia tercatat sebagai personel zeni KNIL di Malang, Jawa Timur dengan pangkat Adj. Onderofficier. Tek Ji dan Brugman lalu ke bagian Ajudan Jenderal (Ajen) untuk mendaftar. Pendaftaran hampir ditutup, tapi Tek Ji masih bisa mendaftar dan akhirnya boleh ikut tes. Setelah mengikuti serangkaian tes, Tek Ji ternyata diterima dan berangkat menuju Magelang, tempat Akademi Militer Nasional (AMN) berada. Sekolah kedinasan gratis ini adalah pencetak perwira Angkataran Darat. Pendidikan dilaluinya hingga lulus. Setelah lulus sebagai perwira infanteri, Tek Ji menjalani kariernya dengan duka dan sukanya sebagai perwira. Dia akhirnya sampai menjadi contoh langka di Angkatan Darat, yakni menjadi brigadir jenderal keturunan Tionghoa. Jauh sebelum jadi jenderal, ketika masih menjadi letnan dua, Tek Ji pernah bertemu dua hansip yang dulu minta uang dengan kasar kepada ayahnya. Dua hansip itu tampak tertunduk. Keduanya merasa kalah seragam. Tek Ji tak bisa melupakannya. “Jangan coba-coba lagi ganggu Papa saya, saya tembak kepalamu. Mulai saat ini, kamu tidak boleh lewat depan rumah saya!” kata Tek Ji kepada kedua hansip itu. “Iya, Pak. Maaf,” kata hansip. Semasa berdinas di TNI, Tek Ji yang kemudian dikenal sebagai Tedy Jusuf itu pernah bertugas di Batalyon Infanteri 519 dan 507 (Sikatan) di Jawa Timur. Dia juga pernah dikirim ke Timor Timur. Setelahnya, dia pernah dipercaya menjadi komandan KODIM Jakarta Pusat, komandan KOREM Manado, lalu staf ahli panglima ABRI. Dia jadi jenderal di masa orde baru, ketika orang Tionghoa sulit berekspresi dan hanya dihargai karena perkara ekonomi dalam orde yang mendaku diri orde pembangunan itu.
- Posisi AURI dalam Pertempuran Laut Aru
PETAKA terjadi di Laut Arafuru (Aru) pada 15 Januari 1962. Satu dari tiga kapal Motor Torpedo Boat (MTB) AL bernama KRI Matjan Tutul tenggelam kena sergapan kapal perang Belanda. Misi pendaratan di Pantai Selatan Papua itu berakhir dengan kegagalan sekaligus kekalahan telak. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, Deputi Kepala Staf AL Komodor Josaphat "Yos" Sudarso yang berada dalam KRI Matjan Tutul gugur. Pada 19 Januari, Presiden Sukarno menggelar rapat Dewan Pertahanan Nasional di Istana Bogor. Sejumlah perwira tinggi hadir, termasuk Kepala Staf AD, Kepala Staf AU, Kepala Staf AL, dan Kepala Kepolisian RI. Dengar pendapat dalam pertemuan itu menimbulkan friksi antar matra. Angkatan Udara (AURI) dianggap tidak memberikan perlindungan yang memadai dalam operasi inflitrasi tersebut. Salah satu perwira yang mencerca pihak AURI ialah Kolonel Moersjid, Asisten II/Operasi Kepala Staf AD. Moersjid dikenal sebagai perwira pemberani dengan tempramen tinggi. Tidak heran dalam rapat tersebut, Moersjid bicara blak-blakan. “Saya tak pedulikan semuanya. Pangkat saya hanya kolonel, pangkat paling rendah dari seluruh hadirin di ruangan tersebut. Saya nothing to lose , maka saya beberkan saja semuanya dengan lugas,” ujar Moersjid sebagaimana terkisah dalam biografi Laksamana Sudomo Mengatasi Gelombang Kehidupan . Secara emosional Moersjid menceritakan apa yang dialaminya selama ada di palagan Arafuru. Ketika kejadian berlangsung, Moersjid merupakan perwira AD berpangkat tertinggi yang berada di KRI Harimau. Hidup Moersjid akan berakhir di Laut Aru seperti Yos Sudarso andai saja Kolonel (AL) Soedomo tidak memindahkannya dari KRI Matjan Tutul ke KRI Harimau. “Omong kosong