Hasil pencarian
9602 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Aksi Poncke Princen di Hardjasari
GEDUNG tua itu terlihat sangat suram. Warnanya yang kelabu semakin seram dengan kehadiran ilalang dan pepohonan liar di halamannya. Sarang laba-laba memenuhi setiap sudut gedung yang terletak di selatan Cianjur itu, hanya sekira 1 km dari Stasiun Lampegan.
- Ulah Pasukan Poncke Princen di Sukaraja
SAAT Jawa Barat masih jadi daerah pendudukan tentara Belanda, pada Senin malam (4 April mejelang 5 April 1949), pos polisi Sukaradja yang terletak di jalan utama menuju Cianjur, sekitar 5 km sebelah timur Sukabumi, kedatangan tamu. Para anggota polisi di kantor itu adalah orang-orang pribumi juga meski bekerja untuk pemerintahan NICA. Tamu para polisi itu lelaki berseragam tentara kolonial –yang anggotanya kebanyakan orang bumiputra juga– Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL). Sejatinya KNIL juga satu kubu dengan polisi di pos Sukaraja tersebut.
- Dirgahayu, Poncke!
HARI ini dalam sejarah, H.J.C. Princen berulang tahun. Dia lahir pada 21 November 1925 di Den Haag, Belanda. Jika dia masih ada di tengah kita, usia lelaki yang akrab dipanggil Poncke itu sudah mencapai angka 94. Namun nyatanya Poncke sudah pergi sejak 22 Februari 2002 dan sekarang jasadnya bersemayam di Taman Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur, tempat yang dia pilih sendiri untuk beristirahat panjang. Poncke sebenarnya sangat bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tahun 1949, Presiden Sukarno telah menganugerahinya Bintang Gerilya dan itu memberinya hak untuk dimakakamkan di “tempat yang terhormat” tersebut. Tapi sejak awal, Poncke telah menolaknya. “Papah pernah bilang ingin dimakamkan sebagai orang biasa saja dan tidak di TMP Kalibata yang dia bilang banyak koruptornya,” ungkap Wilanda Princen suatu hari kepada saya. Saya percaya Poncke pernah mengatakan itu. Sebagai pejuang kemanusiaan yang hampir tiap waktu bertempur melawan kesewenang-wenangan, hal-hal yang terkait dengan heroisme baginya sudah selesai. Tak ada sikap pamrih seperti dimiliki sebagian besar para politisi kita hari ini. Karakter dan prinsipnya sangat jelas. “Dia orang yang setia kepada hatinurani dan rakyat tertindas,” ujar Y.B. Mangunwijaya alias Romo Mangun dalam Gerilya yang Tak Pernah Selesai . Romo Mangun tentunya tidak sembarang meyebut Poncke seperti itu. Tapi saya yakin, dia tidak memiliki kalimat lain untuk melukiskan seorang lelaki Belanda yang “nekad” berpihak kepada “kaum ekstrimis” yang dimusuhi negaranya hanya karena soal kemanusiaan. Padahal bila mau, (seperti puluhan ribu serdadu Belanda lainnya saat itu) bisa saja Poncke berdalih bahwa dia hanya eksekutor dari para jenderal semata. Tapi toh itu tidak dilakukannya. “Aku pernah menjadi bagian suatu negara yang ditindas oleh para fasis Jerman, apakah aku harus berlaku sama seperti para penindas itu kala berhadapan dengan orang-orang Indonesia yang ingin merdeka?” kata Poncke saat saya wawancarai pada 1996. Desember 1948, Poncke secara resmi membelot ke kubu Republik. Ia lantas bergabung dengan Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi dan ikut melakukan long march dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Bersama sekira seribu prajurit (ditambah para perempuan dan anak-anak), dia berjalan dari hari ke hari hampir dalam waktu dua bulan lamanya menyusuri kaki gunung, hutan, sawah dan sungai. Masih segar dalam ingatan Poncke, saat mereka tengah berjalan tertatih-tatih dalam suatu barisan panjang, kerap kali pesawat-pesawat tempur militer Belanda menghujani mereka dengan peluru dan bom. Dia harus menjadi saksi semua hal buruk yang ditimbulkan oleh saudara-saudara sebangsanya: orang-orang terluka karena bom, anak-anak stres karena ketakutan dan para istri yang menangis karena kehilangan suami. “Omong kosong, kalau itu semua tidak membuatku semakin terikat dalam satu nasib dan satu penderitaan dengan mereka!” ujarnya seperti dikutip oleh penulis Joyce van Fenema dalam Kemerdekaan Memilih . Bisa jadi, pengalaman itu pula yang menjadikan Poncke selalu memilih posisi bersama rakyat tertindas dan bersebrangan dengan pihak penguasa. Baginya kemanusiaan melebihi semua ideologi yang dimiliki manusia termasuk nasionalisme. Setelah keluar masuk penjara karena kerap berbeda pendapat dengan pemerintah Sukarno, pada awal 1969, Poncke lagi-lagi memerahkan kuping penguasa. Kali ini rezim Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto yang menjadi sasarannya. Saat itu, di hadapan pers, Poncke membongkar pembunuhan ratusan anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Purwodadi. Rezim Orde Baru murka. Mereka menyebut berita itu disebarkan oleh seorang “komunis kesiangan”. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, Gubernur Jawa Tengah Moenadi menuduh Poncke sebagai anggota Partai Komunis Belanda. Sebuah tuduhan yang tentu saja sangat ngawur. Sudah pasti Poncke tak pernah peduli dengan semua tuduhan tersebut. Bahkan saat dia dikecam sebagai “sekali pengkhianat tetap pengkhianat” oleh Ali Said (Ketua Komnas HAM) karena pembelaanya kepada para aktivis pro kemerdekaan Timor Leste, Poncke tetap setia dengan jalan oposisi-nya. Poncke memang manusia yang jarang dilahirkan oleh zaman. Saya pikir, hingga kini tak banyak orang seperti dia lagi. Kendati begitu banyak hal yang bisa diteladani darinya, orang-orang hari ini agaknya tidak akan seberani dia lagi ketika harus memilih jalan. Dirgahayu, Poncke!*
- Seolah Menginap di Rumah Sendiri
MALAM kian larut. Namun, suasana di Jalan Jaksa di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, masih ramai. Para pelancong mancanegara memenuhi kafe dan kedai, yang berjejer di kiri-kanan jalan sepanjang 400 meter itu. Banyaknya penginapan murah di kawasan ini menjadikan Jalan Jaksa sebagai tempat favorit turis-turis remaja berkantong cekak dan backpacker .
- KNILM, Maskapai yang Lekas Mati
KERAMAIAN memenuhi Lapangan Udara Tjililitan, Batavia (kini Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta). Penduduk berjubel. Di bawah tarup sederhana, sejumlah tokoh penting hadir. Di hadapan mereka, dua pesawat Fokker terparkir rapi.
- Hikayat Pare Ageung
SUDAH sepuluh tahun terakhir ini Dinda Saputra (45), seorang pengusaha material di Depok, dan keluarga rutin mengkonsumsi nasi dari beras Cianjur. Selain bersih dan wangi, rasa nasinya pulen. “Tapi ya harganya lumayan mahal dan langka juga. Saya sendiri dapat barang itu karena dikirimi langsung dari seorang petani organik di Cianjur,” ujar Dinda.
- Ini Roman Medan, Bung!
BAHKAN, kendati baru berusia 19 tahun, Dali Moetiara mahir memainkan kata-kata. “Tjantik roepawan kau Wina,” goda Anwar. “Djelita laksana remboelan.” “Hm!” Wina tersipu.
- Ketika Polisi Tampil di Televisi
SOROTAN kamera mengarah pada seorang anggota polisi yang sedang berbincang melalui saluran telepon genggam. Terdengar percakapan dari telepon dengan mode pengeras suara.
- Menghidupkan Mooi Banten
BANTEN LAMA memiliki arti penting bagi Negeri Belanda. Dalam buku catatan perjalanannya, Neêrlands-Oost-Indië (1867), Menteri Belanda Steven Adriaan Buddingh menyebut situs Oud-Bantam (Banten Lama) melambangkan “kepemilikan pertama kami di Jawa” yang “penuh kenangan indah”.
- The Glorious Days of the Banten Sultanate
IT wasn't even noon yet, but the heat was already stifling. A gate welcomed us with the words “Welcome to Banten Lama Tourist Attraction”. Once upon a time, perhaps a welcome gate existed at the dock, welcoming migrants and traders who stopped by Banten Bay. In its time, Old Banten was a world-class trading port, one of the largest in the history of Nusantara. However, that prestige later vanished.
- Mengembalikan Pesona Banten Lama
HARI itu sepi peziarah. Masjid Agung Banten hanya diisi jamaah pengajian rutin. Pintu menaranya pun ditutup. Toh keramaian tak pernah lenyap. Ratusan pedagang kaki lima (PKL) berjejal mendirikan lapak terpal di sekeliling kompleks masjid, berimpitan memutari pagar alun-alun.
- Lima Generasi Mengabdi di Istana
LAZIMNYA di banyak kediaman pejabat atau orang penting, bidang-bidang tembok ruang tamu mereka berhias medali atau piagam penghargaan. Namun bukan itu yang jadi kebanggaan Endang Sumitra yang acap dijuluki “Kuncen Istana Bogor”. Ia lebih bangga menghiasi ruang tamu kediamannya di Bantarjati, Bogor dengan foto-foto kebersamaannya dengan enam Presiden Republik Indonesia –dari Soeharto hingga Joko Widodo– selama ia mengabdi di Istana Bogor.





















