top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pramoedya dan Gelanggang Asia-Afrika

    KONFERENSI Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung memang tak melahirkan badan atau lembaga internasional yang permanen. Namun, KAA berhasil memantik konferensi-konferensi antar-regional dari berbagai golongan. Salah satunya The Asian-African Writer’s Conference atau Konferensi Pengarang Asia-Afrika (KPAA) I di Tashkent, Uzbekistan pada 1958. Pramoedya Ananta Toer turut hadir sebagai ketua delegasi Indonesia. KPAA di Tashkent 1958 itu sendiri, menurut Kumiko Makino dalam artikel “Afro-Asian Solidarity and the Anti-Apartheid Movement in Japan” yang termaktub di buku A Global History of Anti-Apartheid: “Forward to Freedom” in South Africa , adalah kelanjutan lebih luas dari konferensi serupa, Konferensi Pengarang Asia di New Delhi, India, pada 23 Desember 1956.  Diskusi para pengarang dari berbagai negara Asia itu tak hanya membicarakan masalah sastra dan literatur semata, tapi juga membicarakan kebangkitan Asia untuk lepas dari belenggu kolonialisme di masa pergolakan dan perubahan zaman. Para pengarang dan sastrawan juga bisa, bahkan dintuntut berperan memainkan momentum itu untuk membawa perbedaan dan perubahan di negeri masing-masing. Indonesia saat itu belum turut serta. Konferensi Pengarang Asia yang diprakarsai Progressive Writer Association itu baru diikuti delegasi dari India, Burma (kini Myanmar), China, Korea Selatan, dan Vietnam. Ketika itu Pram belum lama pulang dari kunjungannya ke Peking (kini Beijing), China. “Pada bulan Oktober 1956, Pramoedya melawat ke Beijing atas undangan Lembaga Sastrawan China Pusat untuk menghadiri peringatan ke-20 meninggalnya pujangga Lu Sin. Di China inilah ia memperoleh pengertian yang agak luas tentang pentingnya faktor rakyat jelata dalam pembinaan bangsa yang kuat-padu bersama dengan pembangunan yang menyeluruh. Ia mulai merasa curiga terhadap kemajuan sosio-ekonomi Barat,” tulis Koh Young-hun dalam Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia. Terlepas ia menelurkan novel Korupsi  (1954) yang mengkritik merajalelanya praktik korupsi para pejabat pemerintahan dan lemahnya penegakan hukum, Pram tetap mendukung ide-ide revolusioner Presiden Sukarno tentang Demokrasi Terpimpin. Dukungan itu, lanjut Koh, disampaikan melalui artikel “Jambatan Gantung dan Konsepsi Presiden” yang dimuat Harian Rakjat  edisi 28 Februari 1957. “Bersama dengan (pelukis) Henk Ngantung dan (sineas) Kotot Sukardi, Pramoedya membentuk delegasi seniman supaya menyatakan siap mendukung cita-cita ‘demokrasi terpimpin’ tersebut. Delegasi seniman yang terdiri dari 67 orang itu menghadap presiden pada bulan Maret 1957. Kemudian pada 28 Desember 1957, Pramoedya dilantik sebagai anggota penasihat Kementerian Petera (Pengerahan Tenaga Rakjat),” tambahnya. Dari Tashkent ke Beijing (Lagi) Kedekatan Pram dengan rekan-rekan seniman membawanya turut mendirikan kelompok diskusi “Simpat Sembilan”, medio Juli 1958. Menurut Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer dalam Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer , Simpat Sembilan merupakan singkatan dari “Simpang Empat dan Sembilan”. “Karena anggotanya sembilan orang: Mas Pram sendiri, Mas Wiek (Walujadi Toer), saya, guru sekolah SMA di Rawasari Hidayat Wikantasasmita, tiga orang wartawan APB yang berkantor di Gang Tengah, seorang di antaranya bernama Jamhur Yusuf, mahasiswa UI (Universitas Indonesia) Piet Santoso, dan seorang lagi yang sekarang saya sudah lupa namanya. Kelompok diskusi itu untuk membicarakan masalah-masalah hangat dalam perpolitikan Indonesia,” tulis Koesalah dan Soesilo. Sebagai anggota penasihat Kementerian Petera dan perwakilan para seniman, Pram tak hanya diikutsertakan tapi juga memimpin delegasi Indonesia untuk menghadiri Konferensi Pengarang Asia-Afrika I yang dihelat di Tashkent, ibukota Uzbekistan kurun 7-13 Oktober 1958. Anggota delegasi Indonesia lainnya yakni: sastrawan cum  anggota Lembaga Kebudajaan Rakyat (Lekra) Utuy Tatang Sontani dan Dodong Dwipraja. “Dalam perjalanan udara, Pramoedya menuliskan pengalamannya kepada putranya, Yudi, menyarankannya membuka atlas sekolah untuk membuka peta Asia demi melacak perjalanannya melalui sungai-sungai, pegunungan, dan kota-kota yang dilewatinya. Ia berangkat dari Jakarta dengan maskapai Qantas menuju Singapura dan dilanjutkan dengan maskapai Cathay Pacific hingga transit dan bermalam di Bangkok (Thailand) sebelum lanjut lagi menuju Delhi dengan maskapai Air India,” tulis Su Lin Lewis dalam artikel “Skies that bind: Air travel in the Bandung era” yang termaktub di buku Placing Internationalism: International Conferences and the Making of the Modern World. Setibanya di Delhi, lanjut Lewis, Pram lebih terkagum-kagum lagi dengan armada lain maskapai Air India dengan rute Delhi-Tashkent berupa pesawat jet Ilyushin yang dua kali lebih besar dari pesawat manapun yang pernah ia tumpangi. Kebetulan, kerjasama maskapai Air India dan Aeroflot asal Uni Soviet baru membuka rute Delhi ke Moskow via Tashkent pada Agustus 1958, dua bulan sebelum dihelatnya KPAA. KPAA dihadiri sekitar 140 pengarang, sastrawan, dan sebagainya dari 36 negara. Di antaranya Nâzim Hikmet (penyair Türkiye), Faiz Ahmad Faiz (penyair Pakistan), Mulk Raj Anand (sastrawan India), Mao Dun (sastrawan China), Mário Pinto de Andrade (penyair Angola), Marcelino dos Santos (penyair Mozambik), Ousmane Sembène (pengarang dan sineas Senegal), dan sosiolog cum  sejarawan dan aktivis HAM Afrika asal Amerika Serikat William Edward Burghardt Du Bois sebagai undangan kehormatan. KPAA dibuka secara resmi oleh Ketua Komite Persiapan KPAA Sharaf Rashidov dan dilanjutkan penyampaian pesan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev, yang diperantarakan anggota Presidium CC Partai Komunis Soviet, N.A. Mukhitdimnov. William Du Bois sendiri diberikan tempat untuk berpidato di hari kedua. “Dengan perwakilan yang lebih banyak dari Afrika daripada Konferensi Bandung (KAA, red) ‘55, Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, ibukota kuno Uzbekistan ini menjadi konferensi internasional paling penting yang pernah diadakan. Sekarang para cendekiawan dari Afrika dan Asia hadir di Tashkent yang mulanya sebagai orang asing, kini selangkah lebih dekat menuju persatuan menghadapi jiwa umat manusia yang terganggu dari masa lalu yang penuh kegelapan,” ungkap potongan pidato Du Bois yang disambut standing ovation , dikutip Gerald Horne dalam Black and Red: W.E.B. Du Bois and the Afro-American Response to the Cold War, 1944-1963. Pram kembali ke tanah air pada 21 Oktober 1958 dengan rute berbeda: Taskent-Turkmenistan-Moskow-Siberia-Beijing-Rangoon-Jakarta. Dalam rangkaian perjalanan itu ia juga menyempatkan diri untuk kembali bertandang ke Beijing guna menemui para kolega sastrawan dari China. “Kunjungan Pramoedya kedua kali memang bersilang jadwal dengan Konferensi Pengarang Asia dan Afrika di Tashkent. Setelah konferensi, Pram pulang via China. Ia mengunjungi Peking, Wuhan, Chengdu, dan Kunming. Sejak kunjungan itu otoritas dan cendekiawan China sudah menganggap Pramoedya mulai memahami konsep politik front nasionalis dan demokratik. Kedatangannya di beberapa kota bahkan disambut dengan acara-acara yang cukup besar. Pramoedya tidak lagi menjadi sekadar pengamat tapi juga partisipan aktif dalam romantisme revolusi China,” tulis Hong Liu dalam artikel “Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a Cultural Intellectual” yang dimuat dalam Jurnal  Indonesia No. 61 , April 1996. Hasil dari lawatannya dari Tashkent hingga ke China itu juga melahirkan terjemahan novel  Ibunda  (1958) dari karya Maxim Gorky, Mat  (1906). Karya itu dianggap sebagai peletak dasar konsep ‘Realisme Sosialis’, dan mendorong Lekra mengundang Pramo ke Kongres Nasional I Lekra di Solo pada 22-28 Januari 1959. “Pada Januari 1959 dalam laporannya kepada (kongres) Lekra tentang Konferensi Pengarang Asia-Afrika, Pramoedya menegaskan beberapa tema sentral yang sudah pernah ia uraikan dua tahun sebelumnya. Ia mengakui bahwa di masa lalu ia menganggap sastra hanya sekadar ekspresi pemikiran pribadi tanpa menyadari bahwa seorang individual adalah juga sebuah entitas sosial. Ia juga mengakui pengaruh Lekra dalam membentuk perspektifnya mencintai rakyat. Kemudian Pramoedya menyatakan bahwa pengarang punya tugas penting untuk ikut mengubah keadaan sosial dalam masyarakat,” tambah Hong Liu. Setelah kongres itu, rapat pleno Lekra menghasilkan pemberian keanggotaan kepada Pram. Meski di kemudian hari ia tak banyak punya peran dalam Lekra, melainkan lebih sering menyibukkan diri mengasuh rubrik “Lentera” di harian Bintang Timur  dan menulis artikel di edisi mingguannya, Bintang Minggu. Setelah lebih sibuk dengan karya-karyanya yang lain, baru di masa senjanya Pram menyinggung kembali perspektif solidaritas bangsa Asia-Afrika dalam semangat KAA 1955  yang diprakarsai Bung Karno dan KPAA 1958 yang pernah ia hadiri. Tepatnya ketika mengisi orasi budaya sekaligus memperingati KAA dan Hari Buku Internasional di Bandung, pada 23 April 2003. “Menurut Pram, sampai-sampai bangsa-bangsa Afrika berkata, ‘Sukarno, perintahlah kami, maka kami akan bergerak.’ Dan kebersatuan kulit berwarna, Asia-Afrika ini mengguncangkan Barat. Siapa yang tidak pusing, Eropa sudah susah akibat perang, masalah ekonomi, industri dan nuklir. Apakah mereka berani menghadapi masalah lain: kebangkitan bangsa-bangsa yang mereha hisap dan membuat begitu kaya?” tandas penyair Eka Budianta dalam Mendengar Pramoedya.*

