top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Romusha di Seberang Lautan

    BANJARNEGARA, Jawa Tengah, 1943. Karja Wiredja meninggalkan desanya, Madukara. Bersama ribuan romusha lainnya, Karja menjadi tenaga kerja kasar di Thailand. Di sana dia menjadi mandor pada proyek pembangunan jalan kereta api Nong Pla Duk (Thailand)-Thanbyuzayet (Burma, kini Myanmar) sepanjang 415 km. Untuk hasil kerjanya, Karja mendapat dua sen per hari.

  • Guru Besar Itu Bernama Mamdani

    IBARAT butterfly effect , kemenangan Zohran Kwame Mamdani di Pemilihan Walikota New York 2025 berimbas lintas benua dari Amerika Serikat ke Asia. Indonesia bahkan masyarakatnya via aneka platform media sosial mensyukuri kemenangannya di tengah gencarnya Islamofobia, diskriminasi, dan rasisme yang kembali terjadi. Zohran sebagai calon walikota dengan latar belakang minoritas bisa unggul dari dua lawannya yang di- endorse penguasa dan oligarki. Dengan program-programnya yang “sosialis” dan merakyat dan cara-caranya yang unik ketika menghadapi black campaign yang berbau Islamofobia dari lawan-lawannya, Zohran menuai suksesnya. Pada pemilihan walikota di kota keuangan di Amerika pada Rabu (4/11/2025), hasilnya Zohran mendapatkan 1.036.051 suara (50,4 persen), membawahkan Andrew Cuomo sebagai calon independen (dengan 854.995 suara atau 41,6 persen) dan Curtis Sliwa dari Partai Republik (146.137 suara atau 7,1 persen). Maka jadilah Zohran walikota New York terpilih. Ia akan dilantik pada 1 Januari 2026. Zohran menjadi walikota New York pertama keturunan India dan beragama Islam. Di usia 34 tahun, ia juga tercatat jadi walikota New York termuda kedua setelah Hugh John Grant –juga dari Partai Demokrat– pada 1889-1892 yang kala itu berusia 30 tahun. Pada pidato kemenangannya, Zohran berterima kasih atas dukungan keluarganya. Juga kepada Rama Duwaji, seorang aktivis dan sineas animasi keturunan Suriah, lalu kepada warga New York terutama –keturunan imigran Amerika Selatan, Afrika, Arab, dan Asia Barat yang notabene warga kelas pekerja dari sopir taksi, koki hingga perawat– atas kepercayaan mereka. “Seperti yang biasa kami katakan di (Jalan) Steinway, ana minkum wa ilaykum (aku untukmu dan hanya untukmu). Berdiri di hadapan kalian, saya memikirkan kata-kata Jawaharlal Nehru: ‘Sebuah momen yang jarang terjadi dalam sejarah datang ketika kita melangkah dari masa lalu ke masa depan, ketika sebuah era berakhir, dan ketika jiwa dari sebuah negeri yang telah lama tertindas menemukan suaranya,” seru Zohran Mamdani dalam penggalan pidatonya, dilansir The Guardian , Kamis (5/11/2025). Ayah Zohran dan Pemikirannya soal Afrika Pasca-Kolonialisme Zohran Kwame Mamdani lahir di Kampala, Uganda pada 18 Oktober 1991. Ia lahir sebagai anak tunggal pasangan suami-istri India, Mira Nair –yang seorang Hindu Punjab– dan Mahmood Mamdani– seorang muslim Gujarat. Nama tengahnya, Kwame, diambil dari tokoh Ghana yang dikagumi ayahnya, Kwame Nkrumah. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Mira seorang sineas sebagaimana Rama, istri Zohran. Sedangkan Mahmood Mamdani seorang akademisi, sejarawan, dan antropolog dengan bidang studi Afrikana, sebagaimana juga putranya yang sarjana bidang studi serupa. Bedanya Zohran kemudian memilih jalan sebagai aktivis dan politikus, sementara Prof. Mahmood Mamdani tetap di jalan akademik sebagai guru besar besar di Departemen Antropologi, Columbia University. “Mahmood Mamdani seorang akademisi Afrika terkemuka yang karya-karyanya sangat berpengaruh terhadap sejumlah studi akademik. Ia berkewarganegaraan Uganda berdarah India. Lahir di Mumbai, India pada (23 April) 1946 namun dibesarkan dan sekolah di Uganda,” tulis Meike de Goede dalam An Analysis of Mahmood Mamdani’s Citizen and Subject. Mamdani dibesarkan di Uganda sebagai anak diaspora India, di masa Uganda masih “dibekap” segregasi rasial. Namun ia cukup beruntung bisa sekolah tinggi karena jadi salah satu dari 23 siswa Uganda penerima beasiswa program “Kennedy Airlift” pada 1963, untuk kemudian makan bangku kuliah di Program Studi (Prodi) Ilmu Politik di University of Pittsburgh. Sedangkan gelar masternya diperoleh setelah kuliah lagi di Tufts University pada 1968. Mamdani sempat balik ke Uganda pada 1972 dan mengajar sebagai asisten dosen di Makerere University, sembari mencari