top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Agar Perlawanan Yogya Didengar Dunia

    SIRINE meraung-raung di atas Pasar Beringharjo, Yogyakarta pada Minggu (4/3/18) pagi. Penanda dimulainya serangan tentara republik itu langsung diikuti suara tembakan dan beraneka dentuman senjata berat. Para serdadu Belanda yang tak siap, langsung panik mendapat serangan dari berbagai pejuru kota. Pertempuran sengit itu membuat masyarakat yang tengah ber-Car Free Day di Maliboro langsung geger. Mereka penasaran. Banyak dari mereka mendekati sumber suara bahkan sampai melewati batas keamanan yang dijaga 150 personel Polda DIY. Kota Yogya dihumbalang perang. Namun, hanya perang dalam aksi teatrikal dan sosiodrama yang dihelat komunitas reenactor dari beragam kota, mulai Jakarta hingga Surabaya, bekerjasama dengan Komunitas Sejarah Djokjakarta 1945, Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas, dan elemen TNI-Polri. Mereka menghelat acara tersebut untuk memperingati Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949. Acara teatrikal bertajuk “Jogja Mendunia” itu merupakan hasil rembukan Komunitas Djokjakarta 1945 dan pihak Museum Benteng Vredeburg. “Awalnya kita dan Museum Vredeburg punya tema masing-masing untuk diusulkan. Hasil rembukan ya menghasilkan tema itu,” kata Eko Isidianto, Ketua Komunitas Djokjakarta 1945, kepada Historia . Alasan mengapa tema itu dipilih adalah, adanya harapan agar publik Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya bisa me-refresh ingatan akan pentingnya serbuan besar ke ibukota yang telah diduduki Belanda. “Kan memang serangan ini bukan kebetulan. Memang disengaja agar bisa didengungkan kepada dunia. Agar dunia tahu bahwa saat itu RI masih ada sebagai negara. Belum sirna sebagaimana yang dipropagandakan Belanda,” lanjut Eko. SO akhirnya mendunia karena banyaknya wartawan asing yang –sedang meliput kunjungan delegasi Komite Tiga Negara– memberitakannya. Meski Indonesia hanya mampu merebut Jogja selama enam jam, lewat SO Indonesia sukses mendapatkan tiga tujuan sekaligus: politis, strategis, dan psikologis. Dunia jadi tahu RI masih ada, rakyat pun kembali percaya pada perjuangan bersenjata. Walhasil, tekanan dunia kepada Belanda berhasil membawa negeri itu ke meja perundingan. Pada 29 Juni 1949, Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Untuk membuat masyarakat bisa merasakan suasana tegang dari momen bersejarah itu, acara dibuat seotentik mungkin. Selain penggunaan sejumlah kendaraan tempur seperti tank AMX dan panser Anoa, para serdadu “dadakan” yang ikut aksi itu mengenakan seragam dan menggunakan beragam senjata yang sesuai masa SO 1 Maret. Empat dentuman senjata berat yang diikuti rangsekan “pejuang” republik ke dalam benteng mengakhiri visualisasi perebutan kembali ibukota itu. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY Umar Priyono, serangan tersebut menjadi gambagaran persatuan kuat antara TNI dan rakyat yang perlu dijaga karena belakangan muncul benih perpecahan akibat pihak-pihak tertentu. “Sejarah mengatakan saat itu penyerangan dilakukan tidak hanya oleh TNI, tetapi juga rakyat. Semoga semangat persatuan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini akan selalu terjaga dari waktu ke waktu,” katanya.

  • M. Jasin, Jenderal Penantang Soeharto

    SEJAK awal berkuasa pada 1970, Presiden Soeharto kerap membuat merana para pengeritiknya. Mulai dari mahasiswa, akademisi, bekas pegawai negeri, hingga mantan jenderal sekalipun dibuatnya tak berkutik. Namun dari sekian purnawirawan penentang Soeharto, bisa jadi M. Jasin termasuk jenderal yang mengalami nasib cukup nelangsa.