  • Ketika Pram Dipenjara Gegara Membela Etnis Tionghoa

    SEBUAH beleid yang diskriminatif dan rasialis pada akhir 1959 memicu gejolak di kalangan masyarakat Tionghoa. Beleid yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 (PP 10/1959) tentang Larangan Bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang  Bersifat Asing Diluar Ibu Kota Daerah Swatantra Tingkat I dan II serta Karesidenan yang ditetapkan pada masa awal Demokrasi Terpimpin, 16 November 1959. Dampak PP 10/1959 begitu terasa, khususnya bagi orang-orang Tionghoa yang belum memegang surat kewarganegaraan. Terbitnya PP tersebut mendorong lebih dari 100 ribu warga Tionghoa eksodus dari Indonesia. Mereka yang menolak pergi dan berstatus stateless  harus siap menghadapi tekanan dan tindakan-tindakan represif aparat keamanan. Seperti yang terjadi pada dua perempuan Tionghoa di Cimahi medio Juli 197. Nyawa keduanya tuntas di ujung senapan personel Divisi Siliwangi hanya karena menolak meninggalkan rumahnya.  Gejolak tersebut tentu tak luput dari amatan Pramoedya Ananta Toer yang masih kuli tinta di suratkabar Bintang Timur.  Kritik-kritiknya pun menyasar praktik diskriminatif tsebut . “Pramoedya Ananta Toer mengkritik dan mengecam PP-10 yang dianggap rasialis. Ia menulis serangkaian artikel secara bersambung di Bintang Minggu  (edisi minggu koran Bintang Timur ),” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik. Pram tak hanya menuliskan kritik lewat artikel-artikelnya. Mengutip buku 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa: Pramoedya Ananta Toer , situasi itu juga mendorongnya membuat surat-menyurat dengan sejumlah penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia. Penggabungan artikel-artikel berisi kritik dan surat-menyuratnya itu lantas menghasilkan buku Hoakiau di Indonesia  yang diterbitkan Bintang Press  pada 1960.  Buku itu bukan karya pertama Pram yang menyinggung tentang etnis Tionghoa. Sudah sejak lama Pram menyisipkan karakter-karakter Tionghoa dalam karya-karya fiksinya, seperti dalam novel Perburuan.  Novel itu ditulisknya selama dipenjara di Bukit Duri pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan baru diterbitkan Balai Pustaka  pada 1950.  Novel lainnya yang juga melibatkan karakter peranakan Tionghoa beserta latar kehidupan singkatnya yakni Bukan Pasar Malam,  terbitan Balai Pustaka  tahun 1951. Kendati Pram menempatkan kritik terhadap etnis Tionghoa dalam karakter-karakter di novel itu, nuraninya berontak pada penguasa ketika beleid meresahkan di keluar. Terlebih Pram baru kembali dari China.  Pramoedya Ananta Toer, 1950-an. (Repro Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay ). Argumentasi Berujung Penjara PP 10/1959 bagi Pram merupakan bentuk diskriminasi sosial. Beleid itu tidak hanya memaksa orang-orang Tionghoa menutup usaha mereka tapi juga dilarang tinggal di wilayah Indonesia. Bagi yang bertahan, mereka terpaksa pindah dari pedalaman atau perkampungan ke perkotaan yang berujung pada terbatasnya ruang gerak mereka. Dalam kondisi yang penuh aroma rasisme itulah, Pram menulis Hoakiau di Indonesia  dari sembilan artikelnya di Bintang Minggu. David Reeve dalam Tetap Jadi Onghokham menulis ,  bahan-bahan argumentasi sejarah dan kritik dalam artikel-artikel itu dikumpulkan selama 12 hari untuk diterbitkan dalam Hoakiau di Indonesia . Pram menggunakan istilah “ Hoakiau ” untuk orang Tionghoa Indonesia dengan alasan bahwa terminologi baru diperlukan untuk keluar dari pemikiran tradisional. Kata Hoakiau  sendiri berasal dari lema “ Hua ”, yang merupakan etnis terbesar di China, dan “ kiau/qiao ” yang artinya tinggal di luar negeri atau di negeri rantau.  “Tulisan ini diterbitkan sejak terjadinya gegeran Hoakiau di Indonesia. Ternyata kemudian bahwa tulisan-tulisan (di Bintang Minggu ) tersebut telah dikutip, diterjemahkan, dan dimuat oleh harian-harian lain, tidak kurang dari 10 harian di seluruh Indonesia, baik secara kontinu ataupun tidak, sehingga mau tidak mau penyusun menarik perhatian umum,” tulis Pram di bagian “Perkenalan” dalam buku tersebut.  Dalam buku itu, Pram menguraikan gugatan dan argumentasinya terhadap etnis Tionghoa yang sudah datang, berdiam, beranak-pinak sejak sebelum republik berdiri. Sebagaimana dicatat Muhammad Muhibbuddin dalam Pramoedya Ananta Toer: Catatan dari Balik Penjara , Pram menguraikan sejarah orang Tionghoa datang ke Nusantara serta peristiwa-peristiwa dalam hubungan orang Tionghoa dengan kalangan bumiputera. Baik dalam kebudayaan, perekonomian, hingga perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang kajiannya didasarkan pada beberapa sumber sejarah seperti peristiwa Geger Pecinan (1740).  “(Orang-orang Tionghoa) bukanlah pendarat dari luar negeri. Mereka sudah ada sejak nenek moyang kita. Mereka itu sebenarnya orang-orang Indonesia, yang hidup dan mati di Indonesia juga, tetapi karena tabir politik, tiba-tiba menjadi orang asing yang tidak asing,” sambung Pram dalam bukunya itu.  Pram tentu juga mengakui bahwa ada sisi-sisi negatif dari orang Tionghoa baik dulu maupun sekarang dalam konteks Indonesia. Pram menggunakan “metode” historis dengan mengkaji segala aspek masyarakat Tionghoa, bukan hanya dari surat-menyuratnya dengan sejumlah penulis Tionghoa yang ia temui kala berkunjung ke China tapi juga studi pustaka lewat buku-buku tentang sejarah Indonesia karya budayawan dan sejarawan Dr. Andries Teeuw atau Gertrudes Johannes Resink.  “Di antaranya (aspek negatif) adalah kegemaran orang Cina untuk melakukan ekspansi ke negara atau daerah lain. Perilaku orang Cina semacam ini, kata Pram, merupakan cermin dari mentalitas kolonial dan imperialis. Namun, mentalitas semacam ini ada di setiap bangsa. Karenanya, dalam pandangan Pram, aspek positif warga Cina di Indonesia masih lebih banyak bila dibandingkan sisi negatifnya,” tulis Muhibbuddin.  Namun yang utama dalam bukunya itu, Pram menegaskan kritiknya terhadap penguasa dan implementasi PP 10/1959 lewat operasi militer di Cimahi yang menimbulkan korban dan berhilir pada terganggunya hubungan Indonesia-China. Menurut Sumit Kumar Mandal dalam esai “Strangers who are not Foreign” yang terdapat dalam edisi terjemahan bahasa Inggris buku Pram, The Chinese in Indonesia , Pram menciptakan bahasa gugatan dan argumentasi sejarah yang lebih dari sekadar pembelaan sederhana terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Pram, sambungya, mengekspresikan perspektifnya bahwa sangat penting untuk memahami orang-orang Tionghoa sebagai kalangan minoritas agar mendapat gambaran yang lebih jernih tentang bangsa dan rakyat Indonesia itu sendiri.  “Hanya Kolonel Kosasih, panglima militer Jawa Barat (Divisi Siliwangi, red. ) yang menjalankan perintah larangan presidensial (PP 10/1959) dengan mengusir paksa ratusan pedagang Tionghoa. Operasi Kolonel Kosasih ini mengganggu upaya Soekarno untuk mempertahankan hubungan diplomatik dengan China dan aksi provokatif sang kolonel membuat Kedutaan China di Jakarta mengintervensi membela mereka yang terusir,” tulis Mandal.  Meski Presiden Sukarno sempat membela sang panglima, lanjut Mandal, pemerintah akhirnya membuka opsi dwi-kewarganegaraan beberapa bulan pasca-dikeluarkannya PP 10/1959. Adapun hubungan diplomatik Indonesia-China mulai diperbaiki seiring kunjungan Menteri Luar Negeri China, Chen Yi, medio April 1961.  “Pramoedya mengekspresikan kekecewaan dan kemarahannya yang mendalam tentang arti modernitas di masa itu. Pramoedya menuliskan, bahwa sementara era modern membawa banyak manfaat bagi kemanusiaan, di sisi lain menjadi paradoks bahwa kemanusiaan itu sendiri berada dalam bahaya selama, ‘terdapat manusia yang tak ingin hidup sebagai manusia tetapi sebagai binatang’,” tambahnya.  Terbitnya Hoakiau di Indonesia  pun menuai reaksi dari pemerintah. Buku itu tercatat jadi karya Pram pertama yang dilarang beredar di Indonesia. Pram sedang tour  manca-negara ke Bombai (India), Kairo (Mesir), dan China kurun Juli-Agustus 1960 ketika mendengar Hoakiau di Indonesia  dilarang pemerintah.  Maka sepulangnya ke tanah air, Pram dipanggil Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). Ia diinterogasi staf Peperti Mayor Sudharmono (kelak Wakil Presiden RI ke-5 periode 1988-1993) dan langsung ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Jakarta.  “Pramoedya menerima surat penahanan yang dikeluarkan (kepala staf Angkatan Darat) Jenderal A.H. Nasution, ironisnya orang yang sama pada 1958 mengapresiasi Pram lewat suratnya karena telah membantu Angkatan Darat dalam memadamkan pemberontakan di Sumatera Barat (pemberontakanPemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta, PRRI/Permesta),” lanjut Mandal.  Pram ditahan dengan dalih menjual Indonesia kepada China melalui bukunya itu. Setelah beberapa bulan mendekam di RTM Jakarta, pada Februari 1961 Pram dipindahkan ke Penjara Cipinang dengan tuduhan lain: merencakan pelarian atau membuat kerusuhan.  Kabar tentang penahanan Pram sampai ke mancanegara lewat perjuangan istrinya, Maemunah Thamrin, yang tengah hamil tua via protesnya di media-media massa. Sejalan dengannya, para aktivis Tionghoa di Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) juga tak tinggal diam.  “Dalam sebuah rapat rutin pengurus harian Baperki, Thio Thiam Tjong memberitahukan Pramoedya ditahan. Kata-kata Thio Thiam Tjong seolah merupakan teguran bagi kami: ‘Masalah Hoakiau telah mengakibatkan penulisnya ditahan. Apakah kita akan diam saja? Apakah kita akan pura-pura tidak tahu? Kita ini seharusnya kan masih memiliki nurani,” kenang aktivis Baperki, Oei Tjoe Tat dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno. Oei Tjoe Tat pun jadi utusan Baperki untuk mengontak keluarga Pram demi memperjuangkan keadilan bagi Pram. Perjuangan itu tak sia-sia meski Pram baru dibebaskan pada akhir 1961 setelah setahun mendekam di RTM Jakarta, Penjara Cipinang, dan jadi tahanan rumah. Simpati dan perhatian Baperki lantas jadi penyambung kedekatannya dengan Pram. Baperki kemudian menawarkan Pram jadi dosen sejarah di Universitas Res Publica (kini Universitas Trisakti) di bawah asuhan Baperki.  Jauh setelah itu, selepas Pram bebas dari Pulau Buru pada 1979, ia tetap memberi perhatian lebih pada kebudayaan Tionghoa, khususnya dalam kesastraan Melayu-Tionghoa. Dalam beberapa kesempatan, ia turut jadi tim editor atau tim penyusun dalam sejumlah karya dengan latar belakang masyarakat Tionghoa dengan lingua franca Melayu di masa kolonial, di antaranya Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia  (1982), Hikayat Siti Mariah  (1987), dan Cerita dari Digul (2001).  “Dalam pengantarnya untuk Hikayat Siti Mariah  (karangan Haji Moekti), Pramoedya menyebut golongan Tionghoa sebagai golongan yang penting bagi perkembangan sastra Melayu Lingua Franca . Penilaian itu disertai analisis mengenai posisi golongan tersebut dalam masyarakat Hindia Belanda yang menurut Pramoedya memungkinkan mereka untuk relatif merdeka dan leluasa dalam memproduksi teks berbahasa Melayu, dibandingkan golongan lain. Namum Pramoedya tidak menggunakan istilah ‘Melayu Tionghoa’, dan dalam tulisannya tidak terdapat usaha untuk membedakan antara teks Melayu Lingua Franca yang ditulis orang Tionghoa dengan yang ditulis pengarang lain,” tandas Katrin Bandel dalam Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas .*