AURI mampu menjaga wilayah udara Indonesia up to the minute , omong kosong karena tak seekor pun (pesawat) capung muncul ketika kapal kami diserang,” ujar Moersjid. AURI Tidak Didengarkan Menurut Marsekal Madya (Purn.) Ris Wiryo Saputro, wajar bila Moersjid melampiaskan uneg-unegnya. Moersjid nyaris saja mati dalam pertempuran itu. Efeknya, dia menyalahkan matra lain, dalam hal ini AURI. Wiryo Saputro tahu persis mengenai tingkat legalitas dan kerahasian operasi infiltrasi ini. Dia merupakan perwira AURI yang ditunjuk mewakili AURI dalam Komando Operasi Tertinggi (KOTI) dengan jabatan sebagai perwira operasi. Presiden Sukarno menugaskannya untuk mengurusi semua operasi yang dilakukan oleh AURI, termasuk operasi pembebasan Irian Barat. Dalam suatu rapat staf menjelang Peristiwa Laut Aru, Wiryo Saputro dimintai pendapat mengenai bagaimana andil AURI dalam operasi. Hadir juga dalam rapat tersebut petinggi AL seperti Soedomo dan Kamaluddin Djamil. Pada forum itu dapat diketahui kemampuan AURI belum cukup menunjang apabila terjadi pertempuran terbuka dengan Belanda. Kepada sejarawan Saleh Djamhari dari Pusat Sejarah ABRI, Wiryo mengatakan bahwa AURI tidak memiliki apa-apa dalam hal ofensif. AURI hanya bisa menyediakan pesawat Hercules untuk membantu mengangkut pasukan yang akan didrop ke tempat pangkalan MTB di Kepulauan Aru. Selain itu, AURI belum siap betul dari segi alat utama sistem persenjataan maupun sarana pendukung seperti kesiapan pangkalan udara dan keterbatasan bahan bakar avtur. Sehingga menurut Wiryo “Jadi AURI waktu itu tidak siap memberikan Air Cover (perlindungan udara) dalam rencana Laut Aru,” kata Wiryo Saputro sebagaimana ditulis Saleh dalam Trikomando Rakyat: Pembebasan Irian Barat . Meski telah mengetahui kontribusi AURI tidak seperti yang diharapkan, pimpinan operasi tetap pada rencananya. Tiga kapal MTB yang tidak dilengkapi peluru torpedo itu bergerak menuju Kaimana di Pantai Selatan Papua. Sebagaimana dicatat Julius Pour dalam Konspirasi Di Balik tenggelamnya Matjan Tutul , setiap MTB membawa 30 ABK dan sekitar 40 infiltran yang terdiri dari putra-putra daerah Papua. Jumlah ini diluar kapasitas lumrah kapal MTB yang seyogianya memuat 20-an orang penumpang. Sewaktu mereka mau berangkat, ujar Wiryo Saputro, AURI jelas tidak dilibatkan. Operasi inipun terbilang nekat. “Jadi sebenarnya pihak AL mengetahui bahwa AURI tidak siap memberikan air cover waktu itu termasuk Yos Sudarso dan juga staf AL di KOTI, dan dalam rapat telah saya sampaikan permasalahan ini, tapi mereka nekad saja,” katanya. AURI Disudutkan Setelah insiden di Laut Aru, AURI dipersalahkan dan jadi bulan-bulanan. Moersjid dari pihak AD meluapkan kegeramannya lewat kecaman kepada AURI. Dia menilai AURI tidak becus memberikan pertolongan bagi Matjan Tutul dari serangan Belanda. Sikap serupa juga diperlihatkan Kepala Staf AL Laksamana Eddy Martadinata. Menurut wartawan kawakan Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965, Martadinata dikabarkan sampai menangis ketika mendengar Yos Sudarso, kawan seperjuangannya, gugur. Saat Presiden Sukarno menghelat rapat terbatas antar panglima lintas matra (AD, AU, dan AL) Martadinata tampak memendam emosi. Begitu memasuki ruang rapat secara spontan Martadinata langsung menunjuk muka Kepala Staf AU Laksamana (Udara) Suryadi Suryadarma. “Mengapa AURI tidak membantu kapal saya?!” tanya Martadinata