top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mayang Memang Menggoda

    STASIUN Meteorologi Maritim Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah hari ini (9/12/17) mengeluarkan prakiraan cuaca yang menerangkan bahwa wilayah perairan selatan Kalimantan Tengah, Laut Jawa bagian tengah, perairan Kepulauan Karimun Jawa dan perairan utara Jawa Tengah akan berawan dan berpeluang hujan. Situasi tersebut membuat banyak nelayan di perairan utara Jawa tidak melaut. Di pelabuhan-pelabuhan sepanjang pantai utara Jawa itulah kapal-kapal kayu beraneka warna tertambat. Sebagian besar kapal yang dimiliki nelayan di pantura Jawa adalah jenis kapal mayang. Mayang merupakan perahu klasik yang berfungsi sebagai penangkap ikan dan alat transportasi di pantai utara Jawa. Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia , menuliskan bahwa perahu khas Jawa itu mengunakan kerangka badan yang mengikuti dinding sekat kedap air yang khas Cina. Kapal jenis Mayang tidak muncul dalam relief di kaki Candi Brobudur melainkan muncul di gambar-gambar Eropa sejak abad ke-18. “Kelihatannya banyak sejarawan yang hanyut dalam hegemoni kebesaran Cina. Semuanya dipandang pengaruh Cina. Ingat bahwa tradisi perkapalan untuk mengarungi lautan lebih duluan maju Nusantara. Cina masih berkutat dengan kapal-kapal sungai ketika para pelaut Indonesia sudah sering lalu lalang ke Cina untuk berdagang. Baru abad ke-11 setelah belajar perkapalan dari Nusantara dan Persia yang datang ke Cina mereka bisa membuat kapal-kapal laut. Makanya Kertanegara raja Singasari begitu mudah menghalau dan menghina utusan Khan dari Cina,” ujar Singgih Tri Sulistyono, sejarawan dari Universitas Diponegoro yang menekuni sejarah maritim, kepada Historia . “Mayang adalah salah satu genre kapal Austronesia,” imbuhnya. Diaspora suku-suku rumpun Austronesia pada kedua milenium sebelum masehi ke Nusantara, dari arah Utara dan Barat, telah menciptakan tipe perahu bercadik sebagai alat transportasi migrasi mereka, dan perkembangan jenis perahu asli Nusantara maupun kawasan Oseania berdasarkan atas ciptaan itu. Ciri khas dari kebanyakan perahu Austronesia adalah terbuat dari satu batang kayu saja. Dalam bahasa Inggris, disebut dugout, yang mengacu pada cara pembuatannya, yaitu batang kayu yang dikeruk bagian dalamnya atau perahu lesung. Jenis perahu ini tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara. Biasanya, perahu berukuran besar pun mulai dibentuk dengan dasar perahu lesung yang kemudian dibesarkan dengan meninggikan dindingnya menggunakan papan. “Walaupun perahu model lesung ini dikatakan yang paling sederhana, teknik pembuatannya memerlukan keahlian dan pengalaman khusus. Kerumitan sudah dimulai ketika memilih kayu yang paling cocok, menebang pohonnya, sampai pada mengeruk batangnya. Untuk itu para tukang harus memenuhi persyaratan yang tinggi... Doa dan sesajen sering menyertai atau mendahului setiap fase baru dalam pembuatan kapal sesuai dengan adat kebiasaan setempat,” tulis AB Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 . Lapian pun menjelaskan bahwa sumber-sumber sejarah mengenai kemajuan teknik perkapalan di Indonesia susah ditemukan. Horst H. Liebner dalam artikel Perahu-Perahu Tradisional Nusantara menerangkan, ada catatan-catatan tertulis dari Cina mengenai jenis dan bentuk perahu Nusantara. Syahbandar, pejabat, biksu dan ilmuwan Cina sudah pada abad ke-3 Masehi memperhatikan k’un-lun b/po , atau ‘perahu-perahu layar orang Lautan Selatan’. Disebutkan dalam tulisan tersebut, perahu-perahu jenis p/bo dapat membawa antara 600 sampai 700 orang, dengan muatan sampai 10.000 ikat, sekira 250-1000 metrik ton, serta dapat mengangkut lebih dari 1.000 orang. Namun deskripsi dari Cina ini, lanjut Liebner, tidak didukung oleh penemuan arkeologi dan ikonografi. Baik fresko perahu di Candi Borobudur maupun sisa-sisa kapal karam yang ditemukan sampai sekarang berasal dari perahu-perahu yang ukurannya lebih kecil. AB Lapian, sejarawan yang memelopori kajian sejarah maritim, menerangkan bahwa pengaruh atas kapal-kapal pribumi bisa datang dari Portugis, Spanyol, bahkan Gujarat, Persia, dan Arab. Teknik pembuatan kapal, tali-temali perkapalan di Indonesia yang dinilai konservatif, bukan disebabkan karena kekurangan daya inventif, melainkan bentuk atau jenis kapal yang ada disesuaikan dengan situasi setempat. “Perahu mayang dengan layar tanjak-nya, misalnya, adalah bentuk yang terbaik untuk keperluan para nelayan yang harus berlayar di perairan utara Jawa yang dikuasai sistem angin setempat,” tulis Lapian. Kapal mayang, menurut Singgih Tri Sulistyono dalam Pengantar Sejarah Maritim Indonesia , berada dalam jenis kelompok perahu Jawa yang mempunyai ciri-ciri antara haluan dan buritan sejajar; badan perahu vertikal; layar empat persegi panjang, kadang trapesium dan segitiga; pada saat ini bentuknya kecil-kecil. Dalam kelompok perahu Jawa, kepal mayang tidak sendiri. Jopie Wangania dalam Jenis-Jenis Perahu di Pantai Utara Jawa-Madura juga menuliskan, selain kapal mayang, yang termasuk dalam kelompok kapal Jawa adalah perahu lesung , sampan , sope , jegong , tembon / compreng , bondet , kolek , konting / dogol , jukung katir , perahu prawean , golean lete , janggolan , pencalang , lambo . Memasuki abad ke-17, kapal-kapal kecil menjadi pilihan bagi pelaut untuk perdagangan maritim karena efisien. “Efisiensi tipe-tipe perahu ‘baru’ itu terlihat dalam angka persentase jenis-jenis perahu yang dinahkodai orang Eropa di Jawa Utara: Lebih dari 50% dari orang Barat itu memilih perahu tipe mayang dan pencalang sebagai sarana perdagangan mereka,” tulis Liebner. Pada pertengahan kedua abad ke-18, tulis Liebner yang mengutip keterangan G.J Knaap dalam Shallow Waters, Rising Tide–Shipping and Trade in Java around 1775 , kapal mayang yang ada di pelabuhan-pelabuhan utara Jawa memiliki spesifikasi panjang 9,15 hingga 12,2 meter; berdaya muat 7,24 metrik ton dan jumlah kru 6 orang. Kapal ini hanya melayani jarak lokal serta pelayaran antarpulau yang berdekatan. Hingga pascakemerdekaan, kepal jenis mayang mendominasi perdagangan maritim di laut Jawa dan sekitarnya. “Pada tahun 1951/1952, Pemerintah Indonesia melalui Pusat Jawatan Perikanan Laut mendapat bantuan/hibah 60 buah kapal mayang dan 14 buah kapal motor cakalang dari Pemerintah Amerika dengan Program International Cooperation Administration (ICA). Kapal mayang dibuat di Jepang dari kayu cemara atau matsu berukuran 13,50 x 3,20 x 1,20 m dengan mesin Yanmar 30 DK tipe 2 LD. Kapal-kapal tersebut disalurkan kepada koperasi perikanan di pantai utara Jawa,” tulis Soewito dalam Sejarah Perikanan Indonesia .*