  • Kisah Pram dan Gadis Belanda Tanpa Nama

    TAK ada yang begitu berkesan bagi Pramoedya Ananta Toer kala menetap di Belanda, kecuali perkenalannya dengan seorang gadis di Taman Vondel, Amsterdam. Gadis Belanda tanpa nama itu dengan ramah menyapa Pram lebih dulu. Dari perkenalan singkat itu, keduanya lantas menjalin hubungan percintaan. “Di Belanda inilah suatu kali saya bertemu dengan noni Belanda berpacar-pacaran, sampai dengan hubungan seks,” aku Pram dalam dokumenter On The Record, “Mendengar Si Bisu Bernyanyi: Biografi Pramoedya Ananta Toer” yang diproduksi Lontar Foudation pada 1995. Pram ke Belanda dalam rangka memenuhi undangan residensi kebudayaan yang dibiayai Yayasan Sticusa. Program yang semestinya berlangsung selama setahun itu hanya dijalani Pram separuhnya. Pram tak kerasan berkutat dengan kegiatan Sticusa. Lebih banyak nombok- nya ketimbang pemasukan. Tapi, bersentuhan dengan budaya masyarakat Belanda jadi pengalaman baru bagi Pram. Terkait hubungannya dengan gadis Belanda, Pram mengaku itu berdampak besar terhadap psikologisnya. Sejak kecil Pram dididik dengan keras oleh ayahnya. Apalagi prestasi Pram di sekolah kurang menonjol. Semasa pendidikan dasar, Pram tiga kali tinggal kelas. Dia pun makin dikerasi oleh ayahnya. Yang paling menyakiti hati Pram adalah kekerasan verbal tatkala sang ayah menyebutnya anak bodoh. Pola asuh demikian turut membentuk pribadi Pram. Dia tumbuh jadi anak yang minder, penyendiri, dan penakut. Bahasa psikologinya inferiority complex . Pram menyebutnya penyakit inco . “Saya kan menderita rendah diri karena kekerasan ayah saya dulu. Nggak berani ngomong, nggak berani apa. Itu hilangnya tahun '53 di negeri Belanda,” ujar Pram pada suatu wawancara yang terangkum dalam Pram Melawan  suntingan Hasudungan Sirait. Sepulangnya ke Indonesia, Pram mengisahkan pengalamannya semasa di Belanda. Saat itu, nama Pram sudah mulai disorot dalam dunia kepengarangan berkat karya-karyanya yang melejit seperti novel Keluarga Gerilya , Perburuan , dan kumpulan cerpen Cerita dari Blora . Dalam Majalah Minggu Pagi , 19 Juni 1955, Pram membagikan fakta mencengangkan yang disaksikannya di Belanda. “Disana terlalu banyak gadis-gadis yang keramahan. Dia berani bilang, bahwa 90% tidak ada gadis yang utuh. Kecuali daerah Katolik di Zuid Nederland. Gadis-gadis kalau duduk di HBS (sekolah menengah - red. ) boleh disangsikan. Lapangan-lapangan terbuka, kalau malam berubah menjadi parade dari hati ke hati. Begitulah dia bilang,” ulas Minggu Pagi  sebagaimana tuturan Pram. Masih dalam Minggu Pagi , Pram mengenang pengalamannya mengunjungi distrik merah di Amsterdam, tempat di mana banyak wanita menjajakan diri, berdiri di etalase seperti reklame. Pram juga membeberkan sedikit kisah pribadinya dengan gadis Belanda. Tapi, Pram hanya mengulik sedikit, tak seterang benderang pengakuannya berpuluh tahun kemudian. Atau, Pram bisa jadi mengaburkan sebagian cerita yang sebenarnya. “Suatu kali ia duduk sendirian di sebuah taman. Ada gadis duduk pula disitu. Ia ingin. Tanya ini tanya itu. Akhirnya kena. Tetapi ia tak jadi, karena gadis itu sakit. Ia ketakutan dan pergi tersipu-sipu,” demikian Pram seperti dikisahkan dalam Minggu Pagi . Nyatanya, hubungan Pram dengan gadis Belanda kian rapat. Dalam otobiografinya yang ditulis semasa penahanan di Pulau Buru pada 1975, Pram mengaku perkenalannya dengan gadis Belanda berkembang jadi persahabatan. Si gadis sekali waktu mengundang Pram datang ke tempatnya. Ketika Pram bertandang, si gadis menghadiahinya novel karya penulis Prancis Romain Roland, serta menjamu Pram penganan. Barangkali semacam makam malam romantis seperti zaman sekarang. “Dari percakapan-percakapan dan pergaulan dengannya, mulai aku mengerti, bahwa bukan aku, tetapi orang Eropalah yang semestinya menderita kompleks terhadap orang Asia karena dosa nasional berabad selama ini. Dan sahabat baru itu sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda menderita sesuatu kompleks,” kata Pram dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2. Kompleks yang dimaksud Pram tentulah  inferiority complex yang menjadi kelemahannya di masa muda. Menurut Pram penyakitnya itu sembuh setelah menjalin hubungan dengan gadis Belanda. Dalam dokumenter tentang dirinya yang rilis 42 tahun setelah kejadian di Belanda, Pram secara jujur mengakui, pertama kali melakukan hubungan seks dengan orang Belanda, ternyata perasaan inferioritas itu lenyap sama sekali. “Saya merasa sederajat dengan siapapun setelah melakukan hubungan seks dengan orang Belanda,” kata Pram. Pada berbagai keterangan tertulis maupun wawancara, Pram tak sekalipun menyebut nama si gadis Belanda. Sosoknya begitu misterius. Namun, yang terang, “Saya masih merasa berterimakasih kepada pacar Belanda saya,” tutup Pram.*

  • Pramoedya Melancong ke Negeri Belanda

    PRAMOEDYA Ananta Toer suatu hari jalan-jalan menyusuri Taman Vondel di Kota Amsterdam. Di taman yang indah itu, Pram melihat banyak orang lalu-lalang menikmati udara hangat. Hari itu sedang musim panas. Pram sendiri sedang butuh tempat untuk merenung. Gara-gara mengidap sikap minder dalam dirinya, Pram susah bergaul dengan orang-orang Belanda. “Aku duduk seorang diri di atas bangku beton taman. Kemudian duduk seorang wanita muda. Ia mengajak bicara. Ia begitu ramah. Bahasanya bahasa sekolahan, bukan lidah Jordan yang aku tidak begitu paham,” tutur Pram kepada salah satu putrinya, Anggraini, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Catatan-catatan dari Pulau Buru Jilid II. Pram mendapati bahwa gadis Belanda kenalannya itu seorang terpelajar. Minat mereka pada sastra pun nyambung . Si gadis bicara panjang tentang sastra Prancis. Pram hanya tahu Victor Hugo, Emile Zola, dan Honore de Balzac dari sejumlah sastrawan yang dibincangkan sang gadis. Meski percakapan mereka agak terkendala bahasa, menurut Pram gadis itu tidak menggurui. Dari perjumpaan pertama, Pram sudah terpikat pada kepribadian si gadis Belanda. “Cara dan gaya bicaranya itu terkesan padaku seakan-akan aku bukan orang bekas jajahannya, bahwa tak ada perbedaan antara orang Asia dengan orang Eropa. Ia tidak mengganggu pendalamanku,” kenang Pram. Program Sticusa Kunjungan Pram ke Belanda berlangsung pada pertengahan 1953. Usia Pram baru 28 tahun kala itu dan dikenal sebagai pengarang muda sekaligus penyunting di Penerbit Balai Pustaka . Tersebutlah andil Yayasan Stichtung voor de Culturele Samenwerking  (Sticusa), lembaga kerjasama kebudayaan Indonesia-Belanda. Sticusa mendapuk Pram sebagai salah satu penerima program residensi pertukaran seniman selama setahun. Yayasan Sticusa didirikan di Amsterdam, Belanda pada 1948. Pembentukan lembaga ini bertujuan memajukan kehidupan budaya di negeri-negeri koloni Belanda. Selain Indonesia, Sticusa menempatkan perwakilanya di koloni Hindia Barat seperti Suriname, Antille, dan Aruba. Di Indonesia, kantor Yayasan Sticusa terdapat di Jalan Gadjah Mada, Jakarta dan di Fort Rotterdam, Makassar. Setiap tahun, Sticusa mengadakan kegiatan mengundang seniman-seniman Indonesia untuk berkunjung ke Belanda. Terpilihnya Pram sebagai penerima program Sticusa itu bertepatan setelah dirinya memenangi sayembara penulisan roman Balai Pustaka lewat karya Perburuan  pada 1950. Tidak semua seniman bersedia menerima undangan dari pihak Sticusa. Seperti disebut sastrawan Ajip Rosidi, pelukis seperti S. Sudjojono, Basuki Resobowo, dan Trisno Sumardjo termasuk yang menolak. Sekadar pemberian hadiah cat minyak dari Sticusa pun mereka tidak mau terima. Alasan penolakan bersifat prinsipil karena Sticusa dibentuk pada saat Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang hendak menjajah kembali. Sementara mereka yang menerima tawaran Sticusa antara lain pelukis Kerton Sudjana dan Mochtar Apin serta Sitor Situmorang, Barus Siregar, Gayus Siagian, Aoh K. Hadimadja, Ramadhan K.H, Asrul Sani, dan Pramoedya Ananta Toer dari kalangan sastrawan. Menurut Ramadhan K.H., pengarang yang mendapat undangan dari Sticusa terdiri dari dua golongan. Pertama adalah mereka yang tergolong pengarang biasa. Namanya belum menjulang dalam kehidupan sastra Indonesia. Yang termasuk golongan ini terbilang banyak. Selama program residensi di Belanda, mereka berkewajiban menerjemahkan karangan-karangan tentang kesenian dan kebudayaan Barat ke dalam bahasa Indonesia secara probono alias cuma-cuma. “Golongan yang kedua adalah pengarang yang dianggap terkemuka dan jasanya dalam perkembangan sastra Indonesia luar biasa. Menurut Ramadhan, yang termasuk golongan ini hanya dua orang, yaitu Asrul Sani dan Pramoedya Ananta Toer,” ulas Ajip Rosidi dalam Lekra Bagian Dari PKI . Pram sendiri awalnya merasa dilematis. Antara merasa terhormat dan ragu-ragu ketika menyikapi tawaran Sticusa yang disodorkan Prof. Mr. G.J. Resink. Pram sadar betul saat itu bahasa Belandanya tak cukup bagus. Belum lagi persoalan gangguan kepribadian inferior complex yang menjeratnya sejak lama. Trauma masa kecil akibat perlakuan keras ayahnya menyebabkan Pram tumbuh jadi sosok yang rendah diri. Namun, Pram teringat pesan ibunya agar suatu saat kelak dirinya bisa menimba ilmu di Eropa. “Aku terima undangan itu. Barangkali ada baiknya melihat Eropa, sekalipun tidak belajar,” kata Pram. “Tidak setiap orang mendapat keberuntungan melihat Eropa.” Gadis Belanda Pelipur Lara Sekira Mei 1953, kapal Johan van Oldenbarnevelt  bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok membawa Pram bertualang ke negeri Belanda. Pram tidak pergi sendirian. Sebagai pengarang yang sudah punya reputasi, Pram mendapat keistimewaan berkunjung ke Belanda bersama keluarga. Untuk itu, dia memboyong sang istri Arvah Iljas beserta anak-anak, Poedjarosmi dan Etty Indriarti. Arvah saat itu tengah mengandung Anggraini, putri mereka yang ketiga. Pram mengenang keberangkatannya ke Belanda itu sebagai perjalanan pelayaran yang sungguh menyenangkan. Itulah untuk kali pertama Pram bersama keluarganya melancong ke luar negeri. Setibanya di Amsterdam, pejabat-pejabat Sticusa pusat menyambut Pram sekeluarga dengan hangat. “Begitu kami datang, pembesar-pembesar Sticusa telah duduk-duduk menunggu di ruangan calon tempat tinggal kami di antaranya Direktur Sticusa sendiri Dr. Verhoeven,” kenang Pram. Masa residensi diisi Pram dengan berbagai kegiatan. Mulai dari menyusun teks siaran untuk Radio Hilvesrsum , menulis untuk Sticusa, hingga memeriksa naskah yang akan diterbitkan di Indonesia oleh penerbit  Van Hoeve.  Lain itu, Pram juga tetap produktif menelurkan karyanya. Di Belanda, Pram menyelesaikan novelnya berjudul Midah si Manis Bergigi Emas  yang berlatar Jakarta. Novel Pram yang lain berjudul Korupsi  juga ditulisnya di Belanda dan terbit pada 1954. Menurut adik Pram, Koesalah Soebagyo Toer, meskipun di Belanda Pram tetap rajin mengirimkan naskah karangan ke Indonesia lewat pos. Datangnya naskah Pram dari Belanda bertubi-tubi banyaknya. Kadang-kadang dua kali seminggu. Rencanaya karangan Pram itu untuk diterbitkan oleh agensi kesusasteran, seni, dan budaya Mimbar Penyiaran DUTA (L & L Acy Duta). Sebelum ke Belanda, Pram sempat mendirikan DUTA pada 1952. Setelah Pram ke Belanda, agensi itu dikelola Koesalah untuk sementara waktu. “Karangan berupa ketikan di atas kertas doorslag kuarto , dengan pita biru. Kadang-kadang disertai surat tentang apa-apa yang perlu saya lakukan. Jadi kepergian Mas Pram ke Belanda tidak mengurangi kesibukan saya dengan DUTA,” terang Koesalah dalam Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer . Tapi, lama-lama Pram gelisah juga karena honor yang dia terima tak sebanding dengan pengeluaran. Persoalan itu menyebabkan istri yang mengandung dan kedua anaknya pulang lebih dulu ke Indonesia. Selama di Amsterdam, Pram harus membayar sewa kamar termasuk listrik gas. Begitu pula pakaian Eropa yang dibeli lewat mencicil. Pram mendapati janji lisan dari Sticusa Jakarta bertolak belakang dengan kenyataan di Belanda. Persoalan itu menyebabkan istrinya yang mengandung bersama kedua anak pulang lebih dulu ke Indonesia. Menurut penulis biografi politik Pram, Savitri Scherer dalam Pramoedya Ananta Toer: Dari Budaya ke Politik 1950—1965, pengalaman hidup di Belanda sekaligus jadi pengalaman kali pertamanya hidup dalam masyarakat kapitalistik. Itu membuatnya tidak kerasan tinggal di Belanda. Pandangan kritis Pram tentang kehidupan dan pemikiran Barat tertuang dalam cerita-cerita pendek yang ditulisnya pada periode ini. Alasan Pram tak betah di Belanda, seturut penuturan Koesalah, persis sebagaimana Pram waktu keluar dari ketentaraan di Divisi Siliwangi. Dia menduduki tempat yang membuatnya harus tunduk pada sesuatu yang dianggapnya tak adil. Situasi ini terus berulang padanya, dan ada istilahnya yang barangkali pas, yaitu “masuk dalam hierarki, yang harus menindas ke bawah dan menjilat ke atas.” Sementara Pram ingin menceraikan dirinya dari Sticusa, hubungannya dengan gadis Belanda justru terus berlanjut. Pram memadu kasih dengan perempuan itu sampai ke tingkat intim. Percintaan Pram dengan perempuan lain ini tentu disembunyikannya dari istrinya. Apalagi hubungan Pram dengan Arvah saat itu tengah renggang karena kondisi finansial mereka yang morat-marit. Berpuluh-puluh tahun kemudian, Pram baru mengakui hubungan intim yang terjalin antara dirinya dengan pacar Belandanya itu. Pram bahkan blak-blakan, pengalaman seksual bercinta dengan gadis itulah yang telah menyembuhkan penyakit inferiority complex -nya. “Oh, itu membebaskan saya dari perasaan minder. Jadi dapat pacar bangsa yang pernah menjajah saya. Ingat seks... lihat: dulu dia tuan saya, sekarang saya tidur bersama dia. Hilang itu perasaan minder,” aku Pram dalam sebuah wawancara yang terangkum dalam Pram Melawan  suntingan Hasudungan Sirait, dkk. Pada tahun baru 1954, Pram meninggalkan Belanda. Kepulangannya ke Indonesia sekaligus memotong masa residensinya lebih cepat dari program yang telah ditentukan Sticusa. Dalam suratnya kepada Anggraini yang ditulis pada pertengahan 1975 saat penahanan di Pulau Buru, Pram mengatakan demikian: “Kunjunganku ke Nederland aku anggap sebagai kegagalan dalam arti sosial, tetapi satu hasil yang sangat baik dalam arti psikologis.”*