  • Dramatis Tanpa Adegan Sadis

    UNTUK kali kedua, peristiwa evakuasi sekira 400 ribu pasukan Sekutu dari Dunkerque (Dunkirk), sebuah kota kecil di pantai utara Prancis, pada 1940 naik ke layar lebar. Kali ini tanpa adegan berdarah-darah. Tak ada duel tangan kosong atau adu rentetan senjata. Bahkan sosok serdadu Nazi-Jerman nyaris tak dihadirkan. Film dengan tema dan judul yang sama pernah dibuat sutradara Leslie Norman pada 1958. Tapi, berbeda dari pendahulunya, sutradara Christopher Nolan ingin menggambarkan bagaimana pasukan Sekutu, terlebih Pasukan Ekspedisi Inggris (BEF), tengah berada di ujung tanduk dan nyaris dihancurkan Nazi-Jerman. Dia mengedepankan drama. Tiga Plot Film ini punya tiga plot yang terkait satu sama lain. Pertama, plot “The Mole” atau tanggul di pantai Dunkirk yang jadi tujuan pasukan Sekutu melarikan diri dari kejaran Jerman. Tommy (diperankan Fionn Whitehead), seorang prajurit Angkatan Darat (AD) Inggris, kelimpungan melewati beragam rintangan menakutkan untuk bisa pulang ke Inggris dengan selamat. Sama seperti serdadu Inggris lainnya, dia kelaparan, kehausan, dan harus menghindari desingan peluru Jerman. Selamat dari hujan peluru, Tommy tiba di pantai Dunkirk dan bertemu Gibson (Aneurin Barnard), prajurit AD Inggris lainnya. Gibson belakangan diketahui ternyata serdadu Prancis yang sengaja memakai seragam AD Inggris agar bisa ikut dievakuasi. Pasalnya, para perwira Inggris ingin mendahulukan tentara mereka, sebelum serdadu Sekutu dari negara-negara lain. Proses evakuasi di bibir tanggul itu dipegang Commander Bolton (Kenneth Branagh), perwira Angkatan Laut (AL) Inggris. Dari “kacamata” Bolton, penonton disajikan tragedi kapal-kapal Inggris yang kerap jadi mangsa pesawat pembom Jerman Heinkel He 111 dan torpedo-torpedo U-Boot atau kapal selam Kriegsmarine (AL Jerman). Serdadu-serdadu Inggris di pantai Dunkirk selalu “menyilangkan jari” setiap kali mereka disasar pembom tukik Stuka (Junkers Ju 87 Sturzkampfflugzeug). Namun mukjizat terjadi. Ketika kapal-kapal besar Inggris karam beserta ribuan serdadu di dalamnya ke dasar laut, muncul gelombang perahu, feri, hingga kapal berukuran sedang yang sebagian besar dikemudikan para pelaut sipil Inggris. Sorak-sorai serdadu Inggris di pantai membuncah. Kedatangan mereka jadi klimaks atas plot kedua, “The Sea”. Plot ini fokus pada tokoh Mr Dawson (Mark Rylance) untuk mendeskripsikan bagaimana pihak sipil Inggris tak berpangku tangan atas peristiwa Dunkirk, meski tetap enggan perahunya diambil-alih AL Inggris. Namun kengerian evakuasi belum berhenti sampai di situ. Dari “kacamata” Dawson pula, para pilot RAF (Angkatan Udara Inggris) berupaya mengamankan jalur evakuasi di Selat Inggris. Keseruan terjadi saat duel udara. Farrier (Tom Hardy) dan Collins (Jack Lowden) berhadapan dengan pesawat-pesawat pemburu Messerschmitt Bf 109 dari Luftwaffe (AU Jerman). Ini jadi titik klimaks plot ketiga, “The Air”. Collins jatuh di laut tapi diselamatkan Dawson dengan perahu. Sementara Farrier mendarat darurat di salah satu pantai Dunkirk yang dikuasai Jerman setelah pesawatnya kehabisan bahan bakar dan ditangkap. Nolan menutup film dengan menggambarkan bagaimana Tommy pulang ke Inggris dengan tetap dielu-elukan rakyat Inggris dan Commander Bolton yang tetap bertahan di tanggul pantai Dunkirk demi menunggu “jemputan” lain. Menengok Fakta Sejarah Barangkali tak salah jika Christopher Nolan menyebut film ini karya terbaiknya. Sejumlah situs kritik film rata-rata menyanjung karyanya. Sound illusion yang dihadirkan lewat beragam scene patut diacungi jempol. Dramatisasinya menyentuh penonton. Belum lagi pengambilan beberapa adegan riil di lokasi terbuka, bukan dengan green screen atau layar hijau. Menurut beberapa media Inggris, pengambilan gambar semacam itu menambah keintensitasan tempo, drama, dan tautan batin penonton. Terlepas dari itu, entah sengaja atau tidak, Nolan mengesampingkan beberapa fakta penting terkait evakuasi Dunkirk. Salah satunya soal penghentian ofensif Jerman di darat berlandaskan Halt Order dari Adolf Hitler. Hitler ingin mesin-mesin perangnya berhenti menguber pasukan Sekutu sampai ke bibir pantai demi memberi kesan baik dan bisa berdamai dengan Inggris. Hitler ingin berhenti sampai di Prancis agar bisa memusatkan ofensif besar berikutnya ke Uni Soviet. Sayang, Inggris menolak mentah-mentah niat Hitler. Nolan juga tak mengeksplorasi eksistensi pasukan Inggris asal India. Juga para serdadu Afrika dari negeri-negeri jajahan Prancis macam Tunisia, Maroko, dan Aljazair. Belum lagi nyaris tak ada kendaraan-kendaraan tempur Sekutu di pantai Dunkirk yang pada kejadian sebenarnya ditinggalkan demi mengefisiensikan evakuasi ratusan ribu serdadu. Pengesampingan itu sah-sah saja. Menjadi persoalan bila mengabaikan fakta sejarah. Itu terlihat pada keberadaan Laksamana Madya Bertram Ramsay dari AL Inggris. Di film, Ramsay berada di ujung tanggul, meski pada kenyataannya dia tak pernah menyeberang ke Dunkirk dalam proses evakuasi dan tetap berada di Dover. Nolan juga tak akurat. Yang cukup mencolok adalah adegan duel udara antara pesawat Spitfire milik RAF dan Messerschmitt kepunyaan Luftwaffe . Di film, hidung pesawat Messerschmitt Bf 109E bercat kuning. Padahal, saat evakuasi Dunkirk, Mei-Juni 1940, tak satu pun burung besi andalan Luftwaffe itu dicat kuning. “Penyeragaman” baru dilakukan sebulan setelah Dunkirk dan kemudian jadi ciri khas Messerschmit selama Perang Dunia II. Ketidakakuratan lainnya tampak dalam adegan seorang perwira memberikan hormat tanpa baret militernya. Sebuah laku menyimpang dari protokol kemiliteran, menurut para veteran Inggris. Toh, dengan menghabiskan dana USD150 juta, Nolan berhasil menyuguhkan drama yang tak biasa. Kekacauan dan kengerian peristiwa Dunkirk benar-benar terasa. Film ini lantas menjadi box office.