  • Raja-Raja Perempuan di Bali

    BERBAGAI prasasti menyebut raja-raja perempuan di Bali khususnya dari Dinasti Warmmadewa. Raja pertamanya, Sri Kesari Warmmadewa, yang disebut dalam tiga prasasti berbahasa Bali Kuno. Para ahli berpendapat, Sri Kesari Warmmadewa merupakan cikal bakal Dinasti Warmmadewa yang menurunkan Dharmodayana hingga Airlangga di Jawa. Dia diperkirakan memerintah kerajaan yang berpusat di Singhamandawa. Hingga kini, letaknya belum bisa dipastikan. Ada yang memperkirakan di sekitar Tampak Siring dan Pejeng atau di antara aliran Sungai Patanu dan Pakerisan. Namun, masih harus dibuktikan. Tokoh perempuan pertama dari Dinasti Warmmadewa yang memerintah adalah Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Warmmadewi. Dia mendampingi suaminya, Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmmadewa, raja ketiga setelah Sri Kesari Warmmadewa. Mereka memerintah bersama pada 955-967 M. “Walaupun berdasarkan bukti prasasti terakhir yang dikeluarkannya adalah 967 M, pada 960 M muncul seorang raja penggantinya bernama Jayasingha Warmmadewa,” tulis Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Selanjutnya pada 983 M, muncul raja perempuan bernama Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Dia disebut dalam Prasasti Air Tabar B yang berbahasa Bali Kuno. Meski begitu, nama jabatan lainnya yang tertulis dalam prasasti itu lebih lazim dijumpai dalam prasasti Jawa Kuno, yaitu makudur, wadihati, dan pangkaja. Menurut Ninie, jabatan-jabatan ini tak pernah dijumpai sebelumnya dalam prasasti berbahasa Bali Kuno. Oleh karena itu, arkeolog Belanda, Van Stein Callenfels mengira-ngira raja perempuan itu adalah putri dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatra yang meluaskan kekuasaannya ke Bali. Sedangkan sejarawan Belanda J.L. Moens beranggapan raja perempuan itu adalah Sri Isanatunggawijaya, putri Mpu Sindok. Selain itu, dalam sebuah prasasti Jawa Kuno tahun 937 saka koleksi museum di Jerman, dijumpai keterangan Sri Maharaja Siniwi I Kadiri atau Sri Mahadewi yang disembah atau bertakhta di Kadiri. “Apakah kedua nama itu nama satu orang saja? Apakah Maharaja Sri Wijaya Mahadewi seorang putri Jawa yang merebut takhta Dinasti Warmmadewa pada 905 saka? Penelitian lebih lanjut belum dilakukan,” lanjut Ninie. Kendati demikian, menurut Ninie, Mahadewi memerintah selama enam tahun sebelum akhirnya orang tua Airlangga memerintah bersama di takhta Dinasti Warmmadewa. Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta menyebut Raja Airlangga yang bertakhta di Jenggala punya kekerabatan dengan para penguasa di Bali. Prasasti berisi silsilah Airlangga itu menyebutkan dia merupakan putra pangeran Bali dari Dinasti Warmmadewa bernama Dharmodayana dengan Gunaprya Dharmmapatni, putri Raja Sri Makutawangsawardhana, penerus Dinasti Isana di Jawa. Sejak pemerintahan bersama ini, bahasa Jawa Kuno mulai digunakan. Selama masa pemerintahannya sejak 989-1011 M, Raja Dharmodayana atau Udayana mengeluarkan sepuluh prasasti. Empat di antaranya dikeluarkan bersama istrinya. “Hal yang cukup menarik, nama Gunaparya Dharmmapatni selalu disebutkan lebih dulu,” tulis Ninie. Menurutnya, itu sangat mungkin disebabkan ketika masa Udayana, Bali berada di bawah pengaruh Jawa. Raja perempuan lain yang kemudian menggantikan Raja Udayana adalah Sang Ratu Sri Sang Ajnadewi. Dia diperkirakan bukan dari keluarga Warmmadewa. Namanya sebagai raja tercatat dalam Prasasti Sembiran A III tahun 1016 M. Dia diperkirakan mengambil alih pemerintahan sampai generasi Warmmadewa berkuasa kembali pada 1022 M, yaitu Marakata Pangkaja, putra kedua Udayana. Perempuan tak dikesampingkan dalam pemerintahan raja-raja di Bali. Setidaknya dalam keluarga besar Airlangga. Terlebih ketika menengok silsilah dalam Prasasti Pucangan, disebutkan Airlangga adalah keturunan langsung dari Mpu Sindok melalui garis ibu. Pewarisan takhta melalui garis perempuan pun bukan hal aneh pada masa itu.