  • Kisah Romansa Pramoedya

    SEBAGAI sastrawan yang punya nama besar, sosok Pramoedya Ananta Toer digandrungi banyak orang, termasuk kaum hawa. Pram pun tak menampiknya. Dalam suatu wawancara di tahun-tahun terakhir hidupnya, Pram blak-blakan mengaku masih didekati beberapa perempuan. “Saya nggak ngerti kok dapat pacar di mana-dimana. Padahal saya ini jelek. Di Kanada dapat satu tahun 1999. Heran saya itu. Yang terakhir ada di Jerman. Dia datang ke sini saya sudah nggak ingat saking banyaknya,” ujar Pram dalam kumpulan wawancara Pram Melawan  yang disunting Hasudungan Sirait. Berkebalikan semasa mudanya, Pram mesti berjuang keras sekadar bertemu dengan gadis idamannya. Maklum saja, suasananya masih di zaman perang. Cerita bermula sewaktu Pram bertugas di dinas militer sebagai perwira persuratkabaran Resimen 6 Divisi Siliwangi. Dalam tugasnya, Pram sering mondar-mandir di berbagai tempat yang diliputi pertempuran, seperti Kranji, Bekasi, Citeureup, Cibubur, hingga Cibarusa. Dari amatannya di tiap-tiap daerah pertempuran, Pram mencatat segala peristiwa yang terjadi. Hasil reportase itu kemudian dilaporkan Pram ke koran Merdeka  lewat jalur telepon. “Yang menerima berita waktu itu seorang gadis, namanya Aryati. Penerimaannya sangat ramah dan cepat, sampai saya tergila-gila padanya,” kenang Pram kepada adiknya Koesalah dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer . Sekali waktu, Panglima Besar Jenderal Soedirman berkunjung ke Jakarta untuk bertemu dengan para pejabat Belanda. Di Cikampek, markas Resimen 6, rombongan Jenderal Soedirman berhenti. Kesempatan itu dimanfaatkan betul oleh Pram. Dengan berbagai maksud, dia nekat nebeng rombongan panglima. “Waktu itulah saya dengan seragam militer ikut ndompleng keretanya, seolah-olah saya salah seorang pengawalnya. Saya ikut ke Jakarta,” tutur Pram. Setiba di Jakarta, Pram langsung menyinggahi kantor redaksi Merdeka . Letnan II Pram ingin ketemu muka dengan Aryati, yang selama ini selalu berhubungan via telepon. Di kantor Merdeka , Pram diterima oleh Darmawidjaja, seorang pengarang yang juga mantan guru Pram, yang telah menjadi redaktur di Merdeka . Sekalian saja Pram menagih honorariumnya atas berita-berita yang sudah dikirimkannya dari medan perang. Tapi, sial bagi Pram, rupanya tiada honor untuk berita-berita itu. Tak ingin rugi waktu, Pram iseng-iseng menanyakan keberadaan Aryati kepada Pak Darma. “Pak, apa saya bisa bertemu Aryati?” tanya Pram. “Di sini tidak ada yang namanya begitu,” jawab Pak Darma. “Lho, berita-berita yang saya kirimkan itu, kan, dia yang terima,” desak Pram. “Ah, di sini yang ada ya cuma kami-kami ini,” kata Pak Darma menutup pembicaraan. Pram membatin dalam hati. Kedatangannya ke Jakarta setelah berjuang menebeng bersama rombongan Panglima Soedirman ternyata cuma buang-buang waktu. “Wah, sialan!” seru Pram. “Sudah ngga dapat honorarium, nggak ketemu pacar pula.” Pram tak pernah ketemu dengan Aryati. Pun dia tak lama bertugas dalam dinas militer. Pada 1947, Pram memutuskan keluar dari ketentaraan lantaran kecewa dengan apa yang dilihatnya dari dalam. “Karena nggak tahan melihat praktik-praktik korupsi dan kesewenang-wenangan militer. Waktu itu: Kalau menghadapi musuh mereka lari. Tapi kalau menghadapi bangsa sendiri, kejamnya bukan main,” beber Pram. Setelah keluar dari militer, Pram kembali ke dunia tulis-menulis yang disenanginya sebagai jurnalis. Tak lama kemudian, Pram ditangkap oleh tentara Belanda yang melancarkan agresi militer pertama. Ketika dijebloskan ke dalam penjara Bukitduri, Jatinegara itulah Pram untuk kali pertama bersua dengan istri pertamanya, Arvah Iljas. Saat itu, Arvah bekerja sebagai operator telepon di Kantor Pusat Telepon Gambir yang dikuasai Belanda. Sesekali Arvah mengunjungi para tahanan di penjara Bukitduri. Tanpa tahu namanya, Pram tak bisa melupakan Arvah pada pandangan pertama. “Setiap minggu ia datang, dan aku melamarnya dengan ketentuan, bila ia mau 'mengajari aku mencintainya',” kenang Pram kepada Anggraini, putrinya yang ketiga dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2 . Pada 1949, Pram dibebaskan menjelang pengakuan kedaulatan. Di tahun berikutnya, Pram mengikat Arvah dalam pernikahan pada13 Januari 1950. Pernikahan itu melahirkan tiga putri bagi pasangan Pram-Arvah. Namun, rumah tangga itu kandas setelah berjalan empat tahun.*