  • Perayaan Hari Perempuan

    SEJAK pukul 5.30, Isar, pengajar di Budi Luhur, sudah siap mengikuti lomba lari yang diselenggarakan IBCWE sebagai bentuk perayaan Hari Perempuan Sedunia. Dia mengikutinya karena mendukung kampanye Hari Perempuan untuk membentuk kultur egaliter antara lelaki-perempuan di tempat kerja. “Kesetaraan gender di tempat kerja sangat penting, supaya antar-rekan kerja bisa kerjasama dengan baik,” kata Isar. Pandangan serupa juga diutarakan Deva Mulia Warman dan Kartika, yang merupakan rekan sekantor di salah satu bank swasta asing. Menurut Deva, lelaki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya. “Di tempat saya bos perempuan juga banyak,” kata Deva. “Kita bisa bersaing secara sehat dan perempuan juga bisa memiliki jabatan tinggi,” kata Kartika menimpali. Ribuan orang adu lari di Epicentrum Epiwalk, Kuningan untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia. Ada yang berlari sejauh 5 kilometer (km), ada pula yang 10 km. Lomba yang diikuti oleh berbagai kalangan, pekerja-mahasiswa, lelaki-perempuan ini merupakan kampanye IBCWE untuk membuat lingkungan kerja yang ramah perempuan. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran publik terhadap lingkungan kerja ramah perempuan dan menggalang dukungan untuk gerakan HeForShe. Kampanye HeForShe diprakarsai UN Women, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berdedikasi untuk masalah perempuan. “Kesetaraan gender tidak akan terjadi tanpa dukungan dan keikutsertaan laki-laki,” kata Suci Haryati, Communications Specialist IBCWE. HeForShe merupakan gerakan solidaritas yang mengajak laki-laki menjadi rekan sejajar dan sebagai agen perubahan untuk mewujudkan masyarakat egaliter. Pada perayaan Hari Perempuan kali ini, lomba lari dipilih sebagai simbol sportivitas dunia kerja. “HeForShe Run menjadi ajang bagi pelari untuk menyatakan bahwa mereka bersedia untuk bersikap sportif dan mendukung kesetaraan gender di dunia kerja dan pemberdayaan ekonomi perempuan,” kata Anne Patricia Sutanto, Ketua Pelaksana HeForShe Run yang juga Anggota Dewan Pembina IBCWE. Hari Perempuan Sedunia di Masa Lalu Hari Perempuan Sedunia yang diperingati tiap 8 Maret bermula dari aksi demonstrasi buruh perempuan di New York, Amerika Serikat pada 1857. Mereka menuntut kesejahteraan di tempat kerja dan kenaikan upah. Protes serupa muncul kembali di New York tahun 1908, ketika ribuan buruh menuntut pengurangan jam kerja dan hak politik mereka sebagai perempuan. Dua tahun setelah protes besar di New York, Clara Zetkin yang aktif di Partai Sosialis Jerman mengusulkan untuk menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan. Usulan itu diterima Konferensi Kaum Sosialis Internasional di Swis. “Usulan tersebut disepakati oleh para delegasi yang mewakili 17 negara dan dihadiri lebih dari 100 peserta perempuan,” tulis Umi Lasminah dalam “8 Maret Hari Perempuan Internasional” yang dimuat Wartafeminis.com. Di Indonesia, perayaan Hari Perempuan Sedunia hanya diperingati oleh beberapa organisasi perempuan. Di awal Indonesia merdeka, 8 Maret tak sepopuler sekarang. Tahun 1950-an justru organisasi-organisasi perempuan sosialis yang merayakan 8 Maret. Bahkan Kongres Perempuan Indonesia KWI baru memperingati 8 Maret pada 1966. “Tahun 1952 Gerwani mengajak organisasi perempuan lainnya untuk ikut serta merayakan Hari Perempuan tanggal 8 Maret,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Pengahancuran Gerakan Parempuan di Indonesia . Tuntutan perempuan soal pemenuhan hak mereka pun disuarakan tiap perayaan Hari Perempuan Sedunia. Pada peringatan tahun 1954, misalnya, para perempuan menekankan tuntutan pada hak dalam perkawinan, moralitas, serta masalah lain yang dihadapi perempuan. Sedangkan pada 8 maret 1961, Wanita Komunis (Wankom) menyatakan kaum wanita Indonesia harus memperkuat persatuan dengan kaum buruh dan tani anti-feodal. Meski berbagai suara perempuan tentang upaya penghapusan diskriminasi sudah suarakan pada Hari Perempuan Sedunia sejak lama, hingga kini kesetaraan gender di Indonesia masih sangat rendah. Indonesia menempati posisi ke-88 dari 144 negara dalam hal kesetaraan gender.