  • Palang Pintu Bukan Cuma di Acara Mantu

    DUA pria berusia 40-an tahun itu saling berhadapan. Sambil menantang, salah satu pria langsung buka mulut: “ Punye tane ditanemin sawi, badan basah abis mencangkul. Belum sempurne ngaku orang Betawi, kalau kagak bisa maen pukul.” Sontak, pria di hadapannya langsung menyahut: “ Muke cemong main di empang, ikan sepat jangan dimatiin. Ngomong sih emang gampang, cepat sini dibuktiin!” Adegan berbalas pantun itu terjadi dalam prosesi Palang Pintu yang dilakukan Grup Batavia, salah satu kelompok budaya yang masih aktif melestarikan Palang Pintu, di bawah pimpinan Haji Zahrudin di acara diskusi “Pendekar Bahasa dan Budaya Betawi: Abdul Chaer” yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (9/12/2017) malam. Zahrudin, yang sudah menulis tiga buku pantun Betawi, awalnya hanya mendalami maen pukul (silat Betawi). Tapi karena sewaktu menikah mendapati cerita Palang Pintu yang kurang bagus, Zahrudin perlahan mendalami kesenian Betawi, dari pantun hingga Palang Pintu. Palang pintu merupakan kesenian Betawi yang menjadi satu rangkaian dalam upacara pernikahan. Kesenian ini membutuhkan kemampuan berpantun juga silat. “Orang Betawi itu dari dulu suka berpantun, itu salah satu sastra lisan Betawi. (Pantun, red. ) ada di berbagai kesenian Betawi, seperti Palang Pintu. Di lenong juga ada,” kata Rachmat Ruchiyat, peneliti budaya Betawi. Secara filosofis, kata Zahrudin, Palang Pintu menjadi wadah untuk menguji kemampuan calon pengantin pria. Pihak pria mesti menampilkan kemampuan silatnya karena kelak diharapkan bisa menjaga istrinya dari bahaya. Selain itu, calon pengantin pria diuji kemampuan agamanya dengan tantangan berupa membaca ayat Al Quran. Gambaran tradisi budaya seperti itu antara lain ditulis Alwi Shahab dalam Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang . Dalam suatu upacara pernikahan, tuan rumah akan meminta pihak tamu untuk menunjukkan kemampuan silat. Jago tuan rumah dan jago tamu pun adu silat. “Tentu saja yang harus ‘menang’ jago dari pihak tamu. Hanya dalam satu dua jurus, pihak tuan rumah menyatakan ‘cukup, cukup! Abang punye jago emang jempolan’,” tulis Alwi. Dalam perjalanan waktu, Palang Pintu mengalami perubahan. “Dulu, Palang Pintu cuma terbatas pada prosesi pernikahan. Tapi dengan berkembangnya waktu, Palang Pintu juga (digunakan – red .) untuk pengarakan para pejabat, gubernur. Jadi, sekarang arakan pejabat pakai Palang Pintu. Kami menyesuaikannya dengan mengatur alur cerita pantun,” kata Zahrudin, yang sudah 25 tahun menggeluti palang pintu. Sementara, dalam hal pemenang-pecundang yang umumnya menaruh pihak perempuan sebagai pihak “kalah”, Rahmat punya pandangan beda. Pada mulanya, kata Rahmat, Palang Pintu tak ada pihak yang kalah. Keduabelah pihak mulanya saling beradu pantun dengan santai lalu menjadi semakin panas dan dilanjutkan adu pukul. Palang Pintu diakhiri oleh peleraian yang dilakukan tetua. “Kenapa begitu? Ini kan mereka datang untuk melaksanakan salah satu sunah rasul,” kata Rachmat menirukan kalimat pelerai dalam Palang Pintu. Palang Pintu perempuan yang tidak kalah, lanjutnya, menggambarkan masyarakat Betawi yang egaliter, menempatkan posisi perempuan dan laki-laki dengan derajat sama. “Itu kan berkaitan erat dengan kedudukan wanita di masyarakat Betawi. Kalau Betawi itu, seimbang, sama, sifatnya egaliter, gitu ceritanya,” ujarnya sembari senyum. “Dulu itu tidak sampai kalah tapi ada yang melerai, orang-orang tua. Nah, kalau sekarang pasti deh pihak perempuan kalah, jadi menunjukkan perempuan itu lemah.”

  • Perempuan Penguasa Masa Mataram Kuno

    SEBELUM masa Kerajaan Majapahit, yang tercatat pernah memerintah sebagai raja perempuan adalah Isanatunggawijaya. Dia adalah putri Mpu Sindok, yang memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Medang (Mataram Kuno) dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dia menduduki takhta menggantikan ayahnya yang berakhir pada 947 M. Isanatunggawijaya memerintah berdampingan dengan suaminya, Sri Lokapala. Tak banyak yang diketahui dari masa pemerintahannya. Tak diketahui pula kapan pemerintahannya berakhir. Menurut Prasasti Pucangan (1037 M), yang menjadi raja selanjutnya adalah putra mereka, Sri Makuthawangsawardhana. “Setelah Sri Isanatunggawijaya, tidak ada ratu lagi sampai pada masa Majapahit,” tulis arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa, Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV. Sri Isanatunggawijaya tak disebut sebagai putri mahkota. Prasasti Pucangan menyebutnya sudah menjadi penguasa menggantikan Mpu Sindok. Gelar putri mahkota muncul beberapa kali dalam prasasti. Ia berada langsung di bawah raja. Biasanya bergelar Rakryan Mahamantri atau Mapatih i Hino. Menurut Titi, perempuan pertama yang diperkirakan menjadi putri mahkota adalah Uttejana. Namanya disebut dalam Prasasti Kanjuruhan (682 saka atau 760 M). Dia merupakan putri dari Gajayana, putra Dewasimha yang memerintah Kerajaan Kanjuruhan di sekitar Malang. Ada pula Pramodhawardhani, putri Raja Samaratungga. Dia kemudian menikah dengan Rakai Pikatan, yang menjadi penguasa Kerajaan Mataram Kuno berikutnya. Prasasti Kayumwungan (824 M) menyebutnya meresmikan sebuah bangunan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah. Jinalaya itu adalah Candi Plaosan. Sementara Prasasti Tri Tepusan (842 M) menyebutkan adanya tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa agar penduduknya ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara . Sejarawan De Casparis menafsirkan Sri Kahulunan sebagai permaisuri, yaitu Pramodhawardhani. Pada saat itu, Rakai Pikatan diperkirakan sudah menjadi raja. Pendapat lain dikemukakan epigraf Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Sebutan ini juga muncul dalam kisah Mahabharata. Yudhistira memanggil ibunya, Kunti dengan sebutan itu. Karenanya, menurut Boechari, tokoh Sri Kahulunan bukan Pramodhawardhani, melainkan ibunya, yaitu istri Samaratungga. Pemerintah Daerah Tokoh-tokoh perempuan juga memegang jabatan di dalam institusi pemerintahan, baik di pusat, watak , dan wanua . Arkeolog Universitas Indonesia Ninie Susanti dalam Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI menjelaskan, pada masa pemerintahan Mpu Sindok, di tingkat pusat terdapat empat perempuan yang memegang jabatan: Sri Parameswari, Rakryan Binihaji, Samgat Anakbi, dan Ibu ni Paduka Sri Maharaja. Sri Parameswari adalah istri raja atau permaisuri. Dia disebutkan bersama raja menetapkan sima tanah di Demak pada 857 saka (935 M). Beberapa tahun sebelumnya, sebagaimana disebut dalam Prasasti Cunggrang II (851 saka atau 929 M), raja memerintahkan pemeliharaan untuk Sang Hyang Prasada Silunglung, bangunan suci tempat bersemayamnya ayah dari permaisuri Mpu Sindok, yaitu Rakryan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kebi atau Rakryan Sri Prameswari Sri Wardhani Dyah Kbi . Rakryan Binihaji adalah selir yang kedudukannya sejajar dengan permaisuri, putra mahkota dan putra raja lainnya. Rakryan Binihaji Rakryan Mangibil disebut memerintahkan pembangunan bendungan di tiga desa: Kahulunan, Wwatan Wulas dan Wwatan Tamya, kepada para rama (dewan pemerintahan desa) di Wulig, Pangikettan, Padi-padi, Pikattan, Panghawaran, dan Busuran. Perintah itu disertai larangan jangan ada yang berani mengusiknya agar rakyat dapat mengambil ikan siang dan malam. Hal ini tertulis dalam Prasasti Wulig (856 saka). Ibu ni Paduka Sri Maharaja adalah ibunda raja yang disebut dalam Prasasti Jayapattra atau Prasasti Waharu II (851 saka). Prasasti ini berisi penegasan hukum atas Desa Waharu sebagai desa perdikan yang telah dimiliki penduduknya sejak lama. Adapun Rakryan Anakbi dan Samgat Anakbi diperkirakan pejabat perempuan karena kata anakbi bisa berarti istri atau perempuan. Rakryan Anakbi dijumpai di antara deretan para rakai dan Samgat Sarangan dalam Prasasti Sarangan (851 saka atau 929 M). Namanya tidak jelas karena bagian prasasti yang menyebutnya telah aus. Samgat Anakbi Dyah Pendel disebut dalam Prasasti Hring (851 saka). “Dari gelar samgat yang dicantumkan pada namanya, dia tentu seorang pejabat keagamaan atau kehakiman,” tulis Ninie Susanti. Samgat dan rakai merupakan jabatan bagi penguasa daerah. Jabatan ini biasa digunakan pada masa Mataram Kuno sampai Kadiri . Mereka membawahi daerah lungguhnya atau yang pada masa lalu disebut watak atau wisaya. Dalam beberapa prasasti, seperti Prasasti Abhayananda (748 saka atau 826 M), Prasasti Panangaran (791 saka atau 869 M), dan Prasasti Kinawe (849 saka atau 928 M), perempuan bergelar Rakai juga memiliki kegiatan seperti meresmikan daerah sebagai sima. Keberadaan tokoh perempuan di tingkat wanua (kini, desa), sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum pemerintahan Mpu Sindok. Sejak pemerintahan Rakai Kayuwangi, raja ketujuh Mataram Kuno (802 saka), beberapa pekerjaan penting telah dipegang oleh perempuan. Misalnya, Marhyang sebagai pengurus bangunan suci, huler sebagai petugas irigasi, tuha banua sebagai petugas administrasi desa. Bahkan, ahli perbintangan atau wariga juga pernah dipegang oleh perempuan ( wariga wadwan ). Ini disebut dalam Prasasti Paradah (865 saka atau 943 M). “Demikian pula di setiap perayaan upacara sima, selalu disediakan tempat khusus untuk para ibu yang hadir,” tulis Ninie. Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa menyimpulkan perempuan tetap dipandang terhormat dalam masyarakat Jawa. Namun, peluang memiliki kedudukan penting lebih banyak diberikan kepada laki-laki. Kemungkinan penyebabnya adalah karena laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi ketimbang perempuan dan dianggap lebih cocok menduduki takhta raja. Kemungkinan ini sesuai prinsip hak waris di Jawa, di mana laki-laki tertua memiliki hak lebih besar ketimbang perempuan. Pranata kerajaan India yang mengatur warisan takhta juga menempatkan laki-laki sbagai pewaris utama. Faktor itulah yang mungkin dapat menerangkan mengapa dalam suksesi dijumpai putri mahkota merelakan takhtanya kepada suaminya, seperti Pramodhawardhani. Meski dia menjadi putri mahkota, tetapi suaminya yang menjadi raja. Wikramawarddhana, raja kelima Majapahit, juga suami putri mahkota Kusumawardhani. Kemungkinan sebaliknya justru tidak pernah terjadi. “Contoh itu memperlihatkan, pranata pewarisan takhta di Jawa tergolong longgar. Kondisi ini agaknya memberi pengaruh kepada terciptanya situasi kritis setiap memasuki masa pergantian kekuasaan,” tulis Supratikno.*