  • Masa Belia Sang Pujangga

    PANDANGANNYA yang dibantu kacamata terpaku pada lembar kertas yang terselip di sebuah mesin tik tua. Kedua tangannya “melayang” di atas tuts-tuts mesin ketik yang bergantian ditekan jari-jemarinya. Serius. Begitulah penampilan Pramoedya Ananta Toer saat bekerja menyelesaikan naskah-naskah yang seolah tak pernah berhenti keluar dari kepalanya. Tak ada banyak barang yang menemaninya selama proses berkarya. Selain peralatan tulis, hanya kacamata yang dikenakannya dan sebatang rokok di bibirnya yang menemaninya. Rokok itu terus mengeluarkan asap alias menyala. “Saya merasa sulit untuk menulis jika saya tidak merokok,” terang Pram, sapaan akrab Pramoedya, dalam kata pengantarnya di buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarette s karya Mark Hanusz. Rokok kretek tak hanya menenami Pram dalam proses berkarya. Ia juga bagian dari hidupnya di masa-masa sebelum “menjadi orang”. Pram yang merupakan putra sulung pasangan di Mastoer Imam Badjoeri dan Oemi Saidah lahir di Blora pada 6 Februari 1925. Ayahnya merupakan seorang guru terpandang yang memiliki kepedulian besar terhadap nasib sebangsanya. Kendati begitu, Pram kecil tak mendapat pengistimewaan dari ayahnya yang keras mendidik kedisiplinan. Sebagaimana anak-anak sebayanya, Pram kecil bermain dengan siapa saja tanpa terkotak-kotak oleh strata sosial. Selain mencari bungkus rokok, biasanya Pram mengajak teman-temannya main di Sungai Lusi saban sore. Di sana, mereka berenang sepuas mereka mau. Di lain waktu, Pram juga mengajak teman-temannya berburu burung menggunakan ketapel. Kendati begitu, rasa penghargaannya terhadap ciptaan Tuhan amat besar. Dengan usia sekecil itu, Pram biasa mengarahkan teman-temannya agar mengarahkan ketapel mereka ke sayap burung. Dengan begitu, burung yang terkena “ pelintengan ” jatuh tapi tidak mati. “Jika kamu tidak obah-polah tidak akan bisa mamah-makan,” demikian semboyan Pram yang selalu dipegangnya, dikutip Muhammad Rifai dalam  Pramoedya Ananta Toer: Biografi Singkat (1925-2006) . Sebagaimana umumnya anak-anak di Jawa, Pram kecil juga diberi tugas berkaitan dengan tanggung jawab di rumah. Tanggung jawab ini bukan soal pelajaran di sekolah, tapi tanggung jawab kehidupan di rumah dan lingkungan sekitar. “Saya membantu ibu saya di ladang, menyiangi dan melakukan tugas-tugas kasar lainnya,” kata Pram. Dengan kehidupannya yang “keras” itu, sejak kecil Pram terbiasa bertanggung jawab dan mandiri. Maka dengan hasrat untuk melanjutkan pendidikan formal yang besar sementara dirinya mengalami kesulitan keuangan, diatasinya menjadi penjual rokok. “Secara finansial, saya selalu mandiri dan tahu bahwa jika saya ingin melanjutkan pendidikan, saya harus mencari uang sendiri. Pekerjaan pertama saya saat kecil adalah berjualan kretek di luar rumah dan kemudian di pasar malam di Blora. Saat pasar malam diadakan, saya mendirikan lapak menjual kretek dan minuman. Lapak saya begitu sukses sehingga selama setahun penuh saya dan saudara laki-laki saya harus bekerja setiap hari dari pagi hingga malam. Jika harus keluar untuk membeli bahan makanan segar, adik laki-laki saya yang menjaganya. Uang pun mengalir deras. Di usia tersebut, itu adalah pengalaman luar biasa. Lapak kami menjadi begitu populer sehingga terkadang semua kretek kami terjual habis dalam dua jam pertama!” kenang Pram. Dengan uang dari hasil berjualan rokok kretek itulah Pram bisa membiayai dirinya sendiri untuk melanjutkan sekolah. Tekad kuat untuk bersekolah itu muncul karena keinginan Pram untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi ditolak oleh ayahnya yang –pernah menyebut Pram bodoh karena tiga kali tidak naik kelas– menginginkan Pram lebih baik mengulang pendidikan dasarnya terlebih dulu. “Kondisi tertekan yang terus-menerus karena perlakuan ayahnya mengakibatkan psikologis Pram labil di masa kecil. Hal ini menjadi persoalan kompleks inferioritas atau rasa minder akut, merasa terkucilkan, tertindas, tertekan, dan merasa tidak diperlukan hidupnya di dunia semenjak kecil,” tulis Muhammad Rifai. Keluarga Toer dan Institut Boedi Oetomo Blora, kota kecil di Jawa Tengah yang berjarak sekira 30 km selatan pantai Rembang, bukan hanya menjadi tempat Dokter Soetomo bertugas sebagai dokter dan menemukan jodohnya, tapi juga menularkan pandangan politiknya. Gairah salah satu pendiri Boedi Oetomo itu dalam memajukan manusia setempat dalam mengikuti zaman diwujudkannya pada 1917 dengan mendirikan Instituut Boedi Oetomo (IBO). Upaya tersebut amat didukung Bupati Blora Raden Mas Said Tirtonegoro. Pun juga Mastoer ayah Pram yang merupakan guru idealis. “Ia seorang pendukung cita-cita Dokter Soetomo dengan Boedi Oetomo-nya. Karena itulah ia memutuskan meninggalkan kedudukan sebagai guru HIS Rembang yang mapan, dan sebagai gantinya mengambil alih sekolah Boedi Oetomo Blora yang baru berumur lima tahun,” kata Koesalah dan Soesilo, adik-adik Pram, dalam Bersama Mas Pram . Mengajar  di IBO yang tak ada campur-tangan pemerintah kolonial menjadi “kemerdekaan” sendiri bagi Mastoer. Maka ketika IBO terlantar setelah ditinggal Dokter Soetomo yang pindah tugas dan Bupati Tirtonegoro yang wafat, Mastoer “turun gunung” untuk mempertahankannya. “Bapak saya membangun sekolah itu menjadi sekolah dasar tujuh kelas dengan merogoh kantong sendiri, tetap dengan nama Instituut Boedi Oetomo,” catat Koesalah dan Soesilo. IBO terus berjalan dan bertumbuh. Pada 1930-an, IBO bahkan menjadi sorotan pemerintah  kolonial. Deli Courant  edisi 19 November 1935 memberitakan, guru IBO yang bernama Raden Mas Soebeki dilarang mengajar oleh pemerintah kolonial dengan alasan demi menjaga ketertiban. Mastoer agak frustrasi dengan keadaan karena pergerakan nasional makin melunak pada 1930-an. Namun, dia terus berkeras dalam mengikis pengaruh kolonial yang masuk ke sekolahnya. Itu dibuktikannya saat ada pawai sebuah acara pemerintah yang melibatkan anak sekolah. Pawai yang antara lain diisi dengan pengibaran bendera triwarna dan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus” itu diperintahkan oleh pejabat-pejabat pemerintah kolonial untuk diikuti semua murid sekolah di Blora. Para murid IBO tak menjadi pengecualian. Lantaran tahu isi acara itu, Mastoer tak bergeming meski permintaan itu datang dari petinggi macam asisten residen. “Ayahku tetap menolak untuk menyanyikan Wilhelmus dan mengangkat Triwarna,” kata Pram dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu . Kekerasan pendirian Mastoer membuat pejabat kolonial melunak dengan tidak memaksakan murid IBO untuk menyanyi lagu kebangsaan Belanda dan mengangkat bendera merah-putih-biru asalkan ikut pawai. Sikap idealis seperti itulah yang didapat Pram dari ayahnya selama menjadi murid di IBO, sekolah yang eksis hingga Jepang menutupnya. Pram sendiri dari 1940-1941 melanjutkan pendidikan di Radio Volkschool Surabaya selepas dari IBO. Sewaktu Jepang berkuasa, Pram telah pindah ke Jakarta, tempat dia melanjutkan pendidikan ke Taman Dewasa/Taman Siswa (1942-1943), lalu Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi yang diampu Bung Hatta dan Maruto Nitimihardjo, dan Sekolah Stenografi (1944-1945) serta Sekolah Tinggi Islam Jakarta pada 1945. Juru Ketik Domei Di masa pendudukan Jepang, Pram menjadi saksi sekaligus korban dari kesulitan makanan. Akibatnya, banyak orang kehilangan nyawa akibat sulitnya mencari makanan. “Singkatnya, setiap hari saya melihat tubuh seseorang yang meninggal kelaparan di pinggir jalan,” kenang Pram di pengantar buku Hanusz. Pram sendiri hanya bisa makan semangkuk bubur sehari ditambah sayuran apapun yang bisa ditemukan di sekitar rumah. Untuk mengatasinya kelaparannya, Pram memperbanyak merokok. “Beras semua ‘lari’ ke Jepang. Jadi kita merokok untuk menghentikan rasa lapar. Ketika saya tiba di Jakarta pada 1942, saya dapat pekerjaan di Domei  –kantor berita resmi Jepang. Setelah beberapa bulan saya berhasil menjadi tukang ketik tercepat di kantor. Bagi siapapun yang ada di kantor, orang Jepang menyediakan rokok, jadi (merokok buat saya, red .) tidak ada masalah. Saya selalu menjadi orang pertama yang mendapat jatah rokok. Tidak sulit –kepala kantor, orang Jepang, telah memilih saya dari semua karyawan di kantor untuk pelatihan lebih lanjut sehingga saya bisa mendapatkan beberapa perlakuan khusus,” sambungnya. Kecewa di Front Timur, Keluar dari Resimen Cikampek Setelah Perang Dunia II rampung usai Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945. Kedatangan tentara Sekutu yang –diboncengi tentara NICA yang ingin menguasai kembali Indonesia– diwakili militer Inggris mulai Oktober 1945 memicu penolakan dari pemuda-pemuda pro-Republik Indonesia. Pram ada dalam barisan itu. Mula-mula, Pram ikut Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan pangkat prajurit dua. Namun karena pekerja keras dan punya pengalaman di Domei, Pram tentu dianggap punya kelebihan dibandingkan kebanyakan pemuda yang kata Sjahrir hanya bisa baris. Maka dalam waktu singkat pangkatnya melompat jadi sersan mayor, lalu pertengahan 1946 menjadi letnan dua. Andries Teeuw dalam  Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer  menyebut, berdasar riwayat yang dibuat Pram, Pram adalah perwira pers yang membawahi satu seksi yang bisa sampai 60 orang. Dia bisa mendatangi daerah Klender, Cakung, Kranji, Bekasi, Lemahabang, Cileungsi, Cibarusa dan Karawang. Sekretariatnya berada di Cikampek. Sebagai serdadu “melek ilmu”, Pram mengadakan taman bacaan untuk para pejuang di Resimen Cikampek dengan buku-buku yang dimilikinya. Pram juga pernah membuat laporan tentang jatuhnya Kranji karena serangan tentara Inggris yang mengerahkan kavaleri lapis baja, meriam-meriam artileri hingga pesawat tempur. Pram termasuk tiga orang terakhir yang berhasil keluar dari pengepungan itu. Laporan itu disampaikan kepada kepala staf resimen, namun kemudian kepala staf itu merobek-robek laporan tersebut. Kendati begitu, salinan laporan lainnya berhasil terkirim ke markas tentara di Yogyakarta. Sebagai hasilnya, mutasi perwira terjadi di Cikampek. Penyerbuan Kranji itu oleh Pram diabadikan dengan pena dengan judul Krandji Bekasi Djatoeh  (1947). Tulisan itu kemudian menjadi bagian dari novel Di Tepi Kali Bekasi . “Selama bertugas di Cikampek ini, ia dapat menulis novel pertamanya, yaitu Sepoeloeh Kepala NICA , tetapi malangnya naskah itu hilang,” tulis Koh Young Hun dalam Pramoedya Menggugat, Melacak Jejak Indonesia . Naskah itu hilang di tangan penerbit. Kehilangan naskah sering dialami Pram. Naskahnya paling sering hilang di tangan tentara, baik tentara Belanda maupun tentara Orde Baru. Ketika bertugas di Cikampek dan sekitarnya itu, Pram melihat pertentangan antara tentara reguler dengan laskar rakyat demikian parah. Bahkan, komandan Resimen Cikampek, Suroto Kunto, sendiri terbunuh. Setelah adanya rasionalisasi, banyak prajurit dikeluarkan. “Rombongan-rombongan prajurit yang diusir tanpa diberi keterangan yang jelas dengan dendam dan sakit hatinya banyak yang masuk dalam tentara Belanda,” catat Pram seperti dikutip Andries Teeuw. Sikap pemerintah dan petinggi tentara yang mengeluarkan tentara-tentara itu mengusik Pram. Dia pun kecewa pada tentara. Selain itu, korupsi juga terjadi di sekitar Pram. Bahkan, tanpa bukti jelas dia dituduh korupsi pula. Pram lalu minta berhenti dari dinas ketentaraan. Sejak Januari 1947, dia  tidak lagi menjadi letnan dua namun tujuh bulan gaji terakhirnya tak pernah dibayarkan padanya. Tanpa uang di saku, Pram lalu nekat naik kereta menuju Jakarta. Dia melompat dari kereta dalam perjalanan agar tidak membayar. Di Jakarta, Pram ditangkap militer Belanda dan dipenjarakan di Penjara Bukit Duri, dekat Pasar Jatinegara. Di dalam penjara itu dia menulis novel Perburuan , yang belakangan difilmkan. Dia baru bebas menjelang 27 Desember 1949, hari ketika kedaulatan RI diakui oleh Belanda.*

