top of page

Hasil pencarian

9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Dari Poster hingga Cukil Kayu

    “GARIS-garis cukilan kayu Wen Peor adalah garis-garis pemberontakan seorang seniman…,” catat JJ Kusni, penyair yang pernah gabung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dalam arsip surel berjudul “Surat Sutera Putih: Menyertai Kepergian Pelukis Wen Peor”.

  • Bukan Sekadar Urusan Upah

    MASYARAKAT Nusa Tenggara Timur melakukan tabur bunga di makam para pahlawan pemberontakan kapal De Zeven Provincien di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, 4 Februari 2016. Dalam acara ini hadir keluarga dari pemimpin pemberontak, yaitu curu Martin Paradja serta anak, menantu dan cucu Josias Kolondam Kawilarang.

  • Bandit dari Lereng Gunung

    DI Surakarta, kabar proklamasi kemerdekaan mendorong bandit-bandit ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Beberapa di antara mereka baru keluar dari penjara. “Banyak dari para tahanan yang seharusnya belum waktunya bebas dikeluarkan dengan alasan diikutkan untuk berjuang,” tulis Julianto Ibrahim dalam Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta .

  • “Darah Rakjat” di Perayaan Kemerdekaan

    PERAYAAN Hari Kemerdekaan Indonesia biasanya dipersiapkan jauh-jauh hari. Sebuah panitia dibentuk. Acara disusun. Namun, pada 1950-an, susunan acara perayaan Hari Kemerdekaan mendapat protes karena menyertakan lagu-lagu berbau kiri.

  • Antara Raja Gowa dengan Portugis

    SULTAN Hasanuddin, pahlawan nasional dari Kerajaan Gowa-Tallo, dikenal gigih melawan maskapai dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Namun karena kalah, dirinya terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).   Gowa bukan tak memiliki teman bangsa Eropa. Portugis, yang jauh sebelum VOC berkuasa sudah lama di Makassar, merupakan sekutunya. Kedekatan Portugis membuat ada raja Gowa yang membiarkan agamawan dari Portugis menyebarkan agama Katolik di Makassar. Sebuah sekolah Katolik kemudian didirikan di sana era tersebut. Christian Pelras dalam Manusia Bugis  mencatat, ada raja Gowa yang pernah jadi kristen meskipun belakangan raja-raja di Sulawesi Selatan, baik kawasan Bugis maupun Makassar, memilih Islam.   Portugis di Makassar hanya fokus berdagang. Untuk itulah hubungan dengan raja-raja setempat seperti penguasa Tallo, Karaeng Pattinggaloang, dijalin Portugis.   Karaeng Pattinggaloang tidak tertarik dengan ilmu pengetahuan Barat kendati menyukai benda-benda terkait dengannya. Dia kolektor peta, globe, dan barang-barang lain terkait ilmu pengetahuan. Benda-benda itu diperolehnya dari para pedagang Eropa yang membawakan padanya. Selain itu, Karaeng Pattinggaloang juga paham bahasa-bahasa dari Eropa.   Sebelum ke Makassar, Portugis terlebih dahulu ke Malaka. Di sekitar Malaka, Portugis memperkuat diri. VOC adalah bahaya tersendiri bagi Portugis.   “Setahun setelah menguasai negara-kota Melayu, mereka menjalankan program pembangunan ghali mereka sendiri untuk penggunaan lokal,” tulis Pierre-Yves Manguin dalam “Lancaran, Ghurab and Ghali: Mediterranean Impact on War Vessels in Early Modern Southeast Asia”, termuat dalam buku Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past .   Ghali, yang juga disebut galion, galleon, galley, gale atau gali, disebut William Henry Smyth dalam The Sailor's Word-book  merupakan sebuah kapal rendah, berstruktur datar, dengan satu dek, dan digerakkan oleh layar dan dayung. Sebelum di Asia Tenggara, ghali berkembang di Laut Mediterania.   Tak hanya untuk dirinya, Portugis juga membuat armada ghali untuk sekutunya. Termasuk di Sulawesi Selatan.   “Salah satu bantuan yang paling penting, di samping kerjasama, bantuan senjata dan amunisi, adalah pembenahan armada laut Kerajaan dengan memberikan instruktur dalam membangun kapal perang tipe gallei,” catat Mukhlis Paeni dkk dalam Sejarah Kebudayaan Sulawesi .   Pada 1620-an, puluhan ghali dibuat Portugis untuk Kerajaan Gowa. Portugis melakukannya agar sekutunya bisa mengalahkan VOC yang juga menginginkan rempah-rempah dari Nusantara. Portugis dan Belanda saling bersaing sebagai “pemain” rempah-rempah di Maluku Utara. Masing-masing punya koneksi dengan raja-raja lokal.   Dengan sokongan persenjataan Portugis, senjata api dan kapal, Gowa tentu bertambah kuat di awal abad ke-17 itu. Bahkan kerajaan Bugis seperti Bone pun kemudian diserang dan dikuasainya. Politik pendudukan Gowa sebelum era Sultan Hasanuddin itu membuat Gowa punya beberapa musuh di kemudian hari. Yang termasyhur Arung Palaka dari Bone.   Setelah Bone dijajah Gowa, Arung Palaka berpihak kepada Belanda. Mendekatnya Arung Palaka tentu menambah kekuatan Belanda. Akhirnya, dengan bantuan Arung Palaka Belanda berhasil mengalahkan Gowa dan merebut bandar dagang Makassar yang ramai di zaman Gowa berkawan dengan Portugis itu.   Berkuasanya Belanda yang Protestan belakangan ikut mempengaruhi penyebaran Katolik di Sulawesi Selatan. Dalam beberapa kasus, Belanda menekan Katolik dan membiarkan Protestan atau Calvinis berkembang. VOC mewaspadai agama yang dianut orang Portugis hingga lebih suka orang pribumi memeluk agama yang dianut orang Belanda. Alhasil, Katolik kurang berkembang di sana. Sebaliknya, Protestan lebih bisa berkembang sebelum abad ke-19 itu dan penganutnya lebih banyak daripada agama yang dianut orang Portugis.*