bahan penelitian untuk program doktoralnya. Sialnya baru beberapa bulan, ia dan para diaspora India lainnya diusir oleh diktator Uganda, Idi Amin. Dekrit itu datang tepatnya pada 4 Agustus 1972, di mana Idi Amin memberikan waktu sampai 90 hari agar diaspora India, Pakistan, dan Bangladesh untuk angkat kaki karena dianggap mensabotase ekonomi Uganda dan menyebarkan korupsi. Inggris dituntut Idi Amin untuk bertanggungjawab, mengingat mereka pula yang membawa para pendatang itu ke Uganda. Maka ke Inggris pula Mamdani dan sekitar 23 ribu orang India mengungsi ke kamp pengungsian di Kensington, Inggris. Setidaknya sebagai akademisi, Mamdani bisa “balik” ke Afrika, tepatnya ke Tanzania untuk mengajar di University of Dar es Salaam, sembari menyusun disertasinya. Ia lantas memperdalam lagi studi kolonialisme, anti-kolonialisme, dan dekolonisasi hingga akhirnya mendapat gelar PhD di Harvard University pada 1974 lewat disertasinya, Politics and Class Formation in Uganda , di bawah bimbingan langsung Prof. Karl Deutsch. Mamdani baru benar-benar kembali ke Uganda pada 1986 setelah pemerintahan Presiden Milton Obote berakhir. Sejak saat itu Mamdani tidak hanya mengajar namun juga melahirkan banyak karya untuk menuangkan pemikirannya tentang situasi dan aneka konflik di Afrika pasca-kolonialisme. Dari beberapa karyanya, nama Mamdani melejit jadi akademisi antropologi yang diperhitungkan dunia lewat buku Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism (1996). Sederhananya, Mamdani menganalisa mengapa banyak negara-negara Afrika terbilang gagal dalam pemerintahannya hingga menimbulkan banyak konflik dan perang saudara lewat kacamata historis dan warisan kolonialisme. “Mamdani juga menganalisa banyak argumen tentang sumber masalah-masalahnya, menarik implikasi-implikasi dan asumsi-asumsi tersembunyi untuk memuluskan visi barunya yang kreatif tentang bagaimana mengatasi halangan-halangan demokratisasi di Afrika. Lewat analisisnya yang padat dan brilian tentang warisan alami kolonialisme di Afrika, karya Mamdani itu masih jadi referensi berpengaruh sampai hari ini,” sambung De Goede. Dalam Citizen and Subject , Mamdani menggali analisis dengan studi-studi lapangan di Uganda hingga Afrika Selatan. Bahwa kegagalan demokratisasi di negara-negara Afrika bukan semata karena ketidakmampuan orang-orang Afrika dalam memerintah secara fundamental namun juga sangat dipengaruhi akar-akar kolonialisme dari masa lalu. Di salah satu identifikasinya, Mamdani menguak problem utamanya adalah terputusnya kehidupan masyarakat urban dan pedalaman, hasil dari warisan kolonial yang punya kebijakan yang berbeda di dua area itu: pemerintahan kolonial dengan hukum modern di area-area urban, sementara di area-area pedalaman kolonial seperti butuh perantara otoritas tradisional dan hukum-hukum adat sesuai adat-istiadatnya masing-masing. Menjadi menarik karena Mamdani juga sedikit-banyak kembali membahas soal hukum adat dalam karyanya yang lain, Define and Rule: Native as Political Identity (2012). Dalam bukunya itu, sedikit banyak ia mengambil contoh tentang mulanya hukum adat di Indonesia pada era kolonial Hindia Belanda. Mamdani menganalisa karya orientalis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, The Achehnese (1906) dan menganalisa “jasa” antropolog Cornelis van Vollehoven yang merumuskan hukum adat lewat semacam kitab kecil hukum adat, Het adatrecht van Nederlandsch-Indië (1918). Hal itu turut ditiru di koloni-koloni Prancis di Afrika Utara. “Snouck Hurgronje pada 1931 juga pernah menyampaikan saran kepada pemerintah Prancis tentang menyalurkan hukum adat masyarakat Berber. Sementara di Indonesia, di Vollenhoven menyelesaikan apa yang diawali Hurgronje, begitu juga (sosiolog) Jacques Berque yang pada akhirnya menyelesaikan implementasi hukum adat Berber di Maroko,” tulis Mamdani dalam bukunya itu. “Hurgonje melihat pengaruh historis eksternal dan menengok ke belakang sejauh mungkin untuk melihat sejarah untuk memisahkan (pengaruh) eksternal dan internal atas nama mendefinisikan, memulihkan, dan melestarikan tradisi. Pada akhirnya, pemerintahan Hindia (Belanda) dijalankan melalui hukum terpisah bagi orang-orang Eropa, Timur Asing, dan pribumi; sistem yang terus diterapkan sampai Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945.”*