  • Minuman Keras Champarade dari Tjampoer Adoek

    KEDAI minuman merupakan tempat hiburan populer di Batavia pada abad ke-17. Jumlah kedai minuman, yang dapat dikenali dari kaleng timah atau kendi tembikar, sangat banyak di kawasan Batavia. Seiring meningkatnya aktivitas perdagangan VOC, jumlah orang Eropa yang datang ke Batavia terus bertambah. Mereka datang sebagai bagian dari VOC, mulai dari pelaut, pedagang, hingga tentara. Bagi banyak orang, hidup merantau bukanlah hal mudah. Selain harus bekerja jauh dari rumah dan keluarga, orang-orang Eropa di Batavia juga harus beradaptasi dengan lingkungan dan iklim yang berbeda dari negara asalnya. Di masa awal kehadiran permukiman orang Eropa di Batavia, tak banyak hiburan yang bisa dilakukan di sana. Orang-orang Eropa yang kebanyakan pria biasanya pergi berburu untuk mengisi waktu luang. Di waktu lain, mereka mendatangi kedai minuman untuk bercengkerama atau sekadar rehat dari aktivitas harian yang menjemukan. Sebagai tempat hiburan yang banyak dikunjungi orang-orang Eropa, baik yang menetap di Batavia maupun pelancong, pelaut, dan pedagang yang singgah, kedai-kedai minuman memiliki aturan. Arsiparis Belanda Frederik De Haan mencatat dalam Oud Batavia Volume 2 , para budak tidak diizinkan menikmati minuman yang disajikan di sana. Selain itu, para tentara juga tidak boleh masuk ke kedai minuman setelah pukul lima sore dan ketika lonceng berbunyi pukul sembilan malam, semua tempat seperti itu harus tutup, begitu pula pada jam-jam ibadah di gereja. Tidak hanya menyajikan anggur Spanyol, kedai-kedai minuman juga menyajikan berbagai minuman keras seperti tjioe atau arrack , saki (brendi Jepang), toewak , kilang (minuman hasil fermentasi gula dengan berbagai macam rempah-rempah), dan zetbier (disebut juga bir gula karena hasil fermentasi gula Jawa dengan asam Jawa dan lemon), yang seringkali dianggap tidak sehat, terutama ketika pemilik kedai mencampurkan ramuan pedas dari air laut untuk meningkatkan rasanya. “Orang-orang bisa mengamuk karena minuman tersebut, dan aturan lama untuk meletakkan senjata saat memasuki kedai minuman cukup dimengerti,” tulis De Haan. Selain kedai-kedai minuman, tempat lain yang menjadi tujuan para pencari hiburan untuk minum-minum maupun bercengkerama adalah penginapan. Di sini disajikan minuman campuran dan ada kesempatan bermain ticktacqbort (mungkin tic tac toe board), tarok (permainan kartu) atau klostafel , trou madame , dan biliar. Minuman lain yang disajikan adalah champarade . Meskipun mirip dengan nama champagne , minuman ini tidak memiliki kesamaan dengan anggur mewah tersebut. Champarade dibuat dari mum dengan bir gula, lalu ditambahkan bahan-bahan lainnya. Yang menarik dari minuman ini bukan karena rasa atau popularitasnya, De Haan menyebut minuman ini kurang populer di kalangan penduduk Batavia pada abad ke-17, melainkan namanya. Alih-alih berasal dari Eropa, nama champarade berasal dari dua kata dalam bahasa Melayu, tjampoer (champar) dan adoek (ade), yang jika diucapkan dengan cepat dan asal-asalan, menghasilkan bunyi tersebut. Champarade menggambarkan akulturasi budaya dalam lingkungan penduduk yang beragam seperti di Batavia, meskipun pemerintah VOC memberlakukan pemisahan kelompok etnis. Menurut sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun , jumlah anggota yang kecil dan kekurangan perempuan di dalam banyak kelompok menyebabkan tingginya tingkat percampuran antaretnis. Dengan demikian berkembanglah sebuah bahasa bersama di Batavia. “Agar dapat melakukan perdagangan atau menyelesaikan kesepakatan domestik dengan orang lain, dibutuhkan sebuah lingua franca atau bahasa perantara,” tulis Blackburn. Bahasa Melayu menjadi semakin populer setelah meningkatnya jumlah budak dari berbagai etnis yang datang ke Batavia. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa perantara dalam aktivitas perdagangan, khususnya perdagangan tradisional. “Pada abad ke-18, bahasa ini telah menjadi bahasa Batavia di daerah yang mayoritas berbahasa Sunda dan Jawa. Di tengah etnis yang beraneka ragam, bahasa Melayu merupakan satu-satunya sarana komunikasi antara kelompok-kelompok imigran yang berbeda serta antara para perempuan Batavia dan para laki-laki imigran pasangannya,” tulis Blackburn.*

  • Sebelum ke Korea, Perwira Belanda ini Pernah Ditahan TNI 16 Hari

    SETELAH Agustus 1949, perang antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda mulai mereda karena ada gencatan senjata pasca-Perjanjian Roem-Roijen. Banyak daerah mulai aman dari baku tembak kedua belah pihak. Masa itu adalah masa yang aman untuk terbang.   “Kami terbang dari Padang ke Pekanbaru,” aku perwira cadangan Letnan Dua Gerard Pikkert.   Bersama Kopral Looyen, Letda Pikkert terbang pada 22 Oktober 1949, beberapa bulan setelah gencatan senjata. Mereka naik pesawat kecil Pipercub.   Untuk mencapai Pekanbaru, pesawat mesti melewati daerah sekitar Bukittinggi. Kala itu Bukittinggi dan sekitarnya adalah daerah Republik Indonesia, sementara Padang di pesisir barat adalah daerah pendudukan Belanda.   Awalnya semua baik-baik saja setelah pesawat terbang. Namun setelah melewati Bukittinggi, pesawat dalam masalah.   “Kami berada sekitar 212 meter di atas permukaan tanah dan tiba-tiba kami jatuh. Begitu tiba-tibanya sampai kami bahkan tidak sempat terkejut. Kami mendarat di jalan utama menuju Pekanbaru dan langsung mencari perlindungan,” aku Pikkert seperti diberitakan De Indisch Courant  tanggal 19 November 1949  dan Java Bode  tanggal 12 November 1949.   Koran Java Bode  tanggal 28 Oktober 1949 dan De Volkskrant  tanggal 9 November 1949 menyebut mereka mendarat darurat di jalan poros Padang-Pekanbaru, sekitar Payakumbuh, pada 22 Oktober 1949. Namun menurut pilot Pikkert, apa yang mereka alami bukan pendaratan darurat.   “Itu sama sekali bukan pendaratan darurat; semuanya terjadi terlalu cepat untuk itu; kami jatuh begitu saja,” kata Pikkert di De Indisch Courant  tanggal 19 November 1949.   Kedua tentara Belanda itu tak mengalami luka parah hingga mereka bisa melarikan diri. Mereka hanya mengalami, sambung De Indisch Courant , “beberapa goresan kecil, tidak signifikan, bahkan tidak ada goresan yang dalam.”   Kendati jatuh di daerah yang sepi, mereka sadar berada di daerah lawan. Payakumbuh kala itu termasuk daerah Republik. Maka mereka harus mengamankan diri secepatnya. Pesawat ringan milik Militaire Luchvaart (ML) yang tidak terbakar itu pun mereka tinggalkan begitu saja.   “Kami tidak terlalu memikirkannya, kami langsung mencari perlindungan, tapi pesawatnya hancur total, itu sudah pasti,” aku Pikkert, yang bersama rekannya lalu bersembunyi di sebuah lembah di dekat jalan poros.   Sekitar pukul 01.15 dinihari 23 Oktober 1949, atau sekitar dua jam mereka jatuh, pihak TNI mengetahui ada pesawat jatuh dan segera mencari. Tak jelas apakah memang mereka mengetahui langsung atau mendapat informasi dari sumber lain semisal saksi mata ataupun personel kepolisian yang punya pos di dekat lokasi jatuhnya pesawat. Yang pasti pada pagi 23 Oktober 1949 itu mereka berhasil menemukan Letnan Pikkert dan rekannya. Kedua personel tentara Belanda itu langsung ditahan TNI.   Pikkert masih sangat muda ketika ditahan. Usianya baru 22 tahun, jadi dia lahir sekitar tahun 1927. Nederlandsch Staatcourant  edisi 17 Februari 1949 menyebut, dia adalah letnan dua cadangan infanteri sejak 11 Januari 1949. Beberapa media lain menyebut ketika Pikkert jatuh, dia sedang menjadi pilot pengamat artileri. Namun apa tujuan penerbangan dari Padang ke Pekanbaru tidaklah jelas.   Di bawah komando Mayor Talip, yang diduga mantan guru dan bisa berbahasa Belanda, TNI memperlakukannya kedua tentara Belanda itu dengan baik.   “Kami diberi permainan solitaire dan bahan bacaan. Ada Elsevier, Orients pra-perang, majalah Life  yang cukup baru, dan Panorama ,” kenang Pikkert.   Dalam keadaan normal, barang-barang itu termasuk barang mewah di wilayah tempat kedua tentara Belanda itu ditahan. Mereka berada di daerah pedalaman Republik yang diisolasi Belanda. Barang-barang itu bisa sampai ke sana karena dibawa oleh para Republiken yang memasuki kota Padang.   Kala itu, nyaris tak ada peluang bagi Pikkert dan Looyen untuk kabur agar terbebas dari TNI. Namun, adanya Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan kesepakatan bersama Indonesia Belanda membuat tindakan kabur dianggap tidak perlu.   “Tidak, peluang kami sangat kecil, dan lagipula, rasanya sia-sia, karena kami langsung diberitahu bahwa kami tidak akan ditahan lama,” terang Pikkert.   Toh, penahanan oleh TNI amatlah longgar. Kendati kedua tahanan itu dijaga terus, mereka diperbolehkan jalan-jalan ke pasar. Seingat Pikkert, penduduknya berpakaian rapi, sopan, tetapi pendiam.   Pikkert dan Looyen akhirnya dibebaskan. Looyen lalu kembali ke Belanda dan memilih jadi sipil kembali. Sedangkan Pikkert terus berkarier di militer.   Ketika baru bebas, Pikkert pulang ke rumah orangtuanya di daerah Cideng, Jakarta Pusat. Ayahnya seorang inspektur kepala di Kepolisian. Kepulangan Pikkert membuat ibunya amat  senang karena ketika Pikkert ditahan, dia merasa hidup terasa lama.   Pada 1952, pangkat Pikkert naik menjadi letnan satu. Pada tahun yang sama, Perang Korea pecah dan Lettu Pikkert ikut serta ke Korea sebagai bagian dari Netherlands Detachment United Nations (NDVN).   “Mereka tetap di Korea hingga Oktober 1954. Sebanyak 158 perwira dan 3.192 prajurit lainnya bertempur di Korea. Orang Belanda yang bertugas di NDVN terdiri dari dua orang asal Antillen Belanda, 73 orang dari Nugini Belanda, dan 115 orang dari Suriname,” tulis Paul M. Edwards dalam  United Nations Participants in the Korean War: The Contributions of 45 Member Countries .   Pikkert dipercaya menjabat sebagai wakil komandan detasemen sementara komandannya, tulis Volkskrant  tanggal 3 Oktober 1952 dan De Telegraaf  tanggal 3 Oktober 1952, adalah Letnan Satu Krans van Dorsser dari Amsterdam.   “Perjuangan PBB di Korea sungguh layak diperjuangkan. Komunis harus dihentikan dengan segala cara,” kata Gerard Pikkert, yang karena dianggap baik menjalankan tugasnya lalu mendapat penghargaan Legion of Merrit dari Amerika Serikat, tulis Trouw edisi 21 Juli 54.