  • Kala Mia Audina Terpaksa Mendua

    SEJAK Maria Kristin Yulianti merebut medali perunggu di Olimpiade Beijing 2008, publik tanah air belum punya lagi pujian di arena bulutangkis tunggal putri. Prestasi medali emas bulutangkis tunggal putri Olimpiade Barcelona 1992 milik Susi Susanti masih tetap yang tertinggi. Sejatinya, di era 1990-an ada seorang pebulutangkis muda yang digadang-gadang akan menjadi “ The Next Susi Susanti”. Dia adalah Mia Audina Tjiptawan alias Zhang Haili. Prospek Mia sangat cerah. Ketika usianya belum genap 14 tahun, dia sudah terpilih masuk Pelatnas Cipayung (markas PBSI). Setahun kemudian, Mia terseleksi ke tim Uber Cup 1994 di Jakarta, yang juga diperkuat Susi Susanti. “Dia mulai terjun ke kompetisi internasional membawa nama Indonesia sejak 1993 dan memenangi gelar juara dunia (Uber Cup) dengan tim Indonesia pada 1994 ketika dia baru berusia 14 tahun,” tulis P. Markula dalam Olympic Women and the Media: International Perspectives. Mia menjadi penentu kemenangan Indonesia. Di partai terakhir, dia mengalahkan tunggal putri China Zhang Ning via rubberset 11-7, 10-12 dan 11-4. Itu menjadi gelar Uber Cup kedua Indonesia setelah 1975. Dua tahun berselang dalam ajang yang sama di Hong Kong, Mia ikut mempertahankan Uber Cup. Prestasi gelar Uber Cup ketiga bagi para srikandi Indonesia yang juga sampai hari ini belum bisa diulangi. Sejak saat itu penampilan Mia kian meroket. Mia kembali jadi salah satu andalan kontingen Indonesia di Olimpiade Atlanta 1996. Meski tak sebaik Susi di Barcelona empat tahun sebelumnya, Mia pulang ke tanah air mengalungi medali perak. Di tahun yang sama, pada medio Oktober Mia pun merebut titel “ratu bulutangkis dunia” dengan menduduki peringkat 1 IBF (Federasi Bulutangkis Internasional). Namun, pencapaian pebulutangkis kelahiran Jakarta, 22 Agustus 1979 itu tetap belum bisa membuatnya keluar dari bayang-bayang Susi. Dalam sebuah laga simulasi pun, Susi ternyata masih lebih unggul dari juniornya itu. “Saya akui, saya masih sulit kalahkan dia. Susi masih bagus dan ulet,” puji Mia setelah simulasi jelang Piala Sudirman dan Kejuaraan Dunia 1997, dikutip Kompas, 26 April 1997. Sayang, setelah melepas masa lajang dengan pria Belanda Tylio Lobman pada 30 Maret 1999 grafik penampilan dan prestasi Mia perlahan menurun. Meninggalnya sang ibu Lanny Susilawati pada akhir April 1999 tak bisa dipungkiri menjadi penyebab turunnya karier Mia. Mia sempat absen lama dari pelatnas lantaran ikut pindah suaminya ke Belanda. Di sana, dia sempat mengajukan permohonan untuk tetap berada di skuad PBSI meski berlatih di Belanda, tapi tak berbuah hasil. “Kalau dia pindah ke Belanda ya harus keluar dari pelatnas. Dia memang maunya begitu (tetap di pelatnas namun latihan di Belanda), tetapi yang namanya organisasi tentu ada aturan mainnya, jadi harus patuh,” ujar Karsono, ketua harian PBSI, sebagaimana dilansir Kompas , 28 Juli 1999. Alhasil, Mia pilih mengundurkan diri dari PBSI. Di negeri kincir angin, keinginannya untuk bermain masih tinggi. Mia akhirnya “mendua” dengan membela panji Merah Putih Biru. “Dia mendapatkan kewarganegaraan Belanda dan mulai tampil untuk Belanda pada 2000. Dia memenangi beberapa medali di kejuaraan Eropa dan Dunia. Dia juga sempat mencapai babak perempatfinal di Olimpiade 2000 Sydney,” tulis Markula. Namun, Mia jarang antusias jika tampil di bawah bendera Belanda dalam beragam kompetisi yang digelar di Indonesia. Kadang dia mengaku tak ingin diikutkan tim, seperti pada ajang Uber Cup 2004 dan 2008. “Terlalu sensitif. Bagaimanapun saya dulu dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia,” tuturnya dikutip Kompas, 16 Maret 2004. Toh, taji Mia masih besar. Di Olimpiade Athena 2004, Mia merebut medali perak untuk Belanda. Ini medali perak keduanya. Sebelumnya, dia meraihnya di Olimpiade Atlanta 1996 untuk kontingen Indonesia. Uniknya, di laga final itu Mia seperti mengalami deja vu karena kembali bertemu Zhang Ning, lawannya di laga penentu Uber Cup 1994. Namun di Olimpiade 2004, giliran Mia yang kalah. “Aneh rasanya bertemu lagi dalam 10 tahun di final Olimpiade. Saya rasa, hasilnya tergantung pada siapa yang memiliki hari terbaik dan dia yang menang,” tandas Mia dikutip David Miller dalam The Official History of the Olympic Games and the IOC. Dua tahun kemudian Mia memutuskan mengakhiri kariernya yang menjulang di dua negara. "Ah, itu bukan salah saya. Ada banyak faktor yang membuat saya akhirnya pindah ke Belanda. Saya bisa bilang kesalahan PBSI ada, juga masalah keluarga dengan meninggalnya ibu saya. Dulu PBSI berpikir setelah Kak Susi mundur, saya akan meneruskan tongkatnya,” kata Mia dua tahun sebelum gantung raket.

