top of page

Hasil pencarian

9600 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • From West to East: Soebandrio’s Diplomatic Journey

    The city of London felt cold that day, on the first day of November 1950. At least that was how Ganis Harsono felt after arriving from his long journey from Jakarta. At the Indonesian embassy building on Rutland Gate, Kensington, Ganis met with the Indonesian ambassador to the United Kingdom in connection with his appointment as press attaché at the Indonesian embassy. Like the cold London air, Ganis recalled that the meeting felt stiff and unfriendly.

  • Tri Ramidjo, Kecil di Digoel, Muda di Buru

    RUMAH berpagar kuning itu terletak berhadapan dengan lapangan serbaguna di sebuah perumahan di bilangan Kunciran, Tanggerang. Gerbang pagar setinggi dada orang dewasa itu segera dibuka setelah beberapa kali terucap salam. Seorang pria senja berkemeja putih dan bercelana panjang batik tampak berdiri di pintu menyambut dengan senyum dikulum. Tangan kirinya berpegangan pada tembok, menopang tubuh rentanya. “Tangan kanan saya kena stroke, tak bisa lagi digerakkan. Silahkan masuk,” katanya mempersilahkan. Dia pun menyeret langkahnya untuk duduk di kursi.

  • Apakah Aidit Seorang Perokok?

    APAKAH Ketua CC Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit merokok? Pertanyaan ini menjadi sangat problematis ketika ia disangkutpautkan dengan film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noor yang sempat jadi tontonan wajib di era Orde Baru dan tetap jadi kontroversi hingga hari ini. Mengapa problematis? Karena jawaban atas pertanyaan itu selalu pula dihubungkan dengan kecenderungan rujukan politik seseorang serta cara pandangnya terhadap peristiwa G30S 1965.

  • Drama Penangkapan D.N. Aidit

    D.N. Aidit jadi buronan setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) itu dianggap sebagai dalang intelektual di balik gerakan makar tersebut. Untuk memburu Aidit, pihak Angkatan Darat menggelar operasi intelijen. Pengejaran berlangsung sampai ke Jawa Tengah dipimpin oleh Kolonel Jasir Hadibroto, Komandan Brigade Infantri IV Kostrad. “Pasukan saya ditarik dari Kisaran, Sumatra Utara. Kami tidak jadi menyerbu Malaysia, tetapi dialihkan ke Jawa Tengah untuk melakukan pengejaran sisa-sisa oknum G30S,” ujar Jasir dalam harian Kompas , 5 Oktober 1980. Dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang , wartawan senior Julius Pour mencatat, hanya dalam tiga minggu, tim intelijen Brigif IV berhasil melacak jejak Aidit. Sampai akhirnya masuk laporan berkualifikasi A-1, terjamin kebenarannya. Bahwa pada 21 November 1965, persembunyian Aidit pindah dari Kletjo, di bagian barat kota Solo, ke Sambeng. Sesudah menerima info tersebut, jaring-jaring perangkap mulai ditebar pasukannya di Kampung Sambeng, sekitar 300 meter dari Stasiun Kereta Api Solo Balapan. “Sekitar pukul 21.00, setelah rumah sasaran dikepung rapat, Letnan II (Inf.) Ning Prajitno bersama anak buahnya mendobrak persembunyian Aidit,” tulis Julius Pour. Sewaktu rumah persembunyian Aidit didobrak dan digeledah ternyata kosong tidak berpenghuni. Dalam penyisiran nampak sebuah kaca mata baca tergeletak di meja tetapi pemiliknya tidak ditemukan. Namun, ketika seorang prajurit bernama Kosim menggeser lemari makan, ditemukanlah pintu darurat menuju kamar rahasia. Dalam ruangan tersebut terdapat lemari pakaian. Majalah terbitan Pusat Sejarah ABRI, Senakatha , No. 13, Januari 1992 mengisahkan drama yang cukup unik dalam upaya meringkus Aidit. Prajurit yang membuka lemari pakaian itu terperanjat kaget begitu mendapati sesosok manusia. Soalnya, ada pakaian gantung yang bergerak-gerak seirama gerak napas seseorang. Rupanya Aidit bersembunyi dalam bilik lemari pakaian. Dia berdiri di balik pakaian gantung. Dengan sigap, sang prajurit menyingkap baju panjang tersebut dengan posisi siap tembak. Terjalinlah percakapan singkat antara Aidit dan prajurit. “Angkat tangan… Keluar dan menyerah!” perintah si prajurit. “Ya… Kamu tahu saya Aidit?" ujar orang tersebut “Baik… Bapak sekarang saya tangkap,” jawab prajurit. Aidit coba menggertak: “Nanti dulu. Saya ini Menko. Kamu tidak berhak menangkap saya.” Si prajurit mulai habis kesabaran. “ Mengko ? Apa…? Saiki! ” katanya seraya menyeret Aidit. Rupanya si prajurit salah dengar. Ucapan Menko yang dimaksud Aidit adalah jabatannya dalam pemerintahan sebagai Menteri Koordinator. Sementara itu, sang prajurit yang berasal dari Kartosuro ini menafsirkannya sebagai “ mengko ” yang dalam bahasa Jawa berarti nanti. “Maka dengan spontan dijawabnya dengan “ saiki ” yang artinya sekarang. Ada-ada saja,” tulis Senakatha . Menurut Julius Pour adalah Letnan Prajitno yang memerintahkan Aidit mengangkat tangannya dan keluar dari persembunyian. Setelah Aidit ditemukan, Prajitno memerintahkan Sersan Idit Sukardi mengikat tangan Aidit. Dengan tertangkapnya Aidit, mereka bersiap untuk menghadapkannya kepada sang komandan, Kolonel Jasir Hadibroto.*