sebagaimana terkisah dalam Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma karya Adityawarman Suryadarma. Martadinata kian dongkol kala mendengar keterangan Suryadarma yang mengatakan ketidaksanggupannya menyediakan pesawat pencari jasad Yos Sudarso. Atas tragedi ini, Presiden Sukarno berang, terutama waktu mendengar omelan Moersjid. Kepemimpinan Suryadarma pun digugat. Namun, menurut Wiryo Saputro, Sukarno sendiri berada dalam dilema karena sedari awal telah mengetahui posisi AURI dan seperti apa permasalahan yang dihadapi. Sebagai bentuk pertanggungjawaban dan juga desakan angkatan lain, Suryadarma menyatakan mundur dari jabatan Kepala Staf AU. Presiden Sukarno menyetujuinya dan mengganti Suryadarma dengan Kolonel (Penerbang) Omar Dani. Namun, untuk menyelamatkan wajah Suryadarma, Sukarno tetap mengangkatnya sebagai penasihat militer. Dengan demikian, meredalah ketegangan antar angkatan yang bermula dari petaka Laut Aru.*
- Yos Sudarso dan KRI Matjan Tutul Terkubur di Laut Lepas
BEGITU melihat gelagat akan dikepung, Kolonel Laut Sudomo memerintahkan ketiga KRI untuk putar haluan menuju arah 239 derajat dan bergerak kembali ke pangkalan. Serentak semua KRI cikar kanan. Namun ada yang aneh dengan KRI Matjan Tutul. Alih-alih mengikuti terus gerakan kedua kapal lainnya, KRI Matjan Tutul malah memutar dengan kekuatan penuh, melewati sisi kanan KRI Matjan Kumbang dan langsung mengambil haluan 329 derajat, melaju ke arah posisi Hr.Ms. Eversten. Eversten langsung bereaksi. Dengan garang, fregat milik Belanda itu memuntahkan peluru meriam 12 cm-nya ke posisi Matjan Tutul. Bersamaan itu dari KRI Matjan Tutul, bergema suara khas Komodor Yos Sudarso: “Kobarkan semangat pertempuran!” Jelas sudah, Yos Sudarso sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Laut RI sudah mengambil alih komando dari Kapten Wiratno, komandan KRI Matjan Tutul. Tembakan Eversten langsung menghantam meriam 40 mm Bofors yang terletak di buritan KRI Matjan Tutul. Meriam itu pun langsung tumbang. Hantaman kedua mengenai tiang radar hingga tumbang ke laut. Peluru meriam musuh ketiga mengenai dapur (tengah) sehingga kapal menjadi pecah mengeluarkan api dan asap hitam menutupi kapal dari depan sampai ke belakang. Peluruh musuh yang keempat mengenai mesin diesel (listrik) dan mematikan semua aliran listrik. Peluru musuh kelima menghancurkan anjungan dan alat komunikasi (PHB). Sepeninggal dua kapal perang lainnya, KRI Matjan Tutul mendapatkan tembakan bertubi-tubi dari pihak musuh. Tak ayal lagi, kapal cepat buatan Jerman itu luluh lantak. Semua senjata meriamnya tak satu pun utuh, seperti para penembaknya yang hancur berkeping-keping. Matjan Tutul pun perlahan mulai tenggelam dan terkubur selamanya di lautan Arafuru. Tigapuluh awaknya gugur seketika, termasuk Wakasal Komodor Yos Sudarso. Sementara sisa para waknya terombang-ambing di tengah lautan, sebelum kemudian diangkut oleh kapal-kapal Belanda. Junias Rapamy masih ingat bagaimana dia dan kawan-kawannya diangkat dengan jaring-jaring kawat ke atas kapal perang Belanda. Saat jaring diangka, perlahan-lahan mulut jaring mengecil. Jadilah mereka terjepit dan seperti diperas. Ada suatu kejadian menyakitkan hati para prajurit dan sukarelawan Indonesia yakni kala jaring akan diturunkan di atas geladak kapal, ternyata masih ada darah yang menetas . Tiba-tiba jaring menjauh lagi dari geladak kapal