  • Niatnya Membuka Jalur Rempah, Pelaut Belanda Nyasar ke Pulau Paskah

    SEJAK pertamakali ditemukan oleh pelaut Belanda tiga abad silam, satu per satu misteri-misteri Pulau Paskah terkuak. Terbaru, para peneliti dari sebuah kampus negeri asal New York menyingkap bahwa ratusan patung raksasa moai yang terdapat pada pulau terpencil di selatan Samudera Pasifik di teritorial terluar Chile itu tidaklah dibuat oleh satu klan atau satu kerajaan saja. Dari sejumlah penelitian terdahulu, sudah diketahui bahwa patung-patung moai itu dibuat oleh bangsa Rapa Nui yang pernah mendiami Pulau Paskah. Patung-patung moai, baik yang hanya berupa kepala maupun patung-patung utuh, dibuat pada 900 tahun lalu. Mengutip Daily Mail , Rabu (26/11/2025), riset terbaru itu dilakukan para peneliti dan arkeolog pimpinan Prof. Carl Lipo dari Binghamton University. Risetnya menggunakan teknologi mutakhir, di mana mereka menggunakan drone untuk mengambil sekitar 22 ribu gambar yang lantas disatukan untuk menjadi satu model tiga dimensi. Hasilnya, didapati sisa-sisa semacam workshop tempat pembuatan dan pemahatan patung yang tersebar di sekitar tambang batu Rano Raraku. Mereka juga menemukan bukti bahwa tambang itu tak dimiliki oleh satu klan atau kerajaan tertentu, melainkan dimiliki bersama oleh beberapa klan yang saling bernegosiasi soal tempat pembuatan patung masing-masing. “Kami melihat tempat-tempat pemahatan batu yang terpisah dan dimiliki beberapa kelompok klan yang berbeda di sebuah area spesifik. Secara grafisnya Anda bisa melihat dari konstruksinya bahwa ada serangkaian patung yang dibuat di sini, serangkaian patung lain di tempat lain, dan mereka saling berdampingan satu sama lain,” kata Prof. Lipo. Namun, sejak ditemukannya pulau itu oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-18, populasi bangsa Rapa Nui berangsur-angsur menyusut. Penyebabnya karena persebaran penyakit yang dibawa bangsa-bangsa Eropa ketika menjelajahi pulau seluas 163,7 kilometer persegi itu. Lalu, ekspedisi perburuan budak, hingga bangsa Rapa Nui mesti berpindah ke Tahiti dan daratan Chile yang pada 1888 menganeksasi pulau itu. Tepat 273 tahun sejak pertamakali ditemukan pelaut Belanda Jacob Roggeveen, Pulau Paskah ditetapkan UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia pada 1995. Model 3D temuan banyak tempat pahat patung moai (PLOS One) Mampir ke Pulau Paskah, Ditangkap di Batavia Rempah-rempah dari Kepulauan Maluku merupakan komoditas bernilai tinggi yang bikin iri bangsa-bangsa Eropa. Pada awal abad ke-18, “Kepulauan Rempah” itu sudah berada dalam genggaman Kongsi Dagang Belanda VOC, yang menguasai jalur timur. WIC atau Kongsi Dagang Hindia Barat sebagai rival VOC rupanya mengincar Maluku juga. Menurut Max Quanchi dan John Robson dalam Historical Dictionary of the Discovery and Exploration of the Paficif Islands , atas dasar itulah pada 1721 WIC mengongkosi sebuah ekspedisi pelayaran pimpinan nakhoda Jacob Roggeveen guna membuka rute barat ke Maluku. “Ia pelaut Belanda yang sebelumnya bekerja untuk VOC dan kembali ke Belanda dan mempromosikan sebuah rencana pelayaran komersial dan penjelajahan ilmu pengetahuan ke Pasifik. Perjalanannya disponsori WIC yang sejak lama ingin menembus penguasaan perdagangan rempah-rempah yang selama ini dikuasai VOC,” tulis Quanchi dan Robson. Selain membuka jalur perdagangan rempah via rute barat, misi ekspedisi ilmu pengetahuannya adalah untuk menemukan Davis Land dan Terra Australis Incognita. Davis Land adalah sebuah pulau yang dipercaya tereletak di Samudera Pasifik sebagaimana laporan perompak bernama Edward Davis pada 1687. Sedangkan Terra Australis adalah daratan besar di selatan bumi yang sejak abad ke-15 dipercaya eksis dan terdapat dalam beberapa peta kuno. Davis Land hingga kini dianggap khayalan belaka, sementara Terra Australis ternyata daratan Benua Antarktika. Roggeveen berlayar dengan membawa 223 kru yang terbagi di tiga kapal: Arend , Thienhoven , dan Afrikaansche Galey yang bertindak sebagai