  • Diplomasi Sunyi Perwira TNI

    Selama bertugas sebagai Atase Militer (Atmil) Indonesia di Bonn, Jerman Barat, Kolonel Donald Isac Pandjaitan kerap merancang misi rahasia. Salah satunya, berupaya menyusupkan Felix Metternich, warga negara Jerman Barat, ke Belanda. Kepada Felix, Pandjaitan menginstuksikan tugas berbahaya: memotret kapal-kapal perang Belanda, terutama kapal induk Karel Doorman. Pada Maret 1960, kapal induk Belanda satu-satunya itu dipersiapkan menuju perairan timur Indonesia untuk mengamankan wilayah Irian Barat. “Dengan menggunakan kamera mini, Metternich berhasil memotret Karel Doorman dan kapal-kapal perang lain,” ujar Marieke Pandjaitan br. Tambunan dalam biografi suaminya, D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran . Baca juga:  Belanda Kirim Kapal Perang, Sukarno Meradang Pandjaitan kemudian mengirimkan foto-foto itu ke Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) di Jakarta. Metternich juga diplot oleh Pandjaitan untuk mengeposkan surat-surat pemerintah Indonesia yang ditujukan kepada tokoh politik berpengaruh di Belanda. Surat rahasia itu diposkan melalui Belgia untuk menghindari sensor dari dinas intelijen Belanda. Operasi lain yang dijalankan Pandjaitan termasuk menyelundupkan Frits Kirihio ke Indonesia untuk dipertemukan dengan Presiden Sukarno. Frits adalah mahasiswa Papua yang disekolahkan oleh pejabat Belanda di Universitas Leiden, Belanda. Kelak, Frits menjadi tokoh pemuda Papua yang berperan memperjuangan integrasi Irian Barat ke dalam Republik Indonesia. Diplomasi Senyap Pandjaitan tak sendirian. Para Atmil Indonesia di negara lain mengerjakan misi yang kurang lebih serupa. Beberapa nama perwira TNI AD seperti Kolonel S. Parman ditempatkan di London sementara di Paris bertugas Kolonel Rachmat Kartakusumah dan Kolonel Sutikno Lukitodisastro berjaga di Amerika Serikat. Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Abdul Haris Nasution menyebut misi para Atmil-nya sebagai “Operasi C” atau “diplomasi senyap”. Dalam kampanye perjuangan Irian Barat Operasi C ini bertujuan mempengaruhi sikap tokoh-tokoh penting di Belanda. Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan masa Orde Lama menerangkan, tahap pertama diplomasi senyap dijalankan dengan mengadakan kontak-kontak terhadap kelompok penting di Belanda. Mereka antara lain para pengusaha Belanda; kaum cendekiawan yang diwakili Profesor Willem Duynstee ahli hukum tata negara Universitas Nijmegen; tokoh politik yang diwakili mantan Perdana Menteri Willem Drees; kalangan gereja, kalangan pers, dan pemuda-pemuda Irian Barat yang bersekolah di Belanda. Baca juga:  Papua dan Ambisi Presiden Pertama Selain mengemban kepentingan negara, para Atmil ini juga menjadi pamong bagi mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Eropa. Mereka yang punya relasi terhadap Atmil kebanyakan berasal dari mahasiswa yang berhaluan anti komunis. Menurut Soe Hok Gie sejarawan yang juga eks aktivis mahasiswa, bila dalam kondisi sulit – seperti misalnya tekanan dari kelompok mahasiswa yang pro Sukarno ataupun petugas-petugas KBRI – mereka mendapat bantuan dari Atmil Indonesia. “Kadang-kadang Atmil Indonesia juga berfungsi sebagai pelindung mahasiswa yang dikejar-kejar Soekarno/klik Nasakom,” ujar Gie dalam Soe Hok Gie: Zaman Peralihan yang disunting Stanley Aris Santoso. Pandjaitan pernah kena getahnya. Dia dianggap sebagai perwira yang tak loyal kepada Sukarno karena dituding menyebarkan propaganda menentang ide manipol dan nasakom bagi mahasiswa Indonesia di Jerman. Akibatnya, Pandjaitan sebagaimana dituturkan Marieke menjadi sasaran amarah Sukarno. Baca juga:  Balada Jenderal Pendeta Menurut Nasution, diplomasi TNI memang khusus untuk melobi negara-negara Barat. Aktivitas para Atmil di Bonn, London, Paris ataupun Washington menjadi jaminan bagi kubu Barat bahwa TNI tak bergerak ke kiri atau ke kanan. “Kami selalu menjelaskan bahwa soal Irian Barat tak bisa lepas dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan TNI tidak akan jadi antek komunis,” ujar Nasution. Untuk melancarkan diplomasi sunyi ini, Jenderal Nasution mengutus rekannya, seorang pengusaha Tionghoa bernama Ujeng Suwargana. Dia menjadi koordinator Atmil Indonesia di Eropa dan memfasilitasi apa yang diperlukan. Dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? sejarawan Asvi Warman Adam mencatat Ujeng Suwargana dikenal Nasution sejak 1940 tatkala sama-sama mengikuti pendidikan militer di Bandung. Sebelum menjadi pengusaha bidang penerbitan, Ujeng merupakan perwira menengah sekaligus komandan logistik Teritorium III Siliwangi. “Operasi C,” tulis Nasution, “Pelaksana utamanya ialah saudara Uyeng Suwargana. Atase militer kita di Bonn, Paris, dan di London membantu sepenuhnya misi-misi ‘Operasi C’ ini.” Nasution juga menyebutkan, Ujeng secara berkala mengunjungi Amerika dan Eropa, baik sebagai pengusaha maupun penceramah di lembaga Perguruan Tinggi. Baca juga:  Duta Tentara di Mancanegara Jurnalis kawakan Belanda, Willem Oltmans, mengenal Ujeng Suwargana sebagai teman akrab dan utusan pribadi Jenderal Abdul Haris Nasution. Dalam memoarnya Bung Karno Sahabatku yang diterjemahkan dari judul asli Mijn Vriend Sukarno, Oltmans menyebutkan, Ujeng kerap berkeliling Eropa Barat dan Amerika Serikat; menginformasikan mengenai suatu perebutan kekuasaan negara di Jakarta. Siapakah sebenarnya Ujeng ? “Tidak jelas apa status Oejeng (Ujeng) dan apakah benar ia seorang intel,” imbuh Asvi. “Namun, yang terang, ia adalah orang dekat Jenderal Nasution. Baca juga:  Jejak Spion Melayu