dan berputar ke arah samping kapal. “Rupanya kapal Belanda itu tidak sudi menerima tetesan darah kami…” kenang Junias. Sekira satu jam lebih mereka dibiarkan bergelantungan dalam jaring itu. Begitu yakin tidak ada lagi tetesan darah, awak kapal Belanda itu baru mau mengarahkan jarring ke geladak kapal. Setelah jaring terbuka dan mereka mempunyai ruang untuk bernapas ternyata seorang kelasi bernama Banuardi sudah tidak bergerak lagi. Beberapa prajurit marinir Belanda kemudian menggotongnya ke arah belakang kapal. ”Saya tidak melihat lagi apa yang terjadi, namun saya menduga jenazah Banuardi langsung dibuang ke laut…” ujar Junias. Dua prajurit Indonesia, Rekrut Niki dan Kelasi II K. Ekson, yang sudah terlihat sekarat dipisahkan dari kami dan ditidurkan di atas brankart menunggu waktunya mati. Sementara 51 orang sisanya, disuruh tidur di geladak kapal tempat apel para marinir. Mereka ditidurkan telentang mengelilingi sebuah botol bir besar (Angker Bir) sebagai pusat kaki mereka, dengan posisi kaki dan tangan terikat. Berdasarkan daftar yang diterima oleh Markas Besar Palang Merah Indonesia dari IRC (Palang Merah Internasional) pada 14 Februari 1962, ada 54 awak KRI Matjan Tutul yang menjadi tawanan Marinir Belanda. Kendati ketika awal penahanan mereka diperlakukan secara kurang baik, namun karena campur tangan PBB dan IRC pada akhirnya para tawanan itu mendapat perlakuan sesuai Konvensi Jenewa. (Bersambung)
- Infiltrasi Nekat Yos Sudarso ke Irian Barat
SIARAN Radio Australia Selasa petang itu menyiarkan berita yang mengejutkan: malam tadi (Senin, 15 Januari 1962) sebuah kapal cepat torpedo milik ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) berhasil dihancurkan oleh kapal perang Marinir Belanda. Melansir dari DPA (Kantor Berita Belanda) disebutkan dalam pertempuran laut itu, Marinir Belanda berhasil menawan sekira 50 prajurit Indonesia. “…kapal-kapal perang Belanda mulai menembak pada suatu formasi kapal-kapal Indonesia yang sedang bergerak di perairan territorial Belanda, di arah selatan pantai Irian,” demikian laporan Radio Australia pada 16 Januari 1962. Sudomo menyatakan bahwa insiden itu terjadi saat KRI Harimau, KRI Matjan Tutul dan KRI Matjan Kumbang milik ALRI tengah melakukan upaya infiltrasi ke daratan Irian. “Kami membawa para sukarelawan dan unsur-unsur dari Angkatan Darat untuk diselusupkan ke Irian,” ujar pimpinan operasi infiltrasi itu dalam Laksamana Sudomo: Mengatasi Gelombang Kehidupan karya Julius Pour. Banyak kalangan kemudian menyebut operasi itu sebagai upaya nekat. Hal itu seperti dilontarkan oleh Laksamana Pertama (Purn.) Eddy Tumengkol kepada Historia beberapa waktu lalu. “Lha semua kapal cepat itu kan bergerak tanpa torpedo dan dukungan udara,” ujar sesepuh penerbang Angkatan Laut itu. Soal ketidaklengkapan kapal-kapal cepat buatan Jerman Barat tersebut diamini sendiri oleh Sudomo. Saat dibeli, tabung torpedo kapal-kapal cepat itu memang dalam keadaan kosong. Itu terjadi karena sebagai negara yang kalah dalam Perang Dunia II, Jerman Barat terkena kebijakan internasional dalam hal pembatasan memproduksi peralatan perang. Awalnya, ALRI akan menyiasati soal tersebut dengan membeli torpedo ke Inggris. “Sayangnya, setelah konflik Irian Barat semakin panas, pemerintah Inggris justru memberlakukan larangan pengiriman senjata strategis, termasuk torpedo, terhadap Indonesia,” ungkap Sudomo. Jadilah