  • Lima Jenderal yang “Dimatikan” Soeharto

    MESKI cenderung menghindari konflik terbuka, Soeharto beberapa kali terlibat konflik baik sejak masih jadi opsir maupun setelah jadi presiden. Ada yang selesai dalam waktu sebentar, tapi tak sedikit yang berbuntut panjang.

  • Wahabisme di Cina

    GERAKAN pemurnian Islam ( al-harakah al-tandhifiyah al-Islamiyah ) dalam mazhab Hanbali di Arab Saudi dimotori Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) sejak pertengahan abad ke-18. Gerakan Wahhabi atau Wahabisme ini menjalar ke Cina yang mayoritas muslimnya bermazhab Hanafi pada akhir abad ke-19 melalui seorang ulama dari suku Dongxiang keturunan Mongol bernama Ma Wanfu.

  • Feminis Rasis

    MERASA ada yang salah dengan daftar nama calon anggota perempuan Dewan Rakyat (Volksraad) yang diusulkan Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV), Nyonya Datoe Toemenggoeng langsung mengeluhkannya. Daftar itu hanya memuat nama calon yang merupakan perempuan kulit putih. Nyonya Toemenggoeng kemudian mengusulkan agar VVV mencalonkan juga perempuan-perempuan dari berbagai organisasi perempuan Indonesia. Tapi, usulan itu tak didengar. Nyonya Datoe Toemenggoeng keluar dari VVV tak lama kemudian. Ketidakpedulian pimpinan VVV menunjukkan adanya ambivalensi dalam sikap dan perjuangan perempuan Belanda terhadap hak pilih perempuan di negeri jajahan. Meski berupaya memperjuangkan hak pilih perempuan, di saat bersamaan mereka memandang rendah perjuangan perempuan Indonesia. Hal itu terlihat dari pandangan pemimpin VVV Nyonya M. Nittel-de Wolff van Westerode dalam tulisannya di tahun 1917, “Doel en Atreven van de Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht”. Menurutnya, seperti dikutip Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State, “Jika 'orang pribumi yang tidak berpendidikan' memperoleh hak politik, apa lagi wanita Eropa yang terpelajar?” Pandangan rasis juga terlontar dari anggota terhormat VVV Ny. M. Stibbe-Knoch. Ketika berdebat untuk calon anggota Volksraad tahun 1934, dia mengatakan bahwa perempuan pribumi tidak berpendidikan sehingga menjadi anggota Dewan Rakyat adalah hal yang sulit. Dalam beberapa kesempatan, mereka kerap menyebut diri sebagai penyelamat peradaban. Maka ketika merespon realita adanya perempuan pribumi yang maju, semisal Kartini, mereka pasti menitikberatkan pada pendidikan Barat dan perempuan Eropa yang jadi sahabat pena Kartini, bukan pada pemikiran Kartini. Para feminis Eropa berpendapat, perempuan pribumi terbelakang karena pemikirannya didominasi agama dan adat. Hal itu menyalahi realita kala itu bahwa sudah banyak perempuan pribumi mengenyam pendidikan tinggi dan berprofesi sebagai guru, dokter, atau pengacara serta aktif dalam gerakan perempuan. Beberapa perempuan pribumi bahkan berpendidikan lebih tinggi ketimbang anggota VVV. Maria Ulfah, misalnya, dengan gelar sarjana di bidang hukumnya dari Universitas Leiden jelas membuatnya berpendidikan lebih tinggi dari Cornelia Metzer, anggota perempuan pertama Volksraad asal VVV, yang hanya mengenyam sekolah guru. Menurut Elsberth, penyataan dan sikap para feminis Eropa menunjukkan adanya prasangka rasial dan pemeliharaan prestis orang kulit putih. “Wanita Eropa yang progresif dalam perilaku mereka di satu sisi menunjukkan sikap kolonial. Meskipun secara eksplisit mereka tidak membatasi hak pilih hanya untuk perempuan Eropa, pernyataan dan argumentasi mereka meninggalkan sedikit ruang untuk hak perempuan Indonesia,” tulis Elsbeth. Pandangan dan sikap para feminis Eropa itu datang dari minimnya pengetahuan mereka terhadap perempuan pribumi. Di sisi lain, mereka sangat berani menyimpulkan. Hasilnya, mereka membuat kesimpulan amat sembrono yang menjadi dasar tindakan mereka. Alhasil, sikap berat sebelah kerap mengiringi perjuangan mereka. Sikap berat sebelah itu antara lain ditunjukkan saat VVV mengajukan usulan anggota Dewan Rakyat. Lantaran mendapat protes dari Nyonya Datoe Toemenggoeng, yang merupakan pribumi, VVV tak mau mendengar. Sehingga, Nyonya Datu pun keluar. “(Keluarnya Datu Tumenggung, red .) mungkin karena perbedaan pendapat antara dia dan anggota VVV tentang posisi perempuan Indonesia dalam VVV,” tulis Elsbeth. Hubungan Tegang dengan Gerakan Perempuan Indonesia Sejak bersatu di Kongres Perempuan Indonesia (KPI), gerakan perempuan Indonesia tak pernah ambil pusing dengan keberadaan VVV. Hubungan kedua organisasi perempuan itu sangat berjarak. “Kebanyakan anggota VVV memandang rendah saudari pribumi yang dianggap kurang tercerahkan. Cara pandang mereka pun sangat konservatif, mencerminkan masyarakat Eropa di Hindia pada akhir 1920-an dan 1930-an,” kata Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia. Terlepas dari progresifnya feminisme di Eropa, feminisme di Hindia-Belanda yang dijalankan para feminis Belanda masih rasis. Sebagian karena para feminis bagian dari sayap kanan politik kolonial. Pemimpin VVV berafiliasi dengan Vaderlandsche Club (VC), partai sayap kanan ultra-konservatif yang mayoritas anggotanya pro pemerintah kolonial. Hal itu membuat hubungan VVV dan gerakan perempuan Indonesia terus tegang karena sebagian anggota KPI adalah sayap organisasi nasionalis. Pada 1928, VVV tak bisa menghadiri Kongres Wanita Indonesia pertama meski amat ingin hadir. Penyelenggara kongres tidak menghendaki kehadiran perwakilan VVV. Ketua VVV Sophie van Overveldt-Biekart amat menyayangkan penolakan itu. Menurutnya, gerakan perempuan Indonesia bisa belajar dari organisasi perempuan Eropa karena mereka merasa lebih berpengalaman terkait pergerakan perempuan. “Sejalan dengan partai politik Eropa konservatif, feminis kolonial Belanda menampilkan dirinya terlibat penuh dalam proyek kolonial…. Dengan demikian tidak ada alasan sama sekali untuk solidaritas perempuan,” tulis Elsbeth.