  • Dari BBS hingga Facebook

    JIKA saja salah satu badai salju terbesar tak terjadi di Chicago pada Januari 1978, mungkin saat ini kita belum bisa berasyik-asyik mengomentari status terbaru dari teman di salah satu situs jejaring sosial.

  • Mamdani di Persimpangan Kiri Jalan

    WALIKOTA terpilih New York, Zohran Mamdani, bakal menyambangi Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Gedung Putih, Washington DC. Pertemuan keduanya dijadwalkan hari ini, Jumat (21/11/2025) waktu setempat. Agendanya dikonfirmasi langsung oleh Presiden Trump. “Walikota komunis New York, Zohran ‘Kwame’ Mamdani, sudah meminta sebuah pertemuan. Kami telah menyetujui pertemuannya akan berlangsung di Oval Office (kantor kepresidenan) pada Jumat, 21 November. Detail lebih jauh akan disampaikan selanjutnya!,” ungkapnya di laman media sosial Truth-nya, @realDonaldTrump , Kamis (20/11/2025). Itu bukan kali pertama Trump melabeli Mamdani sebagai komunis. Pada 5 November 2025 atau sehari pasca-pemilihan walikota New York 2025 yang dimenangi Mamdani yang disokong Partai Demokrat, Trump menyatakan kota Miami di Florida akan jadi tempat pelarian orang-orang komunis di kota New York. Meski sebelumnya diserbu propaganda berbau Islamofobia oleh lawan-lawan politiknya dan kini dicap komunis, Mamdani tetap jadi harapan baru bagi mayoritas warga kota berjuluk “Big Apple” tersebut. Bahkan pada pidato kemenangannya pada hari yang sama, 5 November 2025, Mamdani dengan berani dan lantang menantang Trump. “Ini bukan semata soal bagaimana kita menghentikan Trump; ini soal bagaimana kita menghentikan (Trump) berikutnya. Jadi, Donald Trump, karena saya tahu Anda menyaksikan, saya punya empat kata untuk Anda: Naikkan volume suaranya...kami akan mengakhiri budaya korupsi yang membolehkan miliuner seperti Trump menghindari pajak dan mengeksploitasi pengurangan pajak. Kami akan berdiri bersama serikat-serikat dan memperluas perlindungan para pekerja. Jadi dengarlah, Presiden Trump, ketika saya mengatakan ini: untuk bisa menghadapi salah satu dari kami, Anda harus menghadapi kami semua,” seru Mamdani. Sejatinya, sosok kelahiran Kampala, Uganda, 18 Oktober 1991 itu menolak disebut komunis. Meski sama-sama di “kiri jalan”, Mamdani lebih mendeskripsikan dirinya sebagai sosialis demokrat. Oleh karenanya ia punya segudang kritik terhadap oligarki dan kapitalisme. “Pada akhirnya, mengapa saya menyebut diri saya seorang sosialis demokrat adalah karena kata-kata Dr. King (aktivis HAM Martin Luther King Jr., red. ) beberapa dekade lalu. Ia mengatakan, sebutlah demokrasi atau sebutlah sosialisme demokratis. Masih ada pemerataan kemakmuran yang lebih baik bagi semua anak-anak Tuhan di negeri ini,” kata Mamdani ketika diwawancara penyiar CNN , Erin Burnett, 26 Juni 2025 lalu. Meski begitu, Zohran Mamdani tidak fanatik buta pada pandangan-pandangan kiri. Ia tetap berusaha merelevansikan filosofi-filosofinya untuk menjaring banyak keresahan warga New York, utamanya mereka yang berasal dari golongan kelas pekerja. Ayahnya yang guru besar antropologi, Prof. Mahmood Mamdani, pun demikian meski di masa mudanya pada 1960-an Mahmood pernah ikut-ikutan protes anti-diskriminasi bersama para aktivis Student Nonviolent Coordinating Comittee (SNCC). Mahmood jelas mempelajari sosok Karl Marx, si “Bapak Komunisme Modern”, berkat biro investigasi federal Amerika FBI. Prof. Mahmood Mamdani, ayah dari Zohran Kwame Mamdani ( unisa.ac.za ) Mahmood Membaca Karl Marx Suatu hari di Pittsburgh medio 1965, Mahmood muda bersama seorang rekan mahasiswa begitu terkesan ketika tak sengaja mendengar pidato dan membaca pamflet yang disebarkan serikat pelajar dan SNCC dekat kampusnya, University of Pittsburgh. Kebetulan hari itu rombongan aktivis SNCC hendak berangkat dengan bus ke Montgomery, Alabama dalam rangka perjuangan solidaritas anti-segregasi dan anti-diskriminasi. Tanpa ragu, Mahmood yang belum paham sepenuhnya justru tertarik untuk ikut. Ia baru memperdalam inti-inti perjuangan SNCC dalam perjalanan di dalam bus menuju Montgomery. Ia bahkan sukses sampai ke Montgomery dan sempat mendengarkan pidato Martin Luther King. Akan tetapi setelahnya ketika mereka hendak long march ke pusat kota, mereka dihadang barisan polisi berkuda dan banyak yang ditangkapi, termasuk Mahmood. Di penjara, para aktivis setidaknya diizinkan sekali melakukan panggilan telefon. Mahmood memilih mengontak Duta Besar Uganda untuk Amerika Serikat, Olcott Hawthorne Deming, mengingat ia masih warga negara Uganda yang tengah kuliah di Amerika. “Buat apa Anda ikut campur urusan dalam negeri di negara asing?” ketus sang dubes di ujung telefon. “Ini bukan urusan negeri asing semata. Apa Anda lupa bahwa kita juga baru meraih kemerdekaan beberapa tahun lalu? Ini perjuangan yang sama, demi kebebasan,” jawab Mahmood. Begitu setidaknya yang diingat Mahmood dan ia tuangkan dalam salah satu bukunya, Slow Poison: Idi Amin, Yoweri Museveni, and the Making of the Ugandan State. Meski sang dubes jengkel, setidaknya malam itu juga Mahmood dibebaskan. Namun masalah tak berhenti sampai di situ. Dua bulan pasca-dibebaskan dan kembali ke Pittsburgh, dua agen FBI menyatroni kediamannya. Apa yang sering dilihatnya di film-film terjadi di hadapannya: agen FBI mengenakan mantel menunjukkan lencananya pada Mahmood. Setelah pertanyaan-pertanyaan basa-basi, tetiba saja ditanyakan perihal sosok Karl Marx. “Bagaimana menurut Anda tentang Marx?” tanya seorang agen FBI. “Saya belum pernah bertemu dengannya,” jawab Mahmood. “Dia sudah mati,” lanjut sang agen FBI. “Saya turut belasungkawa, apa yang menyebabkannya meninggal?” Mahmood bertanya balik. “Bukan, maksudnya dia sudah lama matinya,” timpal agen FBI. “Lalu kenapa Anda menanyakannya pada saya?” cetus Mahmood lagi. “Marx percaya bahwa kekayaan orang-orang kaya harus diambiol dan dibagikan kepada orang-orang miskin,” terang dua agen FBI. “Kedengarannya itu ide yang bagus,” celetuk Mahmood. Yang terjadi adalah suasana canggung. Karena meskipun pernah punya catatan dipenjara akibat ikut unjuk rasa bersama SNCC, mahasiwa asing asal Uganda berdarah India itu bukan mahasiswa apalagi aktivis komunis. Mahmood justru pertamakali mengenalnya dari dua agen FBI itu. “Setelah perbincangan itu, mereka pergi. Itu bukan akhir cerita. Setelahnya saya ke perpustakaan dan mencari (karya-karya) Marx. Kemudian saya jadi terkenang: FBI memperkenalkan saya pada Karl Marx! Itu di tahun 1965. Itu menjadi pintu masuk saya untuk lebih mengenal gerakan HAM,” tandasnya.*