  • Masalah Sepatu Gagalkan Keikutsertaan India di Piala Dunia

    BAGI banyak negara, jangankan membawa pulang trofi Piala Dunia, bisa tampil di ajang empat tahunan sepakbola itu saja merupakan impian. Gengsi Piala Dunia yang mengalahkan Olimpiade itulah yang membuat mereka rela saling “bunuh” untuk bisa tampil di dalamnya. Namun, hal itu tak berlaku bagi India. Tak lama setelah merdeka dari Inggris pada 1947, timnas negeri itu berhasil memukau banyak pihak di Olimpiade London 1948. Timnas India akhirnya memang kalah 1-2 dari Prancis, tapi permainan yang mereka tampilkan membuat banyak pihak memujinya. “India bisa mencetak lebih banyak peluang gol (ketimbang Prancis - red ). Setelah pertandingan usai, ratusan penonton memberi ucapan selamat atas tindakan sportif mereka di lapangan dan menyesal bahwa tim yang tampil lebih baik harus kalah,” kutip Paul Dimeo dan James Mills dalam Soccer in South Asia: Empire, Nation, Diaspora . Usai olimpiade, India mengikuti kualifikasi untuk Piala Dunia 1950. Negeri itu berada di Grup 10 Zona Asia bersama Indonesia, Filipina, dan Burma (kini Myanmar). Namun karena ketiga negara mengundurkan diri, India otomatis lolos ke Piala Dunia. Kala itu, FIFA belum punya aturan: tim yang boleh mengikuti Piala Dunia hanyalah tim yang telah memainkan pertandingan kualifikasi. Dalam drawing Piala Dunia, tim yang diawaki Sailen dan dan kawan-kawan itu terundi masuk ke Grup 3/Grup C. India akan bersaing dengan Swedia, Italia, dan Paraguay di grup itu. Kans India untuk mengulang prestasi baik di Olimpiade amat besar. Bukan mustahil India bisa melewati fase grup. Paraguay saat itu merupakan tim “kemarin sore”. Sementara, pemegang dua gelar Piala Dunia Italia sedang tak meyakinkan performanya setelah kehilangan delapan pemain terbaiknya dalam kecelakaan pesawat pada Mei 1949. Praktis, hanya Swedia tim kuat yang harus dihadapi India. Namun, menjelang bergulirnya turnamen, kabar yang berhembus justru mengatakan India batal mengikuti turnamen itu. Musababnya, kata literatur-literatur yang ada, FIFA tak mengizinkan India ikut Piala Dunia 1950 karena para pemainnya enggan mengenakan sepatu. Sejak Olimpiade 1948, para pemain India terbiasa bermain nyeker alias tak mengenakan sepatu. “India mundur ketika diinformasikan (FIFA) bahwa para pemainnya tidak bisa tampil dengan kaki telanjang, sebagaimana yang diinginkan India,” tulis John Snyder dalam Soccer’s Most Wanted. Belakangan, soal sepatu bukan satu-satunya faktor yang membatalkan keikutsertaan India. Menurut Majalah Sports Illustrated (edisi) India terbitan Juni 2011, pernyataan resmi AIFF (induk organisasi sepakbola India) terkait hal itu berbeda dari pernyataan FIFA soal larangan tak bersepatu. Presiden AIFF Moin ul-Haq beralasan batalnya India disebabkan, “Karena tidak adanya kesepakatan terkait seleksi tim dan kurangnya waktu persiapan dan kekurangan biaya perjalanan.” Perihal alasan terakhir itu, sebenarnya bisa teratasi karena panitia lokal Piala Dunia 1950 Brasil bersedia menanggung sebagian besar biaya perjalanan pulang-pergi timnas India. Brasil sebagai tuan rumah sangat mengharapkan setidaknya ada satu perwakilan tim Asia yang mau berpartisipasi sebagaimana tim Hindia Belanda (kini Indonesia) menjadi perwakilan Asia pertama di Piala Dunia Prancis 1938. Toh, India menolak tawaran dari panitia lokal Brasil itu tanpa pernyataan balasan. “Sebuah studi menyingkap bahwa di bawah alasan kesulitan ekonomi yang diberikan sebagai penyebab pembatalan, terdapat kurangnya apresiasi AIFF terhadap pentingnya partisipasi dalam Piala Dunia, walaupun mendapat jaminan dari komite penyelenggara yang bersedia menanggung sebagian besar biaya perjalanan,” ujar Kaushik Bandyopadhay, editor jurnal Soccer and Society yang dikutip Sports Illustrated. Kurang bergengsinya Piala Dunia kala itu dibanding kini membuat AIFF kemudian menyebutkan tim mereka lebih dipersiapkan untuk Asian Games 1951 di negeri sendiri dan Olimpiade 1952 di Helsinki, Finlandia. Keputusan itu membuat publik dan mantan pemain nasional India kini menyesal. “Ketika itu kami belum mengerti tentang Piala Dunia. Seandainya kami tahu lebih banyak, kami akan mengambil inisiatif sendiri. Bagi kami saat itu, olimpiade adalah segalanya, tak ada yang lain,” sesal mantan pemain timnas India 1950, Sailen Manna kepada Arindam Basu, wartawan Sports Illustrated , setahun sebelum sang kapten meninggal (2012).