  • Meneropong Jejak Konflik di Tanah Rencong

    BERBEKAL janji yang sudah dibuat sejak jauh hari, Siti Rahmah berangkat ke rumah Bambang Darmono di Cikeas, Bogor. Sempat menunggu, dia akhirnya bertemu tuan rumah yang datang terlambat. “Rumah SBY sebelah sana, nggak jauh dari rumahku,” kata Rahmah menirukan ucapan Bambang, ketika berbicara dalam peluncuran bukunya, Jejak Setapak di Tanah Rencong (berikutnya disebut Jejak Setapak ) , Rabu (28/2/18) sore di The Atjeh Connection, Sarinah, Jakarta Pusat. Bambang merupakan panglima Komando Operasi TNI di Aceh sewaktu provinsi paling barat Indonesia itu ditetapkan Darurat Militer pada 2003. Dari Bambang, Rahmah ingin mengorek informasi tentang konflik Aceh dan penyelesaiannya versi TNI. Dan, Rahmah mendapatkannya. Tulisan tentang Aceh semasa konflik dan persahabatan Rahmah dengan sang jenderal menjadi satu dari sekian tulisan di buku tersebut. Bambang hanyalah “minoritas” di buku kumpulan tulisan Rahmah. Mayoritas narasumber dalam tulisan-tulisan Rahmah di buku tersebut adalah “orang-orang kecil”, mulai dari pasukan dan pemasok senjata GAM, Inong Balee (pasukan perempuan GAM), kurir, aktivis penyelesaian konflik Aceh, hingga penerjemah GAM. “Buku Rahmah bercerita tentang orang-orang biasa. Bukan orang besar. Peristiwa-peristiwa kecil dan orang-orang kecil,” kata Budi Setiyono, penyunting Jejak Setapak , yang juga menjadi pembicara di acara itu. Selama 10 tahun sejak 2008, Rahmah melakukan riset mendalam, menemui orang-orang yang terlibat dalam konflik, dan melakukan pendekatan secara personal. “Ketemu dulu, ngobrol ringan, dapat banyak cerita lalu saya bilang, ‘gimana kalau saya tulis jadi buku?’, kemudian mulai menulis,” kata Rahmah. Ide penulisan Jejak Setapak tidak muncul begitu saja. Bermula dari diskusi ketika dia menjadi peneliti program conflict and development di Bank Dunia, Rahmah lalu terjun ke lapangan, bertemu dengan masyarakat korban konflik. Dari situ ia mulai tertarik menulis tentang mereka. Jejak Setapak memuat 19 tulisan. Sebagian pernah dipublikasikan di media massa, terutama di pantau.or.id . Rahmah memberi porsi besar pada kisah para perempuan dalam konflik Aceh. Cut Farah Meutia atau Farah, misalnya. Dia beserta 20-an teman sesama anggota Perempuan Merdeka menolak kehadiran TNI di Aceh dan menuntut penyelesaian konflik Aceh secara damai. Mereka berdemonstrasi ketika Megawati datang ke Aceh, 8 September 2001. Kegiatan Farah ini menarik simpati pemimpin GAM dan memintanya memberi pengetahuan politik untuk InongBalee . Integritas Farah membuatnya terpilih sebagai peninjau sipil, mewakili Perempuan Merdeka, di perundingan Tokyo, Mei 2003. Farah tak pernah menduga dirinya bakal menjadi penentu dalam perundingan itu. Para anggota delegasi GAM lepas tangan dalam menentukan keputusan akhir, apakah akan menerima otonomi khusus yang disodorkan delegasi Indonesia atau menolak dengan risiko diserang, dan memasrahkannya pada Farah dan Erwanto. Erwanto pun kemudian melemparkannya pada Farah. “Karena keputusan dimandatkan ke tangan saya, posisi saya seperti simalakama. Jika saya mengatakan otonomi, saya akan diklaim sebagai pengkhianat sepanjang masa oleh GAM dan juga rakyat Aceh. Jika saya ambil keputusan untuk berperang, tentunya itu bukan kapasitas saya,” kata Farah membatin. Sambil terus diburu waktu yang hanya 10 menit, Farah terus menimbang-nimbang. Dia akhirnya mengambil sikap ketika waktu untuk menyatakan keputusan tiba. “Kita siap berperang melawan Indonesia sampai kapanpun,” kata Farah kepada mediator dari Henry Dunant Centre. Perundingan pun gagal. Indonesia menjawab keputusan delegasi GAM, yang dibuat Farah, dengan memberi status Darurat Militer untuk Aceh. Pertumpahan darah kembali terjadi. Bersama perang, beragam cerita lahir dan mengiringi. Perempuan Merdeka, oraganisasi yang didirikan Farah bersama temanny,a lahir di tengah konflik. “Perempuan Aceh pada masa konflik sangat kuat. Banyak perempuan Aceh yang saya temui sangat berani dan perempuan di garis depan. Dari dulu sangat berani,” kata Rahmah. Rahmah juga mewawancara Abdullah Puteh yang kala konflik menjadi Gubernur Aceh. Puteh punya peran penting dalam penyelesaian konflik Aceh, penghubung antara pemerintah RI dan GAM. “Rahmah menulis sesuatu di tengah konflik. Banyak peristiwa-peristiwa lain yang tidak diketahui dan perlu digali lagi,” kata Puteh yang juga hadir di peluncuran buku. Tapi, tidak seluruh isi buku Rahmah membahas tentang konflik Aceh. Ada pula pembahasan lain, seperti kesenian Aceh. “Saya meyayangkan buku ini tidak ada indeksnya. Tapi Rahmah memotret semua dimensi di Aceh. Potret dinamika masyarakat Aceh, tsunami, konflik, maupun perdebatan masalah perdamaian Aceh. Kebaruannya tidak lepas meski rentang waktu 10 tahun,” kata Irine Gayatri yang juga menjadi pembicara. Rahmah mengajak pembaca mengikuti jejaknya menelusuri konflik Aceh. Dengan sangat dekat, dengan gaya bercerita yang membuat pembaca merasa hadir bersama Rahmah.