  • Jadi Anggota DPR, Segini Gaji Bung Tomo

    PEMBUBARAN DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pernah dilakukan Presiden Sukarno pada 65 tahun lampau. Presiden Sukarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 bukan karena para anggota dewan hobi joget di ruang sidang atau karena menikmati gaji dan aneka tunjangan bernilai fantastis dari pajak negara yang mencekik rakyat. Bung Karno membubarkan DPR karena alasan politik. Pasca-Dekrit Demokrasi Terpimpin, Bung Karno lebih dulu membubarkan Dewan Konstituante dan MPR (Majelis Permusyarawatan Rakyat). Konstituante dianggap gagal melaksanakan tugasnya.   “Pengumuman Dekrit pada 5 Juli 1959 merupakan titik yang penting berkaitan dengan gaya kepemimpinan Sukarno sebagai penguasa tunggal. Dengan dekrit itu ia membubarkan Konstituante, serta memberlakukan kembali UUD’45 (Undang-Undang Dasar 1945, red. ). Ia pun membubarkan MPR dan menggantinya dengan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, red),” tulis F.X. Baskara Tulus Wardaya dalam Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ‘65 hingga G 30S. Bung Karno, lanjut sejarawan yang akrab disapa Romo Baskara itu, turut menambahkan 94 anggota untuk mewakili daerah dan 200 orang lain untuk mewakili Golongan Karya. Dengan begitu –ditambah dengan 281 anggota MPR yang sebelumnya, anggota MPRS pun mencapai 575 orang.   Tak lama berselang, giliran DPR yang dibubarkan. Bedanya jika anggota-anggota MPR sebelumnya tetap jadi anggota MPRS, tidak begitu dengan para anggota DPR ketika dibubarkan dan digantikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR). Sejumlah anggota DPR sebelumnya dari sejumlah partai tak serta-merta diikutsertakan di DPR-GR. Di antaranya wakil-wakil Masyumi, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), PSI (Partai Sosialis Indonesia), dan PRI pimpinan Bung Tomo.    Gugatan Bung Tomo PRI (Partai Rakjat Indonesia) pimpinan Soetomo alias Bung Tomo turut terkena imbas pembubaran DPR. Tokoh-pejuang BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) yang mengobarkan semangat “ arek-arek Suroboyo :” via radio ketika Pertempuran Surabaya (10 November-2 Desember 1945) itu pun vokal memprotes dan menentang pembubaran DPR di muka pengadilan.    Sebagaimana banyak tokoh pejuang lain, Bung Tomo terjun ke politik dengan mendirikan PRI pada 20 Mei 1950 yang bermarkas di Gondangdia, Jakarta. Seiring kampanye Pemilu 1955, pada Agustus 1955 Bung Tomo lebih dulu mendapat jabatan Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang di Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956).    Namun, jabatan itu justru merugikan suara partainya menjelang Pemilu 1955. Dalam bukunya, Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat , Bung Tomo menyebut acap mendapat serangan-serangan politis dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi oposisi kabinet.    “Dalam waktu singkat kita berkembang di seluruh Indonesia. (Tetapi) Rakyat yang semula berketetapan untuk memilih ‘pohon kelapa’ (lambang PRI) ternyata lalu meninggalkannya,” sesal Bung Tomo.    Salah satu wilayah yang paling terasa dampak negatifnya adalah Pulau Bali. Raka Saliraning Gati dalam Bung Tomo: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia mencatat, salah satu serangan politis dari PNI dan PKI adalah menyebarkan isu bahwa PRI akan mengislamkan rakyat Bali, sebab Kabinet Burhanuddin Harahap dianggap kabinet yang dominan Masyumi.    “Akibat kampanye negatif ini, prediksi PRI mampu meraih tiga kursi dari Bali tidak dapat terwujud. Saat pemilu parlemen (29 September 1955), suara PRI bahkan tidak mencapai 1 persen. Hanya 0,55 persen atau 206.161 suara. Dengan suara tersebut, PRI hanya mendapat dua kursi di parlemen, salah satu kursi diisi oleh Bung Tomo sendiri selaku pendiri partai,” ungkap Raka.    Maka Bung Tomo pun melepas jabatan sebagai menteri dan duduk di kursi DPR mewakili daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur. Seorang koleganya dari PRI yang juga menjabat anggota DPR adalah Dr. R. Roestamadji dengan dapil Jawa Tengah.    Gaji Bung Tomo ketika itu sekira Rp3.000 yang menurutnya kurang mencukupi untuk bisa hidup di ibukota. Sebagai perbandingan, gaji Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tak jauh dari angka anggota DPR. Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik mencatat, pada 1956 gaji presiden dan wakil presiden sama-sama Rp3.600 per bulan plus biaya-biaya hidup lain yang ditanggung negara meski tak disebutkan besarannya.    Selain gemar blusukan, Bung Tomo dan rekan-rekannya di DPR dianggap produktif soal merancang undang-undang. Menurut Abdul Wahid dalam Bung Tomo: Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempur 10 November , Bung Tomo bersama 271 anggota DPR lain di 18 fraksi selama 1956-1960 berhasil menyetujui 113 undang-undang (UU) dari 145 pengajuan rancangan undang-undang (RUU), lalu menyetujui dua dari delapan pengajuan mosi, dan menyetujui tiga kali interpelasi dari delapan pengajuan.    Pertentangan presiden dengan parlemen mulai terasa setelah keluarnya Dekrit Persiden 5 Juli 1959 yang di antaranya membubarkan Dewan Konstituante karena dianggap gagal merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) baru untuk menggantikan UUDS 1950. DPR pun ikut dibubarkan pada 5 Maret 1960 setelah menolak RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebesar Rp44 miliar dan hanya menyetujui APBN sebesar Rp36 miliar.    “Sebagai balasan, pada bulan Maret ia (Bung Karno) membubarkan DPR dan menggantinya dengan DPR-GR. Banyak anggota DPR-GR ini ditunjuk oleh Presiden, termasuk personel militer. Dan inilah mulainya perwira militer menjadi anggota DPR,” sambung Romo Baskara.    Bung Karno membubarkan DPR dan memberhentikan semua tugas anggota DPR melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960. Lantas dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960, Bung Karno menggantinya dengan DPR-GR berisi 283 anggota yang terdiri dari 130 wakil partai, 152 Golongan Karya dan satu wakil Irian Barat.    Banyak partai, utamanya Masyumi dan PSI, lalu menggugat. Bung Tomo juga menggugat haknya sebagai anggota DPR terpilih hasil Pemilu 1955, di mana ia dan R. Roestamadji sebagai anggota DPR wakil dari PRI juga tak diikutsertakan dalam DPR-GR. Bung Tomo menggugatnya ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960.    Mengutip pidato pembelaannya yang diabadikannya dalam Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru: Kumpulan Karangan , Bung Tomo juga berusaha membela kolega-koleganya dari Masyumi, PSI, dan IPKI. Ia mempertanyakan apakah para konstituen yang memilih para wakil dari PSI, IPKI dan PRI dianggap rakyat “kelas dua” sehingga hak para wakil rakyatnya tersingkir di DPR-GR.    “Puluhan, mungkin ratusan ribu rakyat jelata Indonesia memilih mereka yang diisolir itu. Dan mengenai partai yang saya ketuai, ada 206.263 warga negara RI yang telah memberikan kepercayaannya kepada saya untuk mewakili mereka di dalam hendak berusaha memperbaiki nasib rakyat di dalam Gedung DPR,” ujar Bung Tomo.    Dalam gugatannya, Bung Tomo menegaskan bahwa ia dan rekan-rekannya yang tersingkir hanya ingin memperjuangkan nasib rakyat, terutama rakyat yang telah memilih mereka. Mereka masih ingin mengabdi, utamanya bukan karena uang gaji sebagai anggota DPR yang menurut Bung Tomo masih tak seberapa.    “Jelaslah kiranya, saudara Ketua Pengadilan yang saya hormati, bahwa bagi saya pribadi tidak penting kedudukan anggota DPR itu. Gaji yang saya terima sebagai anggota DPR setiap bulan kurang lebih tiga ribu rupiah; gaji yang demikian itu dengan tanggungan yang banyak dalam lingkungan keluarga, seringkali tidak mencukupi untuk hidup di Jakarta yang serba mahal. Jadi, sekali lagi jelas, bukan kepentingan perseorangan yang menyebabkan saya menggugat. Tetapi saya menggugat untuk 206.263 orang rakyat yang telah mengantarkan saya ke dalam gedung Parlemen yang lalu. Mengapa Presiden Sukarno hanya menghargai rakyat yang memilih partai-partai tertentu dan mengapa terbukti Presiden Sukarno menanggap sepi rakyat yang memilih ‘Pohon Kelapa’,” ujarnya.    Namun, gugatan Bung Tomo untuk membatalkan keputusan Presiden Sukarno soal pembubaran DPR ditolak. Menurut hakim Rochjani Soe’oed yang memimpin pengadilan, pembubaran DPR itu adalah soal politik, bukan soal hukum.