  • Usai Reformasi, Pocong Mendominasi

    PENGAJAR sastra Prancis Universitas Indonesia Dr. Suma Riella Rusdiarti punya perhatian menarik terkait reformasi. Menurutnya, reformasi tak hanya menggulingkan kediktatoran Soeharto dan mengembalikan demokrasi di Indonesia, tapi juga menumbangkan dominasi tokoh-tokoh mistis macam Nyi Roro Kidul atau Nyi Blorong sebagai hantu utama di layar lebar. Peran mereka digantikan oleh pocong. “Film dulu berkitan dengan mitos. Makin ke sini berkitan dengan pocong. Hantu khas Indonesia hari ini adalah pocong. Dua puluh tahun yang lalu, hantu pocong belum jadi hantu utama. Sesudah reformasi, hantu pocong jadi pemeran utama dan muncul di layar,” ujar Riella. Jenis hantu pocong, yakni hantu berbungkus kain putih, sebenarnya telah ada sejak lama. Naskah-naskah Jawa kuna menamakan hantu jenis itu “wedon”. “Pocong dan wedon sama. Itu tradisi lisan. Munculnya sejak kapan, agak sulit dilacak,” kata Suwardi Endraswara, dosen bahasa Jawa di Universitas Negeri Yogyakarta. Suwardi menambahkan, wedon termasuk dalam arwah yang belum sempurna ( nglambrang ) dan menjadi anak buah dari penguasa lelembut di suatu wilayah. “Jaman Kasunanan Surakarta ke sini itu ada (pembahasan tentang – red. ) penguasa-penguasa hantu di tanah Jawa. Dalam karya-karya Ronggowarsito ada yang menyebut tentang wedon. Termasuk ramalan Jayabaya tentang hantu-hantu wedon. Itu ada dalam ramalan jangka,” kata Suwardi. Kepercayaan soal hantu itu terus bertahan dalam memori masyarakat hingga zaman berganti. Pocong akhirnya menjadi tema atau sekadar peran dalam banyak film horor meski awalnya masih sedikit. Dalam kurun 1970-an hingga 1990-an, peran pocong sebagai hantu utama dalam film bisa dihitung jari. Umumnya, pocong muncul sebagai “figuran”. Film-film yang diperankan Suzanna, misalnya, mayoritas menampilkan sundel bolong sebagai hantu utama. Kemunculan pocong hanya ada sesaat di film Sundel Bolong (1981). Film Setan Kuburan (1975), yang diperankan Benyamin Sueb, juga menampilkan hal tak jauh beda. Pocong muncul baru pada sepertiga terakhir film. Di Pengabdi Setan (1981) lain lagi, pocong yang muncul lebih mirip sebagai mayat hidup lantaran tak seluruh tubuhnya terbungkus kafan. Pocong yang muncul juga tak independen karena kemunculannya dikendalikan seorang antagonis bernama Darmina (Ruth Pelupessy). Dari penelusuran Historia , ada sekira 40 film yang menggunakan pocong sebagai judul dan hantu utama. Mayoritas merupakan film-film dari masa setelah reformasi. Sebelum reformasi, hanya film Setan Pocong (1988) yang menampilkan pocong sebagai hantu utama. Meski di tahun yang sama Setan Keramat juga memunculkan hantu pocong, ia tak menjadi hantu utama. Pasca-reformasi, film pocong muncul pertamakali pada 2006 lewat film garapan Rudi Sudjarwo berjudul Pocong . Namun, Pocong tak lulus sensor LSF karena dianggap terlalu banyak menampilkan adegan kekerasan. Film pocong pun baru muncul beberapa bulan kemudian lewat sekuelnya, Pocong 2 . Setelah itu, pocong terus bermunculan mendominasi film-film horor Indonesia. Menurut Suwardi dan Riella, pergeseran tokoh utama dalam film-film horor di Indonesia bukan tren semata. Itu terkait erat dengan kondisi sosial-budaya, sosial, ekonomi, dan sosial politik masyarakat. “Hantu itu bisa menjadi proyeksi dari ketakutan,” kata Riella. Di masa lalu, ketakutan itu antara lain diabadikan dalam ramalan Ronggowarsito pada abad ke-19. “ Tebu saujun, ana wedon saka lor kulon, akemul mori putih, ateken tebu wulung,” kata ramalan itu. Artinya, ada seonggok batang tebu, ada hantu dari barat laut, berselimut mori putih, bertongkat tebu hitam. Meski secara harfiah ramalan itu tak menyebut hantu pocong, tapi ia menyimbolkan para penjajah, yang dianggap mengganggu, dengan wedon. Hantu, kata Riella, dengan demikian menyimbolkan ketakutan atau ancaman dalam satu masa. Kemunculan pocong tak mungkin bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat yang teraktual. “Pocong itu kan satu-satunya hantu yang bisa diidentifikasi agamanya. Pocong kan menakutkan di Jawa tapi apa itu menakutkan di Papua di mana Islam tidak dominan?” kata Riella. Banyaknya kemunculan pocong dalam film, menurut Riella, menjadi gambaran betapa wacana Islam dan Jawa begitu mendominasi film horor Indonesia dewasa ini. “Padahal, apa yang menakutkan dari pocong? Dia kan diikat, bukan vampir yang bisa menyedot darah.”

  • Muslim Keturunan Konghucu

    ADANYA keturunan filsuf Kongzi alias Konghucu (551 SM–479 SM) yang menganut agama Islam masih jarang menjadi bahasan sejarawan sampai sekarang. Minimnya literatur terkait barangkali menjadi penyebab utamanya. Atau, bagi orang-orang tertentu, boleh jadi karena hal itu dipandang sebagai “hil yang mustahal”.

  • Di Pusaran Angin Musim Barat

    BADAN Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika khususnya bidang Meteorologi Maritim, memberikan analisis prediksi sebaran hujan. Potensi hujan lebat disertai petir berpeluang terjadi di Laut Andaman, Perairan Barat Aceh, Samudra Hindia Barat Bengkulu, Perairan Kepulauan Lingga, Perairan Utara Bangka, Selat Karimata, Laut Jawa bagian Barat, Perairan pulau Buton, Laut Banda, Laut Maluku, Perairan Kepulauan Raja Ampat, Perairan Biak, Teluk Cendrawasih, Laut Aru, Perairan Jayapura. Adanya awan gelap ( cumulonimbus ) di lokasi tersebut, seperti dikutip dari laman maritim.bmkg.go.id (06/12), dapat menimbulkan angin kencang dan menambah tinggi gelombang. “Kalau dunia nelayan, Desember hingga Januari disebut musim baratan, gelombang tinggi,” ujar Sutejo Kuwat Widodo, penulis buku Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990 , kepada Historia . Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa adalah tempat angin pasat –angin yang bertiup tetap sepanjang tahun dari daerah subtropis menuju ke daerah ekuator– berhimpun. Dari sisi selatan berhembus angin pasat tenggara, sementara di utara ekuator adalah angin pasat timur laut. Pun demikian, sistem angin di Indonesia memiliki karakteristik, yaitu adanya angin musim yang berubah arah tujuan setiap setengah tahun. Pelayaran yang akan melewati perairan Nusantara pada masa lalu, akan mempertimbangkan musim dan arah angin. Mei hingga Oktober berhembus angin musim Timur yang bertiup dari arah tenggara, atau daratan Australia. Hembusan angin Timur ini digunakan oleh kapal-kapal dari timur masuk ke Nusantara. “Pada bulan Oktober, kapal-kapal sudah berangkat dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di Makassar, Gresik, Demak, Banten, sampai kota-kota lain di sebelah barat,” tulis Adrian B. Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17 . Sementara pada November hingga April, tulis Djoko Pramono dalam Budaya Bahari , bertiup angin musim Barat dari arah Barat Laut, dari daratan Asia. Angin ini digunakan oleh kapal-kapal yang sudah berlabuh di selat Malaka untuk melanjutkan pelayarannya ke perairan laut Jawa. Puncak keramaian pelayaran di laut Jawa terjadi di bulan Juni-Juli, di mana pelabuhan Batavia penuh sesak oleh pedagang. Di dalam kedua angin musim itu, April-Mei dan Oktober-November, terjadi perubahan angin atau yang dikenal musim pancaroba. Ciri-cirinya adalah adanya badai di lautan dan gelombang tinggi sehingga membahayakan pelayaran. “Sekarang pancaroba menuju angin Barat yang disertai hujan lebat dan ombak besar. Perahu harus berlindung dulu di pelabuhan jika kondisi tidak baik,” ujar Singgih Tri Sulistyono, sejarawan Universitas Diponegoro yang mengkhususkan diri di bidang sejarah maritim, kepada Historia . Pada situasi yang gawat itu, kapal-kapal dari daratan India dan Tiongkok harus menunda pelayaran dengan berlabuh beberapa waktu di pelabuhan sembari menunggu musim pancaroba lewat. Namun dalam pelayaran lokal, menurut Djoko Pramono, di perairan Jawa, tidak begitu terganggu dengan musim pancaroba, sebab dampak yang ditimbulkan tidak sehebat seperti yang terjadi di Samudra Hindia. “Prinsipnya hampir semua pelabuhan kuno di pantai utara Jawa aman karena terlindung dengan pulau-pulau kecil atau pun karang dan juga ada yang berada di teluk atau selat,” ujar Singgih.