kapal-kapal cepat itu hanya diperkuat senjata-senjata penangkis serangan udara yang sejatinya sudah sangat tua. Senjata-senjata itu terdiri dari dua meriam 40 mm Bofors dan dua 12,7 mm. Sidhoparomo, masih ingat bagaimana awal terjadinya malapetaka pada malam itu. Saat memasuki Laut Arafuru, situasi gelap gulita. Bintang-bintang dan bulan sama sekali tak nampak. “Kami semua memandang tajam ke arah radar,” ujar Komandan KRI Matjan Kumbang tersebut. Tanpa disadari, sejak pukul 20.25, pergerakan mereka sudah dipantau oleh pesawat Neptune yang diawaki seorang pilot Angkatan Laut Belanda keturunan Jawa. Namanya Letnan H. Moekardanoe. Setelah memastikan posisi ketiga kapal cepat itu, Moekardanoe lantas mengirimkan tanda bahaya dini kepada tiga kapal perang Belanda (Hr. Ms. Eversten, Hr.Ms. Kortenaer dan Hr. Ms. Utrecht) yang juga sedang berpatroli di sekitar tempat tersebut. Sekira satu jam kemudian, Neptune mulai menyerang. Bersamaan dengan serangan tersebut, muncul satu fregat dari arah lambung kanan dan sebuah kapal perusak serta sebuah fregat dari arah lambung kiri kapal-kapal cepat itu. Pertempuran tak seimbang pun tak terelakan. Salah satu saksi sekaligus pelaku pertempuran itu adalah Junias Rapamy. Di malam itu, secara tiba-tiba Junias menyaksikan nyala kembang api menerangi haluan KRI Macan Tutul. Para prajurit dan kelasi berteriak-teriak panik. Rupanya kembang api itu disebabkan oleh tembakan pesawat Belanda jenis Neptune yang terbang di atas mereka setinggi kira-kira 3000 kaki dari permukaan laut. Sejurus kemudian pesawat itu hilang dari pandangan. ”Saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya…” kenang sukarelawan Irian pro Indonesia itu. Belum selesai Junias berpikir, beberapa menit kemudian tiba-tiba deru suara pesawat itu kembali meraung diatas KRI Matjan Tutul. Pesawat itu lagi-lagi melontarkan bom ke arah rombongan kapal cepat itu. Air laut menyembur tinggi di kanan-kiri Matjan Tutul. Warna merah api dan asap hitam panjang terlihat dalam air laut. Pesawat terbang itu kemudian menghilang lagi. Namun suara tembakan dan bom bertubi-tubi menghujani posisi KRI Macan Tutul. Kali ini dari kapal-kapal perang Belanda yang telah berada di sekitar mereka. Sambil memegang senjata, Junias mengambil posisi tiarap di bawah meriam kanan dekat pintu kamar mesin. Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan desing peluru yang ditembakkan kapal musuh ke arah mereka. Blummm! Tembakan pertama musuh menghantam meriam depan KRI Matjan Tutul. Meriam itu tumbang, disusul oleh lontaran dasyat peluru meriam kedua musuh mengenai tiang radar hingga tumbang ke laut. Peluru meriam musuh ketiga mengenai dapur (tengah) kapal menjadi pecah mengeluarkan api dan asap hitam menutupi kapal dari depan sampai ke belakang. Peluruh musuh yang keempat mengenai mesin diesel (listrik) dan mematikan semua aliran listrik. Peluru musuh kelima menghancurkan anjungan dan alat komunikasi (PHB). Situasi di atas KRI Matjan Tutul kian kacau: jeritan dan teriakan saling bersahutan. Kemudian tiba-tiba tembakan-tembakan itu terhenti. ”Mungkin mereka sedang mengamati situasi yang terjadi setelah tembakan terjadi…” kenang Junias seperti diungkapkan dalam Sekelumit Kisah Junias Rapamy, Awak KRI matjan Tutul yang Selamat dalam Pertempuran Laut Aru karya Taufik Abriansyah. Melihat situasi yang sangat genting itu, dan untuk mengurangi kerugian korban, Komodor Laut Yos Sudarso yang berada di KRI Matjan Tutul mengambil alih komando. Dia langsung memerintahkan KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang yang berada dalam formasi untuk segera menghilang dan mundur ke Posko 001 di Ujir Dobo. (Bersambung)