  • Nasib Jenderal Pembangkang di Era Soeharto

    DI ujung senjanya, Jenderal TNI Abdul Haris Nasution masih mendapat perlakuan tak menyenangkan meski di tengah suasana dukacita. Kala melayat mantan koleganya Jenderal T.B. Simatupang yang wafat pada 1 Januari 1990, Nasution dengan kasar didorong ke luar ruangan jenazah oleh para pengawal Soeharto. Waktu itu, Presiden Soeharto memang akan tiba juga untuk melayat.

  • Silsilah Penguasa untuk Berkuasa

    DALAM pidatonya di hadapan kader Partai Demokrat di Stadion Redjoagung Tulungagung, Jawa Timur, Minggu 25 Februari 2018, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku keturunan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Raja-raja Jawa di masa lalu juga melakukannya untuk melegitimasi kekuasaannya. “Ini jadi penting karena bisa digunakan untuk legitimasi diri,” ujar Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, ketika dihubungi Historia. Meraih kekuasaan dengan menunjukkan diri sebagai keturunan penguasa adalah cara berpikir monarkis. Pada era kerajaan, kesultanan, keraton maupun kasunanan, kekuasaan diperoleh melalui hubungan keluarga. “Ini sudah tradisi sejak masa lalu,” kata Dwi. Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, seorang raja bahkan melegitimasi diri sebagai titisan dewa, biasanya Dewa Wisnu atau Dewa Siwa. Misalnya, Dyah Balitung, raja Medang atau Mataram Kuno pada abad 9, mengaku titisan Dewa Rudra, salah satu aspek dari Dewa Siwa. Istilahnya, dalam Prasasti Wanua Tengah III (908), disebut Rudramurti. Dwi menjelaskan, dalam prasasti yang dikeluarkannya, Prasasti Mantyasih (907), Dyah Balitung juga menarik urutan raja-raja pendahulunya hingga Sanjaya, raja pertama Mataram Kuno dari Dinasti Sanjaya. “Ada kemungkinan Balitung naik takhta bukan sebagai putra raja terdahulu, tapi dia menantu dengan mengawini putri mahkota,” ujar Dwi. Balitung, kata Dwi, pun memberikan anugerah kepada orang-orang yang berjasa dalam pernikahannya. Hal ini penting untuk mengingatkan khalayak bahwa dia menantu, tetapi tetap memiliki trah panjang raja-raja terdahulu. Riboet Darmosoetopo, epigraf Universitas Gajah Mada, menjelaskan pula bahwa Daksa, saudara ipar Balitung, tanpa alasan jelas diangkat sebagai hino, sebutan untuk putra mahkota. Daksa kemudian menggantikan Balitung setelah dia turun takhta. Untuk memperkuat kedudukannya, Daksa membuat perhitungan tahun yang berpangkal pada peristiwa penting Raja Sanjaya. Tahun itu disebut Tahun Sanjaya. “Secara tak langsung dia menyatakan masih keturunan Sanjaya,” tulis Riboet dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU . Begitu pula raja berikutnya, Tulodong. Dia mempergunakan nama abhiseka (gelar penobatan) untuk menyatakan diri sebagai wakil dewa di dunia: Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasanmatanuragatunggadewa. Raja Airlangga juga begitu. Dalam Prasasti Pucangan (1041), dia membeberkan silsilahnya hingga Mpu Sindok, raja Medang Kamulan. Dia naik takhta di Medang melalui pernikahan dengan putri Dharmawangsa Tguh, raja terakhir Medang Kamulan. “Sebenarnya ibunya (Airlangga, red. ) punya hak atas takhta di Jawa, tapi dia tidak naik dan menikah dengan Udayana di Bali,” jelas Dwi. Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit, bahkan sampai memugar 27 pendharmaan leluhurnya. Salah satunya Candi Kagenengan di mana Ken Angrok didharmakan. “Dalam membangun silsilahnya, dia (Hayam Wuruk, red. ) tidak hanya keturunan Raden Wijaya (Majapahit, red. ), tapi juga Singhasari yaitu Ken Angrok,” lanjut Dwi. Selain memugar, Hayam Wuruk pun menziarahi candi-candi leluhurnya. Menurut Dwi, apa yang dilakukan Hayam Wuruk mirip dengan kebiasaan penguasa masa sekarang, yaitu berziarah ke makam leluhur. “Ini gambaran bagaimana kesadaran trah atau silsilah sudah tergambar pada masa Hayam Wuruk dengan menapak tilas tempat-tempat pendharmaan leluhurunya,” kata Dwi. Pada era kesultanan, pengabsahan kekuasaan malahan tak tanggung-tanggung. Silsilah sang penguasa dibuat dari dua sisi yang disebut trah mangiwo dan manengen . “Tidak hanya dicari satu jalur saja tapi dua jalur. Jika dua-duanya kuat maka nilai keabsahannya sangat kuat,” lanjut Dwi. Trah manengen mengurutkan silsilah seseorang hingga era kenabian. Di Jawa, sering kali dalam suatu silsilah ditemukan nama nabi yang tidak begitu dikenal, misalnya Nabi Sis. “Banyak keluarga di silsilah manengen , turun ke dirinya lewat Nabi Sis, baru turun lagi ke penguasa di Jawa termasuk penguasa Demak, Raden Patah,” jelas Dwi. Sementara trah mangiwo, silsilahnya diurutkan sampai tokoh-tokoh pewayangan hingga Parikesit, yaitu keturunan Pandawa terakhir. “Biasanya dibuka dengan tokoh yang pertama kali membuka Pulau Jawa, lalu lewat raja-raja Jawa, sampai ke dirinya. Raja-raja Jawa ini dilewati dalam mangiwo dan manengen , pucuknya saja berbeda, yang satu kenabian, yang satu pewayangan,” ujar Dwi. Menunjukkan pada khalayak kalau dirinya adalah bangsawan, keturunan penguasa masih dijumpai sampai sekarang. Di rumah-rumah Jawa, khususnya, dijumpai beberapa benda yang menunjukkan hal itu. Di atas pintu utama sering dipajang foto atau lukisan seseorang yang menjadi pangkal trah kebangsawanannya, bisa pejabat daerah maupun raja. Di pojok kiri ditempatkan tombak atau payung untuk menyatakan dirinya masih berhubungan dengan keraton atau keluarga bangsawan. Di pojok lainnya, ditemukan silsilah yang dipigura. Isinya cikal bakal si pemilik rumah. “Sebagai bukti dia masih punya garis panjang ke atas yang berkaitan dengan darah biru. Istilahnya trahing kusuma rembesing madu . Dia punya trah bunga yang madunya masih merembes sampai ke dirinya,” jelas Dwi. Sesungguhnya merunut silsilah yang begitu panjang tak mudah. SBY misalnya yang merunut hingga ke masa Raden Wijaya. Sampai saat ini sudah terpaut 725 tahun sampai ke masa pendiri Majapahit itu berkuasa. Paling tidak sudah ada puluhan generasi berganti sampai SBY lahir hingga menjadi presiden dan ketua umum Partai Demokrat. “Apakah memang (silsilah SBY, red. ) dipas-paskan atau memang begitu, saya tidak tahu. Verifikasinya kan susah,” lanjut Dwi. Meski bukan lagi era monarki, nyatanya tradisi semacam itu masih muncul. Menunjukkan diri sebagai keturunan penguasa besar, apalagi Majapahit, kerajaan dengan nama besar, mungkin bisa menjadi alat promosi dan legitimasi sebagaimana yang terjadi pada masa lalu. “Silsilah ini berkaitan dengan sejarah. Biasanya memang di era kontestasi politik, sejarah menjadi laku. Khususnya untuk bumbu legitimasi,” pungkas Dwi.