  • Konflik Kawan Seiring

    Wajah Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo (89) tiba-tiba berubah menjadi keruh saat disebut nama Darul Islam (DI). Sebagai eks prajurit Divisi Siliwangi, ia menganggap apa yang dilakukan oleh gerakan DI/ TII (Tentara Islam Indonesia) pada saat itu merupakan bentuk pengkhianatan yang paling fatal. “Ketika kami beradu nyawa melawan tentara Belanda, mereka menusuk kami dari belakang,” ujar mantan komandan peleton di Yon Nasuhi tersebut. Hubungan antara Divisi Siliwangi dengan orang-orang DI/TII pada mulanya memang berlangsung baik. Kendati tidak menyetujui Perjanjian Renville dan menolak hijrah ke Jawa Tengah, orang-orang DI/TII tetap menganggap Divisi Siliwangi sebagai kawan seiring. Bahkan saat masa-masa Jawa Barat menjadi daerah pendudukan, kesatuan-kesatuan Siliwangi yang ditinggal hijrah kerap melakukan serangan gabungan ke pos-pos militer Belanda bersama TII . Seperti yang pernah terjadi pada 26 Januari 1949, saat 30 anggota Yon II Siliwangi bahu membahu bersama 15 prajurit TII menghajar kedudukan militer Belanda di Purwakarta. “Dalam penyerangan itu, pihak Siliwangi dan TII masing-masing kehilangan satu anggotanya,” demikian disebutkan Pusat Sejarah Divisi Siliwangi dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa. Sikap bermusuhan mulai diperlihatkan pihak DI/TII saat rombongan Siliwangi yang berhijrah ke Jawa Tengah secara bertahap melakukan penyusupan kembali ke Jawa Barat melalui long march pada Desember 1948- Maret 1949. Menurut Holk H. Dengel, ketika bataliyon-bataliyon Siliwangi sampai di daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, mereka menemukan selebaran dan plakat yang ditempel pada pohon-pohon. “Selebaran dan plakat itu berisi seruan agar para prajurit Siliwangi secepatnya menggabungkan diri dengan Tentara Islam Indonesia (TII),” tulis peneliti gerakan DI/TII asal Jerman itu dalam bukunya Darul Islam dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang Gagal . Sebagian besar anggota Divisi Siliwangi tentu saja menolak seruan tersebut. Sejak itulah, sebutan tentara liar atau walanda hideung (Belanda berkulit hitam) yang ditujukan kepada para tentara hijrah mulai sering terdengar dari kubu DI/TII. Bahkan bukan hanya ejekan, organ-organ bersenjata DI/TII secara sengaja kerap menembaki rombongan tentara Siliawangi yang baru tiba di perbatasan Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Hal itu dialami pula oleh peleton Asikin Rachman dari Yon Huseinsjah yang pernah kehilangan beberapa anggotanya saat mereka tiba di kawasan Kalapanunggal (masuk Majalengka). “Awalnya mereka menjamu kami dengan makanan enak, tetapi setelah kami lengah dan tertidur mereka berusaha menyembelih kami satu persatu,” kenang mantan perwira menengah di Kodam V Jaya tersebut. Sadar bahwa situasi itu hanya akan menguntungkan pihak Belanda, para pimpinan Siliwangi tidak cepat terpancing dengan provokasi-provokasi tersebut. Alih-alih membalas, mereka malah menawarkan dialog dan kerjasama kembali dalam menghadapi militer Belanda di Jawa Barat, seperti yang pernah dilakukan oleh Yon Nasuhi di Ciamis. Pihak DI/TI setuju untuk mewujudkan ide tersebut, namun dengan dua syarat: anak-anak Siliwangi harus bertaubat kepada Allah Swt. terlebih dahulu dan menerima bulat-bulat adanya suatu negara berdasarkan Islam di Indonesia. “ Siapa pula orang Siliwangi yang mau menerima tuntutan-tuntutan keblinger seperti itu?” ujar Sayidiman Suryohadiprojo. Gagal dengan upaya itu, Siliwangi berusaha untuk tidak patah arang. Pada pertengahan Februari 1949, saat pasukan Kapten Machmud Pasha berhasil menangkap Panglima Divisi DI/TII Agus Abdullah, tawaran damai tetap disodorkan. Diadakanlah kemudian suatu perjanjian tertulis antara pihak DI/TII dengan TNI (diwakili Divisi Siliwangi) untuk tidak saling menyerang serta bahu membahu kembali menghadapi militer Belanda. “Pihak DI/TII ternyata mengkhianati kesepakatan itu. Mereka berdalih perundingan tersebut dilakukan di bawah ancaman senjata…” demikian tulis Pusjarah Divisi Siliwangi. Singkat kata, kedua pihak akhirnya memilih “jalan pedang” untuk mencapai tujuannya masing-masing. Selanjutnya, perseteruan antara Divisi Siliwangi (baca:TNI) dengan TII terus berlangsung hingga penyerahan kedaulatan dilakukan Belanda kepada Indonesia pada 27 Desember 1949. Memasuki tahun 1950, perlawanan DI/TII bukannya melemah, malah semakin menebarkan jaringnya ke wilayah luar Jawa seperti Kalimantan Selatan, Aceh dan Sulawesi Selatan. Untuk mematahkan perlwanan DI/TII, Siliwangi lantas melangsungkan upaya kontra gerilya lewat Operasi Baratayudha atau lebih populis disebut sebagai Operasi Pagar Betis. Secara militer, operasi ini berjalan baik. Itu terbukti dengan menyerahnya pemimpin tertinggi DI/TII Sekar Maridjan Kartosuwirjo menyerah kepada Yon Kudjang Divisi Siliwangi pada 4 Juni 1962 di kaki Gunung Geber (masuk wilayah antara Garut dan Tasikmalaya). Dengan diakhirinya gerakan ini, perlawanan DI/TII tertabalkan sebagai salah satu perang saudara paling panjang dalam sejarah politik di Indonesia, yakni berlangsung hampir 13 tahun. “Jumlah korban tewas (termasuk penduduk sipil) hingga Agustus 1962 secara resmi disebut mencapai angka 22.895 jiwa…” tulis Holk H.Dengel

bottom of page