kapal komando. Mereka berangkat pada 1 Agustus 1721 dari Pulau Texel dengan rute ke selatan Samudera Pasifik. Menurat Ronald S. Love dalam Maritime Exploration in the Age of Discovery, 1415-1800 , armada kecil Roggeveen mulanya melewati Kepulauan Falkland lantas menuju Selat Le Maire agar lebih mudah mengitari Cape Horn. Dengan melihat gunung-gunung es, arus samudera, dan kawanan burung sepanjang pelayaran, Roggeveen percaya Terra Australis itu eksis dan daratannya saling menyambung hingga Kutub Selatan. “Dari (Cape Horn) sana ia mengubah arah ke utara menuju Kepulauan Juan Fernández lebih dulu guna mendapatkan suplai tambahan untuk pelayarannya, sebelum kembali berlayar ke arah selatan. Justru di sinilah kemudian ia menemukan pulau yang ia namai Pulau Paskah,” tulis Love. Sebelumnya, pulau itu tak eksis di peta-peta penjelajah Eropa manapun. Ketika tiba, Roggeveen memetakan dan menamainya Paasch-Eyland (Pulau Paskah) karena ia menemukannya tepat pada Minggu Paskah, 5 April 1722. Menurut catatan Roggeveen, ketika itu Pulau Paskah didiami sekitar 2.500 jiwa bangsa Rapa Nui. Satu hal yang pasti, ia meyakini pulau itu bukanlah Davis Land yang selama ini dicari-carinya karena kondisi alamnya berbeda dari beberapa catatan tentang Davis Land. “Pulau Paskah itu bukan pantai berpasir seperti yang digambarkan (Edward) Davis. Pulau itu justru memiliki tebing-tebing tinggi seperti menara di atas permukaan laut. Di pulaunya sendiri sangat jarang pepohonan namun punya tanah subur yang ditanami pisang, kentang, dan tebu,” kata Roggeveen dalam catatannya yang dikutip William Judah Thomson dalam Te Pito Te Henua, Or Easter Island. Saat mengetahui kedatangan rombongan Roggeveen, orang-orang Rapa Nui mendatangi mereka dengan perahu-perahu kano. Dengan komunikasi seadanya, Roggeveen merasa aman untuk mengirim 134 krunya ke daratan dengan lima perahu. Namun di pulau sempat terjadi ketegangan yang berujung serangan. Pasukan pelaut Belanda melepaskan tembakan yang menewaskan selusin orang pribumi dan membuat kabur sisanya. Jalur ekspedisi armada kecil Jacob Roggeveen ( Carl Friedrich Behrens's maps) Semakin masuk ke dalam pulau, pasukan pelaut Belanda itu seperti melihat banyak patung. Karena tidak berani mendekatinya, mereka hanya mengamati dari jauh. “Patung-patung itu sepertinya terbuat dari tanah lihat dan batu-batu halus yang dipasang sangat rapat dan rapi sehingga membentuk sosok manusia. Terlihat sedikit tonjolan yang menjuntai ke bawah dari bahu yang membentuk lengan. Mereka dikenakan jubah panjang dari leher hingga telapak kaki. Di kepala mereka ditempatkan keranjang berisi batu-batu putih,” terang Roggeveen. Mereka pun kembali ke kapal-kapal mereka dan berlayar lagi ke arah barat. Roggeveen sempat sial karena kapal komandonya, Afrikaansche Galey, hancur akibat menabrak karang di Atol Takapoto. Keadaan di dua kapal yang tersisa pun kian gawat karena banyak krunya yang kena penyakit kudis. “Roggeveen memutuskan kembali ke Belanda namun hanya bisa melalui jalur teraman berlayar terus ke barat menembus wilayah eksklusif VOC. Setibanya Arend dan Thienhoven di Batavia (September 1722, red .), mereka ditangkap VOC,” ungkap Steven Roger Fischer dalam Island at the End of the World: The Turbulent History of Easter Island. Roggeveen dan para krunya ditahan atas perintah Gubernur Jenderal Hendrick Zwaardecroon. Mereka didakwa dengan pelanggaran hak istimewa lantaran Roggeveen masuk ke wilayah eksklusif VOC tanpa izin. Kedua kapal dan isi kargo-kargonya disita. “Roggeveen dan para awaknya dipulangkan sebagai tahanan ke Belanda dengan kapal VOC. Sesampainya di Belanda, mereka dibebaskan dan setelah perdebatan dan penyelidikan yang panjang, VOC bersedia memberi kompensasi kepada WIC, baik untuk dua kapal yang disita maupun menalangi gaji para krunya. Sejak saat itu, para pelaut Belanda tak lagi tertarik menjelajahi Pasifik dan memilih berkonsentrasi dengan aktivitas-aktivitas kawasan semata di ‘Kepulauan Rempah’ dan VOC di Batavia,” tandas Fischer.

  • Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

    SETELAH lama diusulkan, Tuan Rondahaim Saragih Garingging akhirnya ditetapkan Pahlawan Nasional tahun ini. Ia dikenal sebagai raja ke-14 Kerajaan Raya, yang kini menjadi Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Menurut keterangan Sekretariat Negara , di bawah kepemimpinan Tuan Rondahaim, Pasukan Raya di Simalungun mencatatkan riwayat perjuangan menonjol melawan kolonialisme Belanda, dengan fokus pada pertahanan dan kemerdekaan yang berhasil. Rondahaim Saragih lahir pada 1828 di Pematang Raya, ibu kota Kerajaan Raya. Ayahnya Tuan Jimmahadim Saragih, raja ke-13 Kerajaan Raya, dan ibunya Ramonta Purba Dasuha berasal dari Kerajaan Panei. Rondahaim menggantikan ayahnya sebagai penguasa Raya pada 1848, ketika usianya menginjak 20 tahun. Sebelumnya, Rondahaim berkedudukan sebagai Raja Goraha, jabatan tertinggi dalam pasukan kerajaan yang membawahkan beberapa panglima. Untuk itu, Rondahaim semasa mudanya menimba ilmu kemiliteran sampai ke Kerajaan Aceh. Rondahaim juga terampil berkuda, suatu kemahiran yang diperlukan dalam peperangan saat itu. Setelah menjadi raja, Rondahaim tidak hanya mengatur dari istananya, tetapi juga sering turun ke medan perang untuk memimpin langsung angkatan perangnya. Tercatat sebanyak sepuluh kali ia memimpin pertempuran menghadapi kerajaan-kerajaan tetangga di Simalungun. Delapan di antaranya terhadap daerah bawahan untuk mempersatukan rakyat sekaligus menegakkan wibawa pemerintahan Kerajaan Raya. “Masih dalam rangka menegakkan wibawa kerajaan, tercatat empat kali dilakukan perang menghadapi pihak luar, yakni menyerang Lokkung, Dolok Sagala, Dolok Kahean (bagian wilayah Kerajaan Dolok Silou, tanpa melibatkan Kerajaan Dolok Silou), dan Basombu (wilayah Panei). Perlawanan yang dilakukannya terhadap Si Sisingamangaraja (yang berkunjung ke Raya), masih dapat kita kategorikan dalam usaha menegakkan wibawa kerajaannya,” catat budayawan Simalungun Mansen Purba dalam Kepahlawanan Tuan Rondahaim . Sebagai seorang raja, Tuan Rondahaim terkenal dengan ketegasannya. Dalam memperlakukan prajuritnya yang menyeleweng, Rondahaim terkadang dinilai sangat kejam. Rakyat Raya menggelarinya sebagai Tuan Raya Na Mabajan. Artinya, Tuan Raya yang bengis. Tuan Rondahaim, seperti digambarkan dalam Deli Courant , 27 Februari 1935, bertubuh kekar, bisa dibilang orang yang tegap. Dahinya tinggi, dan dua gigi atasnya yang menonjol membuatnya tampak aneh dan liar. Ia memiliki 120 istri. Pasukan pengawalnya terdiri dari 500 orang membuat Rondahaim sebagai raja yang ditakuti pada masa ia berkuasa. “Ketika Tuan Rondahaim memacu kudanya melintasi dataran tinggi di depan pasukannya, suaranya terdengar dari jauh, karena kuda perangnya membawa rantai tujuh lonceng perunggu, yang memancarkan nada-nada jernih dan memikat saat ia menunggang kuda,” sebut Deli Courant . Ancaman dari luar datang ketika Belanda hendak memperluas kekuasannya sampai ke Simalungun. Ekspansi ke Simalungun bermula setelah Belanda berhasil menjadikan tanah Deli sebagai daerah penghasil devisa lewat perkebunan tembakau yang laris manis di pasaran Eropa. Belanda juga menjalin kerja sama dengan Kesultanan Deli yang memberikan konsesi tanah cikal bakal perkebunan tembakau Deli. Pada 1870, persekutuan kerajaan di Simalungun yang dikenal sebagai Raja Maropat menyusun kekuatan di bawah pimpinan Tuan Rondahaim. Empat kerajaan itu antara lain, Dolok