- Yos Sudarso Sebelum Pertempuran di Laut Aru
KOLONEL Moersjid bergegas menuju Indonesia kawasan timur. Dia yang menjabat Asisten II/Operasi KSAD ditugaskan untuk mempersiapkan infiltrasi sekompi pasukan ke Kaimana, Papua. Tingkat kerahasiaan operasi bersandi “Silent Raid” ini sangat tinggi. Tiada seorang pun anggota keluarga yang tahu kemana Moersjid akan pergi, termasuk sang istri Siti Rachmah yang sedang mengandung. “Yang sangat khawatir justru Ibu saya, karena dia enggak tahu ayah pergi ke mana, hanya mendengar berita setelah kejadian,” ujar Sidharta Moersjid, putra ke-4 Moersjid kepada Historia . Sebelum berangkat Moersjid menghadap kepada atasannya Mayjen Ahmad Yani. Selain menjabat Deputi I/Operasi KSAD, Yani juga berkedudukan sebagai Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi Pembebasan Irian Barat(KOTI Pemirbar). Moersjid melaporkan bahwa Deputi I/Operasi KSAL Komodor Josaphat Soedarso (selanjutnya disebut Yos Sudarso) akan menyertai rombongan sukarelawan Angkatan Darat. Kesempatan itu juga dipakai Moersjid untuk permisi kepada Yani. Dia bermaksud memperkuat moril anak buahnya yang akan didaratkan ke pantai selatan Papua itu. Selaku Asisten II/Operasi, Moersjid ingin ikut mengantarkan mereka sampai garis depan. Sebagaimana tersua dalam Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat yang disusun tim Pusat Sejarah ABRI, antara Moersjid dan Yani kemudian terjadi pembicaraan. “Pak Yani mau ikut?" ajak Moersjid. “Untuk apa?” Yani malah balik bertanya. “Moril dong,” kata Moersjid, “Hidup mereka tinggal sebulan!” “Aku sibuk ...Banyak pekerjaan. Kau saja!” ujar Yani. Maka pada 12 Januari 1962 berangkatlah Moersjid ke Pangkalan Udara Leftuan di Kepulai Kei, Ambon. Turut bersama Moersjid Mayor Roedjito, komandan operasi pendaratan. Mereka bersama sekompi pasukan menumpang pesawat C-130 Hercules. Sementara empat kapal jenis Motor Torpedo Boat (MTB) yang akan digunakan untuk pendaratan telah diberangkatkan beberapa hari lebih dahulu. Keesokan sore harinya, pasukan diangkut dengan kapal induk KRI Multatuli menuju Pulau Ujir di sebelah barat Kepulauan Aru. Mereka tiba di Pulau Ujir pada pagi hari 14 Januari. Semua pasukan kemudian disebar masing-masing satu peleton ke dalam tiga kapal MTB: KRI Harimau, KRI Matjan Kumbang, dan KRI Matjan Tutul. Adapun satu kapal lagi, yakni KRI Singa harus tertinggal di pangkalan karena kehabisan bahan bakar. Moersjid dan Yos Sudarso tetap berdiam di KRI Multatuli mematangkan persiapan pendaratan. Diatas kapal, Moersjid dan Yos terlibat perbincangan serius. Kedua perwira ini sebenarnya tidak direncanakan ikut menyusup dalam pendaratan. Namun rupanya mereka bersepakat untuk sama-sama ikut mendarat bersama pasukan untuk melecut semangat para prajurit. Menurut Moersjid sebagaimana ditulis Julius Pour dalam Konspirasi Dibalik Tenggelamnya Matjan Tutul , setelah makan malam dia berbicara dari hati ke hati dengan Yos Sudarso. Mereka berembug di kamar sampai tengah malam merencanakan teknis infiltrasi. Hal lain yang juga dibicarakan adalah keinginan mendesak Kolonel Soedomo – perwira pelaksana operasi dari AL – agar mengizinkan Moersjid dan Yos Sudarso mendarat. Pukul 02.00 dinihari, pembicaraan antara Moersjid dan Yos Sudarso pungkas. Sebelum beristirahat, Moersjid mendapati Sersan Mayor Muhammad Iding duduk sendirian mendengarkan radio transistor. Iding berasal dari kesatuan RPKAD dan menjadi komandan peleton di KRI Matjan Tutul. Iding tampak gelisah. Moersjid pun menghampirinya. “He...Kau kenapa belum tidur?” tegur Moersjid “Bagaimana besok, Kolonel?” Si Sersan bertanya kebingungan. “Mana Bapak tahu!” kata Moersjid. “Saya….” kata Iding tergagap-gagap karna gugup. “Sudah, jangan bingung! Soal adanya korban sudah ada yang mengurus. Siapa namanya, Bapak tidak tahu. Tetapi itu ada!” demikian Moersjid meyakinkan anak buahnya itu sebagaimana dituturkannya kembali kepada tim Pusat Sejarah ABRI pada 25 Januari 1990. Pada 15 Januari 1962 pukul 09.00 pagi, Soedomo memberikan pengarahan terakhir. Soedomo didampingi komandan masing-masing kapal MTB. Mereka antara lain Mayor (Laut) Samuel Moeda (KRI Harimau), Kapten (Laut) Wiratno (KRI Matjan Tutul), dan Letnan (Laut) Sugardjito (KRI Matjan Kumbang). Sebelum menentukan kapal yang dipilihnya, Yos Sudarso menanyakan sesuatu kepada perwira AL peserta pengarahan. Cara Yos Sudarso memilih kapalnya dituturkan Samuel Moeda (Laksama Purn.) kepada Tim Pusat Sejarah ABRI pada 15 November 1990. “Kapal mana yang komandannya termuda?” ujar Yos Sudarso. “Kapten Wiratno, Komodor,” jawab Wiratno, Komandan Matjan Tutul. “Bapak ikut kapalmu, Kapten,” kata Yos Soedarso sambil memalingkan pandangannya kepada Wiratno. Sebelumnya untuk alasan keamanan, Soedomo telah menawarkan agar Yos Sudarso menaiki KRI Harimau. Namun, Yos Sudarso sudah kadung menetapkan pilihannya. Moersjid yang tadinya ditempatkan di KRI Matjan Tutul lantas mengajukan protes. Menurutnya kurang lazim menempatkan dua pimpinan angkatan selama operasi di wilayah perbatasan dalam satu kapal. Soedomo akhirnya memindahkan Moersjid ke KRI Harimau bersamanya. Pukul 16.00, ketiga kapal MTB dalam keadaan siap tempur. Tepat pukul 17.00. kapal-kapal tersebut mulai bergerak dari Pulau Ujir menuju Kaimana. Dalam formasi berbanjar, KRI Harimau berada di depan sebagai kapal komando, KRI Matjan Tutul di tengah, sedangkan KRI Matjan Kumbang di belakang untuk menjaga radar. Di tengah lautan Arafuru, iring-iringan kapal MTB dipergoki pesawat Neptune Belanda yang sudah mengintai sejak bertolak dari Pulau Ujir. Pesawat itu kemudian melaporkan kepada kapal fregat AL Belanda Eversteen dan Kortaener. Atas instruksi Yos Sudarso, KRI Matjan Tutul terus melaju dan memberikan perlawanan. Dengan demikian, KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang punya kesempatan putar haluan untuk mundur. Tidak ayal lagi pertempuran tidak seimbang pun berkobar. KRI Matjan Tutul digempur dua pesawat tempur dan dua kapal perusak Belanda. Komodor Laut Yos Sudarso gugur bersama Kapten Wiratno berkalang samudra di dasar lautan Arafuru. Sementara Moersjid berhasil menyelamatkan diri bersama rombongan di dua kapal MTB yang tersisa. Kabar pertempuran di Laut Arafuru mengejutkan publik di Indonesia. Meski Moersjid luput dari maut, sang istri yang menanti di Jakarta cemas luar biasa. Keadaan batin istri Moerjid berpengaruh terhadap kondisi si jabang bayi. “Dan akhirnya adik yang sedang dikandung meninggal dan diberikan nama Irianto,” kenang Sidharta.*





