  • Dimusuhi PKI, PRD Ikut Murba

    PARTAI Rakjat Djelata (PRD) yang diketuai oleh St. Dawanis kian aktif di panggung politik nasional. Setelah sempat berseteru dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) soal tuduhan adanya “pihak musuh yang hendak mengacaukan dan membingungkan rakyat”, partai yang sekretaris jenderalnya dijabat oleh Pandu Kartawiguna itu menggabungkan diri ke dalam Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka.

  • Palu Arit ala PKI dan PRD

    LAMBANG komunis, palu-arit, bukan hanya milik Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam sejarah Indonesia, ada organisasi lain yang memiliki lambang sama dengan PKI. Karena itu pula perselisihan terjadi. Terlebih setelah ada selebaran berlambang palu-arit yang beredar di Jakarta.

  • Foto “Gadis Napalm” yang Kontroversial

    SESOSOK gadis kecil tanpa pakaian histeris seraya berlari bersama empat bocah yang masih kerabatnya dan empat prajurit Vietnam Selatan juga mengevakuasi diri. Phan Thị Kim Phúc, nama gadis berusia 9 tahun itu, menjerit-jerit karena kulitnya melepuh sementara di belakangnya asap hitam nan mengepul dan kobaran api terus mengejarnya.    Kengerian itu terekam dalam sebuah foto yang menjadi salah satu dokumentasi paling dikenal dalam Perang Vietnam (1955-1975). Foto bertajuk “Terror of War” atau populer disebut foto “Napalm Girl” itu populer karena Phúc kecil turut jadi korban pemboman napalm atau bom bakar oleh pesawat-pesawat atau Angkatan Udara (AU) Vietnam Selatan, KVLNCH, di Desa Trảng Bàng pada 8 Juni 1972 gegara desa itu diklaim telah diduduki pasukan Vietkong.    Foto itu merupakan karya fotografer Associated Press ( AP ), Huỳnh Công Út atau Nick Ut. Ia berada di lokasi kejadian bersama beberapa fotografer dan jurnalis lain ketika serangan udara itu terjadi. Fotonya sempat tertunda untuk dirilis karena perdebatan tentang layak-tidaknya menampilkan foto seorang gadis tanpa sehelai pakaian pun di tubuhnya. Pada akhirnya, para dewan redaksi AP memutuskan merilisnya. Hasilnya, Ut memenangkan beraneka penghargaan, di antaranya Pulitzer Prize dan foto terbaik World Press Photo pada 1973.    Namun, belakangan setelah kemunculan film dokumenter The Stringer: The Man Who Took the Photo karya sineas Bao Nguyen, muncul polemik soal foto itu dalam hal atribusi karya fotonya. Film yang premier -nya sudah ditayangkan pada Sundance Film Festival pada 25 Januari 2025 itu mengisahkan investigasi kredit dan atribusi foto “Gadis Napalm”. Film yang sejak September 2025 tayang di Netflix itu menguak beberapa hasil investigasi, di mana salah satunya memunculkan nama Nguyen Thành Nghe, seorang fotografer stringer yang dikisahkan sebagai sosok asli yang menjepret foto “Gadis Napalm” itu dan bukan Ut.    Terang saja film itu bikin geger dunia fotografi . Ketika film dokumenter itu belum diputar untuk umum, AP menggelar investigasinya dengan hasil laporan yang masih samar. Adapun pihak World Press Photo untuk sementara menangguhkan atribusi kepengarangan foto “Gadis Napalm” itu.    “Foto itu sendiri masih tidak terbantahkan dan penghargaan World Press Photo untuk foto momen signifikan pada abad ke-20 itu tetap masih merupakan sebuah fakta. Berdasarkan temuan-temuan sesuai nilai-nilai kami yaitu akurasi, kepercayaan, dan keberagaman, kami menarik kesimpulan (atribusi) terkait foto tersebut,” ujar direktur eksekutif World Press Photo Joumana El Zein Khoury, dilansir The Guardian , 16 Mei 2025.  Foto bertajuk "The Terror of War" alias "Napalm Girl" (vulturevisuelle.org/World Photo Press)   Di Balik Foto “Gadis Napalm” Hari itu, 8 Januari 1972, suasana Desa Trảng Bàng, Vietnam Selatan masih mencekam kendati pasukan Vietkong (komunis Vietnam Utara) sudah lama pergi. Sekitar selusin prajurit AD Vietnam Selatan datang untuk melindungi penduduk seandainya Vietkong datang lagi. Hanya saja, zona desa itu tetap tidak aman karena pesawat-pesawat AU Vietnam Selatan terkadang masih membom area persawahan dan hutan di sekitar desa.    Pada hari itu sudah tiga hari lamanya Phúc bersama saudara-saudaranya mengungsi di kuil desa itu, Cao Ðài, bersama kakaknya Phan Thanh Tam (12 tahun), sang adik Phan Thanh Phuoc (5), dan para sepupunya. Sementara Phúc terpisah dari ayahnya yang menyelamatkan diri di desa lain karena ketika Vietkong mendatangi desa mereka sebelumnya, ayahnya dipaksa mencari stok logistik. Oleh karenanya sang ayah khawatir akan ditangkap dan disiksa saat tentara Vietnam Selatan datang. Phúc begitu rindu rumahnya sendiri dan masakan ayahnya.    “Saat itu kami digiring menuju halaman kuil oleh para tentara (Vietnam Selatan) dan mereka menginstruksikan untuk keluar ke jalan utama Trảng Bàng. Lalu tiba-tiba saya melihat penampakan pesawat mendekati saya. Saya kaget melihat sesuatu yang begitu besar, cepat, dan suaranya menggetarkan bumi. Saya tercengang seiring pesawat itu terbang melesat melewati saya,” kenang Phúc dalam otobiografinya, Fire Road: The Napalm Girl’s Journey through the Horrors of War to Faith, Forgiveness, and Peace.   Dalam sekejap, kengerian serangan udara datang tepat di depan matanya. Area kuil turut jadi sasaran serangan pesawat A1-E Skyraider tadi yang menjatuhkan empat bom napalm. Seorang prajurit di belakangnya berteriak memerintahkan Phúc dan saudara-saudaranya untuk lari.    “Keluar (halaman kuil)! Lari! Kita harus meninggalkan tempat ini! Tidak aman di sini. Mereka akan menghancurkan seluruh tempat ini. Pergilah, anak-anak! Pergi sekarang!” imbuh Phúc menirukan teriakan seorang prajurit.    Tetapi sudah terlambat. Beberapa anak lain jadi korban “ditelan” kobaran api dan kepulan asap akibat ledakan napalm-napalm. Phúc sendiri sempat terhempas dan api menyelimuti tubuhnya, membakar habis pakaian yang dikenakannya namun dia masih bisa menyelamatkan diri meski tubuhnya tak lagi terbalut pakaian dan kulitnya mengalami luka bakar.    “ Nóng quá, nóng quá! ” (panas sekali, panas sekali),” Phúc menjerit histeris.   