  • Komandan Belanda Tewas di Korea

    LETNAN Kolonel Marinus Petrus Antonius den Ouden kaget. Dia tak menyangka Perang Korea yang terjadi ribuan mil jauhnya dari negerinya, Belanda, ikut mengubah nasibnya. Den Ouden ditunjuk memimpin pasukan kecil Belanda yang tergabung dalam kontingen PBB –yang nyatanya lebih banyak berisi anggota Blok Barat pimpinan Amerika Serikat– di perang tersebut. “Tentu saja penunjukan saya ini sebuah kejutan. Hari ini saya seharusnya pergi ke garnisun baru saya di Arnhem, di mana saya ditugaskan ke para Grenadier dan Pemburu. Tentu saja saya tidak mencari kesenangan, tapi harus melakukannya,” kata Letnan Kolonel Petrus Den Ouden, seperti dikutip koran Nieuwe Courant tanggal 29 Agustus 1950) dan Telegraaf edisi 23 Agustus 1950. Perang Korea muncul seiring perebutan pengaruh antara kaum komunis dan liberalis di negeri itu. Konflik meluas jadi perang terbuka lantaran masing-masing kubu membawa backing. Pihak komunis Korea menyeret Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Uni Soviet (Blok Timur) terlibat di dalamnya, sementara Blok Barat yang liberalis pimpinan Amerika Serikat mengikutsertakan sekutu-sekutunya, termasuk Belanda. Dengan latar belakang itulah Letkol Petrus den Ouden mesti memimpin pasukan Belanda bertempuur di Negeri Ginseng. Petrus Antonius den Ouden merupakan putra pasangan Antonius den Ouden dan Hendrika van As. Pria kelahiran Oud-en Nieuw-Gastel, 21 Agustus 1909 itu merupakan lulusan Akademi Militer Breda. Setelah lulus, Letnan Dua Petrus Ouden berdinas di tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indish Leger (KNIL) di Hindia Belanda. Ia pernah bertugas di Indrapura, Timor, dan Batavia. Jelang kedatangan tentara Jepang, Petrus Ouden menjadi instruktur pelatihan calon perwira pribumi alias Corps Opleiding Reserve Officier (CORO) di Bandung. Namun itu tidak lama. Setelah Jepang menduduki Indonesia, dia menjadi tawanan perang sebagaimana umumnya tentara KNIL. Setelah bebas pada 1945, Letnan Petrus Ouden berdinas kembali ke KNIL. Pada 1946, pangkatnya naik dua kali, dari letnan menjadi kapten (Februari) dan kapten menjadi mayor (Mei). Dia diberi jabatan penting: komandan sekolah penerjun payung School Opleiding Parachutisten di Pangkalan Udara Andir (kini Lanud Husein Sastranegara), Bandung. Sebagai komandan sekolah, dirinya ikut mempersiapkan pasukan penerjun yang belakangan diterjunkan merebut ibukota Republik Indonesia (RI) Yogyakarta dan juga daerah minyak di Jambi. Pasukan didikannya sukses menjalankan tugas. Tak hanya Yogyakarta berhasil direbut, mereka juga berhasil menawan sejumlah pejabat teras RI. Posisi itu dipegang Petrus Ouden hanya sampai Oktober 1948, karena dia lalu dipindahkan menjadi komandan depot batalyon di Bogor. Namun pada Maret 1949, dia kembali ditempatkan di pusat pasukan payung. Tapi inipun tidak lama karena kemudian Belanda angkat kaki dari Indonesia. Pada 1950, di Belanda Petrus Ouden mengurus resimen pasukan khusus di sana. Pangkatnya kemudian naik jadi letnan kolonel (letkol). Dia lalu ditugaskan ke Arnhem guna melatih pasukan para Grenadier dan Pemburu. Namun belum lagi tugas baru itu dijalaninya, Letkol Petrus Ouden keburu dikirim ke Korea. Selama di Perang Korea, Letkol Petrus Ouden berada di bawah komando Jenderal Douglas McArthur, sang pencetus taktik “Lompat Katak” dalam Perang Pasifik. Persenjataan dan logistik pihak Sekutu, termasuk Belanda, cukup baik. Begitu juga moril pasukannya. Namun ini tak membuat keadaan menjadi lebih baik dan bagi Letkol Petrik Ouden, terasa sulit. Lawan mereka bukanlah Korea Utara semata. Di belakang mereka ada pasukan RRT dan Uni Soviet. Perang Korea jelas bukan perang mudah bagi kedua belah pihak. “Lawan kita bukan hanya Korea Utara, yang berperang lebih baik dari Indonesia,” kata Letnan Kolonel Den Ouden dalam Twentsche Courant tanggal 18 Januari 1951. Selain melawan kombatan hebat, prajurit Belanda di sana juga harus melawan hawa dingin. Hal itu tak meraka rasakan sama sekali ketika berperang di Indonesia. Namun bukan kedua faktor tersebut yang dikeluhkan Letkol Petrus Ouden. Keluhan utamanya datang dari data intelijen. Tanpa itu, Ouden menganggap pasukan dari Belanda di sana tak bisa berperang dengan baik dan hanya bisa bertempur dengan membabi-buta saja. “Pasukan PBB mencoba melancarkan perang di sini sesuai dengan metode Eropa dan itu tidak tepat di sini,” kata Petrik Ouden. Metode Eropa hanya cocok di Eropa, tapi Asia punya medan sendiri dan harus dihadapi dengan cara lain. Barangkalai seperti pengalaman Ouden di Indonesia dulu. Suka tak suka, Letkol Petrik Ouden mesti terus menghadapi cara bertempur pasukan Sekutu yang tidak cocok baginya. Kematian pun terus mengintainya. Pada Februari 1951, Resimen Van Heutz alias pasukan Belanda yang dipimpin Letkol Petrik Ouden berada di Hoengsong. Di tempat itu militer Belanda bersama pasukan Korea Selatan dan Marinir AS menghadapi Tentara ke-13 RRT dan Korps ke-5 Sukarelawan Korea Utara. “Pemicu pergerakan Divisi Marinir ke-1 ke Korea bagian tengah adalah pertempuran ketiga untuk Wonju, jalur komunikasi dan jalan raya penting yang jika hilang, dapat memaksa pasukan PBB untuk mengevakuasi Korea. Wonju berada dalam risiko besar ketika Hoengsong, yang terletak sekitar 10 mil di utara Rute 29, jatuh. Bencana yang hampir terjadi ini terjadi ketika Komunis melancarkan Serangan Tahap Keempat mereka di mana Tentara ke-40 dan ke-66 CCF dan Korps V NKPA memulai serangkaian serangan yang menghancurkan dari salju yang berputar-putar yang dimulai pada malam tanggal 11-12 Februari. Korps X AS mengalami kemunduran serius ketika tiga divisi Tentara Republik Korea hancur dan elemen pendukung tempur Divisi ke-2 AS terputus dan kemudian dimusnahkan di ‘Lembah Pembantaian’ di sebelah utara Hoengsong,” tulis Ronald J Brown dalam Counteroffensive: US Marines from Pohang to No Name Line . Pasukan Letkol Petrik den Ouden memainkan peran yang baik bagi Sekutu dalam mempertahankan Hoengsong. “Salah satu serangan musuh pertama terhadap Belanda yakni menembus garis pertahanan mereka dan mencapai pos komando batalion. Letnan Kolonel MPA den Ouden, komandan batalion, memimpin pasukan markasnya dalam serangan yang berhasil untuk menghentikan penetrasi itu,” tulis Billy C Mossman dalam Ebb and Flow: November 1950-July 1951. Kendati berhasil memimpin pasukannya mempertahankan markas, Letkol Petrik Ouden dan beberapa staf di markasnya tak selamat pada malam 12 Februari 1951. Ledakan granat membunuh Letkol Petrik Ouden dan beberapa stafnya serta melukai yang lain. “Meskipun mengalami kerugian besar di markas batalion, kompi garis pertahanan Belanda bertahan di tepi kota sementara Support 7 bergegas menuju kota dari timur laut dan pasukan Coughlin lainnya berjuang untuk masuk melalui Rute 29,” sambung Billy C Mossman. “Kematian Komandan Den Ouden merupakan kerugian besar bagi pasukan PBB di Korea. Batalyon Belanda diberi tugas yang sangat penting untuk melindungi mundurnya unit-unit lain dari Hoengsong ke posisi baru,” kata Panglima Angkatan Darat AS Kedelapan, Jenderal Matthew B. Ridgway di koran Telegraaf tanggal 14 Februari 1951. Setelah kematian Ouden, Mayor Willem David Henri Eekhout (1917-1965), yang pada 19 Desember 1948 memimpin pasukan payung Belanda dalam merebut ibukota Yogyakarta, diangkat menjadi komandan militer Belanda di Korea.

  • Ketika Moncong Meriam Menodong Istana

    17 OKTOBER 1952. Sejak jam empat subuh militer mengamankan tempat-tempat strategis: kantor RRI , gedung DPRS-MPRS, dan stasiun-stasiun keretapi. Pukul delapan pagi, kerumuman massa menjalar; mereka diangkut dari pabrik-pabrik di luar kota, sisanya dari Jakarta dikelola jagoan-jagoan Betawi. Tentara mengorganisir demonstrasi itu, dengan dukungan tank dan artileri, bergerak ke istana presiden, menuntut pembubaran parlemen. Peristiwa 17 Oktober 1952 itu berakar dari pertentangan sipil-militer pascakemerdekaan. Pada masa Kabinet Wilopo, pimpinan TNI berniat mereorganisasi dan rasionalisasi militer untuk menanggalkan mentalitas tentara gerilya menjadi tentara profesional. Proses ini akan diikuti pemberhentian hampir 40 persen personel TNI sebagai dampak pemangkasan anggaran. Pimpinan militer, seperti KSAD Kolonel AH Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang, mengusulkan untuk mendatangkan Misi Militer Belanda (MMB) yang ditugaskan membantu dalam segi teknis –bukan doktrin–untuk menyediakan kader bagi lembaga-lembaga pendidikan militer. Namun, ide ini ditentang keras golongan lain di dalam AD. Kolonel Bambang Supeno, melaporkan ketidaksukaannya terhadap rencana itu kepada Sukarno secara langsung tanpa mengindahkan alur komando. Sukarno mencoba menengahi, bahkan cenderung tak setuju dengan usulan Nasution-Simatupang. Musyawarah ketiganya, yang juga dihadiri Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, tak berjalan mulus. “Pembicaraan itu meningkat panas dan hampir berkembang menjadi adu teriak antara Sukarno dan Simatupang,” tulis John D. Legge dalam Sukarno: Sebuah Biografi Politik . Nasution lalu memecat Bambang Supeno. Parlemen mengecam tindakan itu dan mengeluarkan mosi untuk menghentikan MMB karena dianggap pro-Barat dan menyudutkan golongan personel eks-PETA (Pembela Tanah Air) seperti Bambang Supeno. Mosi dari Manai Sophiaan disetujui parlemen memaksa militer untuk menurut. Namun, AD menganggapnya sebagai usaha ikut campur kalangan sipil dalam urusan militer. Pimpinan AD geram. Tak lama, militer melancarkan operasi penangkapan terhadap enam anggota parlemen. Manai Sophiaan nyaris diculik di kediamannya, sementara sekelompok perwira loyalis Sukarno di Jawa Timur berhasil kabur karena tim penyergap pimpinan Mayor Kemal Idris salah menggrebek rumah. Dini hari, 17 Oktober 1952, para panglima berkumpul di Staf Umum Angkatan Darat. Mereka saling melempar ide gerakan dengan kepala panas, sampai disela oleh Simatupang. “Stop. Ini sudah berbau kup. Kritik, ok, tetapi jangan kup,” dikutip dari biografi A.E. Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih karya Ramadhan K.H. Himbauan itu tak urung membuat Jakarta menjadi panggung protes. Sehari sebelum istana dikepung, Kepala Intel Biro Informasi Perang, Zulkifli Lubis, sudah menghubungi ajudan Sukarno tentang pengerahan massa tersebut. Bahkan Kolonel Moestopo yang mengorganisir demonstrasi itu sudah diminta membatalkan niatnya. Namun, demonstrasi tetap terjadi. Puncaknya moncong meriam diarahkan ke istana atas arahan Kemal Idris. Di dalam istana, Sukarno dan para panglima yang dipimpin Nasution berunding. Nasution menuntut parlemen dibubarkan. Sukarno menolaknya dengan marah; dia tidak ingin menjadi diktator dan masih percaya dengan demokrasi. “Mataku terbakar karena marah. Engkau benar dalam tuntutanmu, akan tetapi salah di dalam caranya. Sukarno tidak akan sekali-kali menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia!” tegasnya dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams. Sukarno lalu keluar dan menenangkan massa. Setelah menasihati mereka akan pentingnya parlemen sebagai sarana demokrasi, layaknya seorang ayah kepada anaknya, tensi massa mulai menurun. Disusul teriakan-teriakan “Hidup Bung Karno!” Massa, baik sipil maupun militer, bubar dengan teratur. Percobaan “separuh kudeta” itu, sebagaimana Nasution sendiri menamakannya, gagal total. Tak lama kemudian, Nasution dicopot sebagai KSAD, digantikan Bambang Sugeng, kawan dekat Bambang Supeno. Namun, Sukarno nanti mengangkat kembali Nasution dengan alasan “menjaga persatuan.” Di daerah, para perwira pendukung gerakan 17 Oktober 1952, dikecam oleh anggota resimennya. Salah satunya adalah Panglima Teritorium Indonesia Timur Kolonel Gatot Subroto yang sempat ditangkap oleh kepala stafnya, Letkol J.W. Warouw. Sejarah mencatat bahwa peristiwa 17 Oktober 1952 itu, “merupakan titik tolak hilangnya kepercayaan TNI terhadap kejujuran politisi sipil,” ujar Simatupang. Sejak itulah TNI terlibat politik praktis secara terbuka.*

  • Keakraban Alex Kawilarang dengan Oerip Soemohardjo

    KETIKA mendengar nama Mayor (KNIL) Oerip Soemohardjo di Jalan Cilacap No. 5 Jakarta (pusat pertemuan para pemuda yang ingin menjadi tentara Republik) disebut-sebut oleh para pemuda, jantung Alex Evert Kawilarang berdegup keras. Bagi lelaki berdarah Minahasa itu, nama Oerip tidaklah asing. Sang ayah Mayor (KNIL) A.H.H. Kawilarang pernah berkisah tentang lelaki Jawa tersebut kepadanya.

bottom of page