Silou, Siantar, Panei, dan Tanah Jawa. Atas prakarsa Rondahaim pula terjadilah pertemuan perundingan dengan Sisingamangaraja XII di Silou Buttu. Maksud pertemuan itu untuk mengatur siasat dan taktik menyusun kekuatan yang lebih besar menghadapi Belanda. Untuk memperkuat pertahanan dan usahanya memerangi Belanda, Rondahaim menaklukkan daerah-darah sekitar Simalungun menjadi tunduk kepada Kerajaan Raya. Mulai dari Serdang Raya, Dolok Sagala, Dolog Marawan, Simalas, Sipispis, Bah Sumbu, dan lainnya. Ketika Sultan Deli memecat raja vassalnya Tengku Mohammad Nurdin sebagai penguasa di Padang Bedagai dan menggantinya dengan anggota Kerajaan Deli pada 1884, Rondahaim mengambil sikap. Ia memihak kepada Tengku Nurdin serta menyalakan perlawanan dengan Deli. Sultan Deli pada mulanya berencana untuk mempersenjatai dan menghasut suku-suku Batak menentang Rondahaim. Namun, provokasi ini tidak disetujui residen Belanda karena bakal menimbulkan pemberontakan besar-besaran di kalangan suku Batak terhadap Belanda. Sebagai ganti siasat, Belanda bernegosiasi dengan Rondahaim. Iktikad Belanda untuk berunding dicium sebagai tipu muslihat oleh Rondahaim. Ia kemudian mengutus salah seorang panglimanya yang mirip perawakan dengannya bernama Tobayas. Dan benar saja, Tobayas ditangkap Belanda. “Karena Belanda mengkhianati perjanjian, Tuan Rondahaim memerintahkan bala tentaranya membakar bangsal-bangsal tembakau di Deli Serdang. Dalam hubungan ini, Belanda menangkap Tuan Sang Naualuh Damanik, Raja Siantar, lalu membuangnya ke Bengkalis hingga meninggal di sana,” ulas Tim Peneliti Depdikbud dalam Pola   Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Sumatra Utara  1984/1985, yang disunting Fadjira Novari Manan. Menurut Dada Meuraxa dalam Sejarah Kebudayaan Sumatra , penyerangan Raya terhadap kekuasaan Deli dan Belanda di Padang dan Bedagai masih terus berlangsung sampai tahun 1887. Pasukan Rondahaim menyerang Hulu Padang yaitu Kampung Bandar Bejambu dan kemudian menyerang perkebunan tembakau di sekitarnya. Belanda mendatangkan pasukan tentaranya sebanyak 60 orang dari Medan yang dipimpin Kapten J.C.R. Schenck. Perlawanan Rondahaim sebagaimana dicatat pejabat Belanda J. Tideman dalam Simeloengoen, betapa gigihnya sehingga pasukan Belanda dibuat cukup repot. Pertempuran sengit terjadi di perbatasan Raya, Padang Bedagai, Bandar Jambu, Sibarou, Dolok Marlawan, Bajalinggei, dan Dolok Kahean. Pasukan Raya berhasil membakar bangsal-bangsal tembakau milik tuan kebun dan menawan sejumlah pegawai perkebunan. Salah seorang pejabat kolonial Belanda, G.L. Tichelman menyebut Rondahaim “ Napoleon der Batak ”, Napoleon dari Batak. Hingga akhir hayatnya, Rondahaim terus menyalakan perlawanan menentang kekuasaan Belanda. Ia juga tidak pernah menyerah atau bermufakat dengan penjajah. Dari berbagai sumber, Rondahaim diperkirakan wafat pada pertengahan 1891. Bertahun-tahun setelah kematiannya, Rondahaim tetap dikenang penuh hormat sebagai pahlawan rakyat Simalungun. “Para perempuan tua yang masih tersisa dari masa-masa Rondahaim itu terharu hingga menitikkan air mata ketika mereka mengenang sang pahlawan yang maju ke medan perang dengan menunggang kuda belang-belangnya, membawa pedang dalam sarung perak yang indah, pisau bergagang gading yang berhias, perisai besar melengkung ke dalam dari kulit kerbau, dan senapan musketnya yang berat, yang gagangnya bertatahkan logam mulia,” demikian diberitakan Deli Courant .*