Menurut Ut, ia turut hadir di lokasi dan memotret peristiwa itu. Karena merasa iba, Ut juga kemudian membawa Phúc sampai ke Rumah Sakit Barsky di Saigon. Phúc mengalami luka bakar derajat 3 dan butuh 17 kali naik meja bedah plastik sebelum dirawat selama 14 bulan. Sebelum jatuhnya Saigon (30 April 1975), Phúc sudah dievakuasi untuk perawatan lanjutan di Ludwigshafen, Jerman Barat.    “Saya menangis ketika melihat dia (Phúc) berlari. Jika saya tak menolongnya, jika sesuatu terjadi padanya dan dia tewas, mungkin setelah itu saya akan membunuh diri saya sendiri,” kenang Ut saat mengutarakannya pada rekan reporter AP , dikutip LA Times , 13 Maret 2017.    Menurut Ut, ia membawa film dari foto-fotonya ke kepala biro AP di Saigon, Horst Faas. Beberapa editor di biro itu sempat keberatan karena fotonya menunjukkan seorang gadis di bawah umur dalam keadaan telanjang. Setelah beberapa kali berdebat via telex dengan para petinggi AP di New York, akhirnya foto itu diputuskan tetap dirilis namun tidak dengan di- close-up. Versi Nghe jelas berbeda. Dalam dokumenter The Stringer dikisahkan Nghe sejatinya adalah sopir lokal untuk kantor berita NBC namun menyambi jadi fotografer lepas. Ia mengklaim juga berada di lokasi dan memotret peristiwa itu. Hasil jepretannya lalu dijual ke kantor AP biro Saigon. Dalam film itu turut dimuat pengakuan Robinson bahwa Faas memerintahkannya mengubah kredit fotonya dan membuat atribusinya milik Nick Ut.    “Saya bekerja keras untuk memotret foto itu tapi orang lain yang mendapatkan semua pengakuannya,” keluh Nghe kepada The Guardian , 26 Januari 2025.    AP sendiri, sebagaimana diungkapkan di atas, kemudian menggelar investigasi internal selama berbulan-bulan. Namun hasil investigasi mereka yang dirilis pada 6 Mei 2025 tetap saja tak memberi kesimpulan yang terang-benderang.      Dalam laporan bertajuk “ AP Report Update: Investigating claims around ‘The Terror of War’ photograph ”, tim investigasi AP mengaku sudah mewawancarai Phúc si gadis di foto itu, Nick Ut, beberapa mantan pegawai biro Saigon yang masih hidup, dan sejumlah jurnalis yang jadi saksi mata peristiwa itu. Mereka juga berusaha menemui Nghe dan Robinson namun keduanya menolak diwawancarai secara langsung dan sekadar memberi pernyataan tertulis.    AP kemudian tak bisa menemukan bukti-bukti konkret bahwa foto itu adalah hasil karya Nghe dan memberi hipotesa yang masih samar bahwa ada kemungkinan foto itu adalah tetap hasil karya Ut atau mungkin juga bukan. Pasalnya, temuan data analisa forensik film dan fotonya menunjukkan foto “Gadis Napalm” dipotret menggunakan kamera Pentax dan bukan kamera Leica M2. Sementara yang mereka ketahui Ut saat itu bertugas dengan membawa masing-masing dua unit kamera Leica dan Nikon.    “Analisa visual AP secara ekstensif, pemeriksaan semua foto yang diambil pada 8 Juni 1972 dengan disertai wawancara-wawancara dengan para saksi mata, menunjukkan Ut kemungkinan yang mengambil foto ini. (Walaupun) investigasi kami tetap memunculkan beberapa pertanyaan signifikan yang mungkin takkan pernah bisa kami jawab,” ungkap AP yang tetap memberi kredit dan atribusinya pada Ut, di laman resminya , 6 Mei 2025.