  • Yang Kita Lupakan dalam Peringatan Hari Pahlawan

    UNTUK menjadi sebuah bangsa, orang-orang butuh disatukan. Dalam Kongres Pemuda I, seperti yang kita tahu, Tabrani ngotot  agar Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan, bukannya bahasa Melayu seperti usulan Yamin. Kenyataannya, saat itu belum ada yang namanya Bahasa Indonesia. Tapi toh  bahasa itu diciptakan untuk memberikan identitas, untuk membedakan antara “kita” dan “mereka” untuk mempersatukan.

  • Unicorn dari Asia Tenggara

    BADAK jawa ( Rhinoceros sondaicus ), atau kadang disebut badak cula satu, adalah salah satu mamalia yang paling terancam punah. Habitatnya kini hanya tersisa di Ujung Kulon, area konservasi di ujung barat Pulau Jawa. Mereka hidup liar di hutan-hutan yang lebat dan dijaga dari perburuan. Namun, mereka terus diintai kepunahan.

  • Senjakala Partai Murba

    KENDATI harus mulai dari nol, Ketua Umum Partai Murba Sukarni tetap optimis partainya bisa kembali berbenah dan berbicara banyak dalam Pemilu 1971. Untuk itu, Sukarni merangkul Partai Indonesia (Partindo); pecahan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), berhaluan kiri, dan ditindas pasca-1965. Bahkan sejumlah tokoh kawakannya seperti Ibrahim Yacoob alias Iskandar Kamel dan Djon Pakan ditempatkan dalam jajaran pimpinan Murba.

  • Potret Jakarta Setengah Abad Berselang

    YURI Melnik, pria paruh baya asal Uni Soviet, berjalan menyusuri jalanan Jakarta sambil menenteng kamera Canon Canonet QL19. Melihat Patung Dirgantara, dia berhenti sejenak, mengarahkan kameranya, lalu memotret. Saat itu sekira pertengahan 1960. Lalu lintas Jakarta masih lengang. Tak terlihat antrean kendaraan yang mengular seperti sekarang.

  • Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia

    KETIKA bertugas sebagai dokter di Kediri, R. Kodijat merasa prihatin menyaksikan keadaan masyarakat sekitar. Banyak orang terjangkit penyakit frambusia atau patek. Penyakit ini memang tak menyebabkan kematian tapi sangat berbahaya. Menimbulkan luka-luka atau koreng yang berbentuk seperti buah frambos. Luka dapat membesar dan menyebar yang menyebabkan cacat pada anggota tubuh. Agar sembuh, penderita dikumpulkan di satu tempat untuk mendapatkan suntikan neosalvarsan. Tak cukup sekali tapi beberapa kali. Masalahnya, tak banyak orang punya cukup uang untuk berobat. Melihat keadaan itu, Kodijat tak bisa tinggal diam. Dia tak mau menunggu pasien datang untuk berobat tapi mendatangi mereka untuk melakukan penyuntikan secara cuma-cuma.

  • Okra Menjalin Kerjasama Budaya

    PARTAI Murba memiliki organisasi kebudayaan bernama Organisasi Kebudayaan Rakyat (Okra). Tak ada informasi yang menyebut tentang kelahiran ormas ini, aktivitas, dan tokoh-tokohnya. Sejarawan Harry A. Poeze juga tak mengulasnya.

  • Nurnaningsih yang Tersisih

    USMAR Ismail, sutradara terkemuka Indonesia, membuka satu per satu surat lamaran yang masuk ke kantor Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Sebuah surat lamaran yang tak lazim membuatnya tertarik. Pengirimnya seorang perempuan biasa, bukan artis film. Yang bikin dia kaget, ada darah mengering di surat lamaran itu. Si pengirim juga bukan hanya melampirkan satu pas foto ukuran 4 x 6. Usmar merasa, perempuan cantik di pas foto itu sungguh-sungguh ingin tampil di layar lebar.

  • Murba Hidup Lalu Redup

    DI Istana Bogor, akhir Mei 1966, Presiden Sukarno menerima delegasi Partai Murba. Delegasi terdiri dari Wasid Suwarto, Maroeto Nitimihardjo, Bambang Singgih, Prijono, Anwar Bey, dan J.B. Andries. Dalam pertemuan kedua setelah pembubaran Partai Murba ini, Sukarno menyatakan akan mempertimbangkan rehabilitasi Partai Murba.

bottom of page