  • Gejolak Muda Iwa Kusuma Sumantri

    BANDUNG, 1915. Iwa Kusuma Sumantri memulai pendidikan di Sekolah Pribumi Pamong Praja Hindia Belanda (OSVIA). Dia yang merupakan putra guru Sekolah Kelas Dua bernama R. Wiramanti diharapkan sang ayah memperoleh  masa depan yang cerah. Seseorang yang memegang ijazah OSVIA akan dengan mudah memperoleh pekerjaan di pemerintahan. Pada waktu itu jabatan pegawai negeri juga merupakan pekerjaan terhormat di masyarakat. Mereka yang bekerja di pemerintahan akan hidup dengan layak.  Akan tetapi harapan ayahanda itu rupanya tidak sesuai dengan keinginan hati Iwa. “Sesungguhnya, apabila pada saat itu saya mampu menolak perintah orang tua, maka dapatlah saya katakan bahwa sekolah ini sama sekali tidak sesuai dengan hati maupun cita-cita saya sendiri,” kata Iwa. Meski begitu, Iwa tetap mengikuti ucapan sang ayah untuk bersekolah di OSVIA. Diceritakan Iwa dalam otobiografinya Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah , dia melakukan hal itu karena tidak ingin mengecewakan harapan orang tuanya. Setidaknya, imbuh Iwa, dia harus menunjukkan kepatuhan sebagai bukti jasa terhadap apa yang telah diberikan kedua orang tua dalam hidupnya. Dengan perasaan antipati, Iwa memulai kehidupan sebagai pelajar OSVIA. Pemuda asal Ciamis itu tinggal di asrama mahasiswa di Bandung. Sekolah yang dia masuki adalah sekolah bagi kalangan elit. Tidak semua orang bisa memasukinya. Bukannya merasa beruntung, Iwa malah tertekan dengan kondisi di sana. Keadaan OSVIA tidak menyenangkan bagi Iwa. “Cara-cara kehidupan mahasiswa tidak dapat saya terima begitu saja. Pelaksanaan perpeloncoan terhadap calon-calon mahasiswa baru tidak sesuai dengan makna perpeloncoan itu sendiri. Dalam praktiknya perpeloncoan lebih dititikberatkan pada tindakan-tindakan yang berlandaskan sentimen atau balas dendam saja,” kata Iwa. Tidak hanya itu, Iwa juga mengkritisi cara bergaul anak-anak di sekolahnya. Murid OSVIA kerap terlibat dalam persaingan dengan sekolah Belanda lain di Bandung. Mereka saling berlagak ingin terlihat lebih unggul, baik dalam penampilan maupun pelajaran. Tidak jarang hal tersebut membawa perselisihan di antara para pelajar. Iwa merasa hal itu sama sekali tidak ada gunanya dan hanya mendatangkan kerugian. Karena sudah benar-benar tidak tahan dengan lingkungan belajar di OSVIA, pada 1916 Iwa memutuskan melarikan diri dari asramanya. Bersama seorang kawan, yang memiliki pandangan dan pendirian serupa, Iwa pergi menuju rumah kakaknya di Kandanghaur, Indramayu. Dari sana, Iwa dan kawannya melanjutkan perjalanan menuju rumah kakaknya yang lain di Cirebon.  “Kami sama-sama menyadari bahwa OSVIA tidak sesuai dengan jiwa kami. Lebih dari itu, kami tidak sudi untuk menjadi alat Belanda nanti, sesudah kami tamat,” ujar Iwa. “Kami muak terhadap sikap Belanda yang sombong dan berkuasa itu, dan kami lebih muak terhadap sikap orang-orang Indonesia yang sok Belanda, lebih dari orang Belanda totok itu sendiri.” Iwa tahu jika perbuatannya itu bisa merugikan dirinya. Dia juga telah mengecewakan kedua orang tuanya yang telah berjuang memasukkannya ke sekolah pamong praja tersebut. Tetapi Iwa sudah tidak peduli lagi. Saat itu di benaknya hanya ada keinginan untuk menjauhi Bandung, dengan OSVIA yang tidak dia senangi di dalamnya. Iwa tidak ingin meneruskan hidup yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Setelah kurang lebih seminggu tinggal di Cirebon, keberadaan Iwa diketahui orang tuanya. Dia lalu disusul oleh Partadireja, guru bahasa Sundanya di OSVIA. Partadireja membujuk Iwa kembali ke Bandung. Karena bujukan manis sang guru, Iwa akhirnya setuju untuk kembali bersekolah. Kepada pihak OSVIA, kedua orang tua Iwa meminta kebijaksanaan agar mereka memaklumi kondisi Iwa yang masih sangat muda. Permohonan itu dikabulkan: Iwa tidak diberi sanksi. “Namun tetap saya tidak dapat hidup tentram serta belajar sebagaimana mestinya di OSVIA ini. Pergolakan jiwa semakin hebat dalam pribadi saya. Bagi saya, seolah-olah OSVIA merupakan penjara yang mengungkung saya, saya ingin bebas,” kata Iwa. Perasaan tidak senangnya semakin hari semakin kuat bergojak di dalam diri Iwa. Dia pun kembali memikirkan cara untuk bisa keluar dari OSVIA. Akhirnya Iwa menemukan cara baru untuk mewujudkan impiannya tersebut. Alih-alih memberontak seperti sebelumnya, dia memilih mengungkapkan seluruh isi hatinya kepada sang ayah bahwa dia tidak ingin berada di OSVIA. Sekolah pamong praja itu bertentangan dengan cita-citanya dan selama berada di sana dia sama sekali tidak merasa senang. Mendengar ucapan tersebut, kedua orang tua Iwa sangat terkejut. Mereka merasa telah menempatkan putranya di tempat terbaik yang akan mendukung masa depannya kelak. Namun setelah Iwa mengutarakan cita-cita dan keinginannya, sang ayah menerima sikap Iwa tersebut. Mereka membebaskan putranya memilih sekolah yang dikehendaki. Sekira akhir 1916, dengan persetujuan kedua orang tua, Iwa pindah ke Batavia. Dia memutuskan bersekolah di sekolah hukum, Recht School . Telah lama ilmu hukum dan sejarah menarik minat Iwa. Dia akhirnya mencurahkan seluruh kemampuannya di sekolah baru tersebut.*