  • Pelaut Belanda Jadi Nama Ikan

    SEJAK pertengahan abad ke-17, ikan kerapu bintik tropis dari wilayah Hindia Timur dikenal dengan nama Jacob Evertsen atau Jacob Evertsz, seorang pelaut Belanda yang turut ambil bagian dalam eksplorasi menuju Dunia Baru.

  • Aksi Menolak Soeharto Pahlawan Nasional

    PULUHAN aktivis dan korban Orde Baru berkumpul di halaman gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat (12/6/2014). Mereka melakukan aksi memprotes janji politik calon presiden Prabowo Subianto yang akan memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto.

  • Menghilangkan Sejarah, Menegasikan Pelanggaran HAM

    DIBANDINGKAN era Orde Baru, kesadaran anak-anak muda yang kritis terhadap sejarah dan persoalan pelanggaran HAM serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pasca-Reformasi kian terbuka dengan kemajuan teknologi. Oleh karenanya, ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di siniar Dialog Sejarah bertajuk “Kontroversi Gelar Pahlawan Presiden Soeharto” di akun Youtube Historia . ID pada 12 November 2025, penguasa seolah berkejaran dengan waktu untuk mengusung sosok-sosok kontroversial dengan label pahlawan.

  • Mahasiswa Ingin Ganti Presiden, Tentara Duduki Kampus

    HARI-hari belakangan ini, publik diramaikan dengan wacana #2019GantiPresiden. Di sana-sini, kampanye gencar dilakukan. Bahkan, di tingkat akar rumput masyarakat ada yang berujung intimidasi. Era reformasi memang membuka keran kebebasan sebesar-besarnya dalam menyatakan pendapat.

  • Kisah Presiden Indonesia Pertama yang Berkunjung ke Belanda

    HARI masih belum terlalu terik di wilayah Ijpenberg, Belanda, 4 September 1970. Masyarakat sudah ramai berkumpul di sepanjang jalan antara pangkalan militer Ijpenburg dengan Istana Huis Ten Bosch. Di sekitar lapangan terbangnya juga terlihat kesibukan yang jarang terjadi. Hari itu pesawat DC 8 “Pulau Bali” milik Garuda Indonesia dijadwalkan mendarat di lapangan terbang militer kota tersebut. Siapa gerangan yang akan datang?

bottom of page