  • Cerita Cinta Iwa Kusuma Sumantri

    MENDAPAT restu dari keluarga, pada 1921 Iwa Kusuma Sumantri dan Emma Puradireja “kawin gantung”, sah sebagai suami-istri tapi belum boleh hidup bersama sebelum pernikahan resmi. Namun Iwa harus melanjutkan studi ke Fakultas Hukum di Universitas Leiden, Belanda. Emma, yang juga tokoh pergerakan, mengerti keinginan dan cita-cita suaminya. Di Belanda, Iwa aktif di Perhimpunan Indonesia (PI). Ketika “front rakyat”, garis politik Komunis Internasional, menarik perhatian PI, Iwa bersama Semaun mengunjungi Moskow. Kepergian Iwa berdampak pada kehidupan pribadinya. Menduga Iwa komunis, keluarga Emma minta Iwa melepaskan ikatan perkawinan. Iwa kecewa. “Saya masih mencintainya, tetapi saya harus meluluskan permintaan tersebut,” kata Iwa dalam otobiografinya, Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah . Namun Iwa sendiri mengakui tak bisa berlagak sebagai suami setia. Dia menikmati pergaulan dengan nona-nona Belanda. Salah satunya, Mien (Wilhelmina) van Z, membuatnya jatuh hati. “Kekecewaan saya atas Emma merupakan luka di dalam hati saya. Hati saya belum memiliki kepastian apakah saya mampu berkeluarga setelah tragedi yang saya alami,” ujarnya. Pada akhir 1925, lulus dari Leiden, Iwa masuk Eastern University, semacam universitas persahabatan untuk orang-orang Timur, di Moskow. Dia sempat berpacaran dengan seorang gadis cantik Rusia asal Polandia tapi harus berakhir karena gadis itu meninggal. Dia kemudian menemukan penggantinya, gadis cantik asal Ukraina bernama Anna Ivanova, yang ditemuinya di sebuah club . Iwa Kusuma Sumantri dan anaknya, Sumira Dingli, berziarah di makam istrinya, Anna Ivanova di Rusia. (Repro Iwa Kusuma Sumantri: Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah ). Anna sangat berjasa bagi Iwa: mengenalkan kehidupan masyarakat Rusia, mengajarinya bahasa dan kesusastraan Rusia, bahkan dengan gajinya yang tak seberapa sebagai pembantu dokter dia membantu ekonomi Iwa. Pada Januari 1926, Iwa menikahi Anna. Adik Anna, Varia, kelak menikah dengan Semaun. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang dinamai Sumira Dingli –nama kedua diambil dari nama Iwa di Rusia. Setelah satu setengah tahun hidup di Rusia, dan merampungkan buku The Peasants’ Movement in Indonesia , Iwa kembali ke Indonesia pada akhir 1927. Istri dan anaknya tak bisa ikut karena kebijakan pemerintah Rusia yang melarang warganya ke luar negeri. “Dengan uang yang penghabisan, Anna mengirimkan saya kembali kepada bangsa saya,” kata Iwa. “Saya seolah-olah kehilangan sebagian dari semangat saya.” Di Indonesia, Iwa menjadi pengacara di Bandung, Jakarta, dan Medan serta aktif di sejumlah organisasi. Di Medan, Iwa tinggal di rumah pamannya, Abdul Manap. Sepupunya, seorang janda muda bernama Daru Kuraisin, juga tinggal di sana. Atas saran pamannya, Iwa menikahi Kuraisin pada Maret 1928. Kuraisin-lah yang menemani Iwa hingga ajal menjemput. “Istri saya mengikuti saya dengan rela dan setia. Seorang wanita muda yang berkorban pada suaminya yang dikarenakan penjajahan yang kejam. Saya merasa berterima kasih kepadanya karena kesetiaan dan ketabahannya selama dia menjadi teman hidup saya,” kata Iwa. Namun, Iwa tak bisa melupakan Anna dan anaknya di Rusia. Ketika menjadi rektor Universitas Padjajaran, Iwa sempat menghubungi Anna dari Peking. Anna melarangnya ke Moskow karena sedang musim dingin dan dia sedang sakit parah. Tiga tahun kemudian, ketika menjadi menteri perguruan tinggi ilmu pengetahuan, Iwa akhirnya sampai di Rusia tanpa bisa menatap wajah Anna. “Saat inilah kesempatan saya untuk bertemu dengan anak saya Mira dan keluarganya. Bersama mereka saya pergi ke kuburan Anna,” kata Iwa. “Anna telah melakukan tugasnya sebagai seorang ibu yang berbudi luhur.”*

  • Terpikat Padi Ajaib

    MUSIM kering 1966, S.K. De Datta, seorang agronomis muda India yang bergabung dengan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI), melakukan ujicoba penanaman IR8 dengan kondisi pupuk yang berbeda. Ketika panen, De Datta terkagum-kagum karena IR8 menghasilkan sekira 5 ton per hektar tanpa pupuk dan hampir 10 ton dengan 120 kg nitrogen per hektar. Padahal hasil rata-rata di Filipina kala itu hanya sekitar 1 ton per hektar. Dia kemudian menunjukkan data itu kepada Henry Beachell, kepala pemuliaan padi IRRI, yang langsung mengajaknya menemui Robert Candler, direktur IRRI.

  • Terbentuknya Perusahaan Negara

    AWAL 1957, untuk kali kedua Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja meminta Kolonel Soeprayogi membantunya mengatasi masalah kekacauan ekonomi. Soeprayogi tak memberi jawaban. Selain karena sedang bekerja dalam Panitia Finek (Finansial dan Ekonomi) Markas Besar Angkatan Darat, dia juga menerima kabar akan diangkat sebagai sekretaris jenderal Kementerian Perdagangan jika Sultan Hamengkubuwono IX menjadi menteri perdagangan.

  • Riwayat Rendang Merantau ke Belanda

    PADA suatu hari di musim panas, saya menemukan makanan kemasan menarik bertulisan ‘Indisch Rendang Padang’ pada sebuah supermarket di Amsterdam. Tapi ini bukan rendang sembarang rendang. Rendang ini memang dijual lengkap dengan nasi, namun pada gambar di kemasannya tidak ada daun singkong, pasangan rendang di warung Padang. Yang ada malah brokoli sebagai sejoli. Bagaimana bisa rendang di Belanda bisa berbeda dengan yang disajikan di Ranah Minang maupun di berbagai restoran padang di Indonesia? Pertanyaan terpenting: Sejak kapan rendang ‘merantau’ ke Belanda dan bagaimana ia menyebar?

bottom of page