  • Perempuan Bekerja Dulu dan Kini

    UNTUK memperingati Hari Perempuan Sedunia (HPS), Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) bekerjasama dengan UN Women menggelar HeForShe Run pada 4 Maret 2018. Direktur Eksekutif IBCWE Maya Juwita dalam siaran pers mengatakan, kegiatan lari dipilih karena identik dengan semangat menumbuhkan sportivitas di dunia olahraga. “Olahraga lari yang kini populer dan bersifat lintas gender serta usia dipandang dapat menjadi medium untuk menunjukkan dan membentuk sportivitas di kalangan peserta baik laki-laki dan perempuan untuk mencapai garis lintas akhir ( finish ),” kata Maya. Lomba lari menjadi simbol dan sarana menumbuhkan sportivitas antara lelaki dan perempuan. Kegiatan ini juga diharapkan bisa meningkatkan kepedulian masyarakat, khususnya laki-laki, untuk ikut berkontribusi dalam memperkecil kesenjangan gender dan mencapai kesetaraan gender di dunia kerja serta pemberdayaan ekonomi perempuan. “Kesetaraan gender akan tercapai apabila perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan, kemampuan, serta pilihan-pilihan yang setara dalam keseharian mereka. Hal ini membutuhkan partisipasi sportif dari kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan,” kata Anne Patricia Sutanto, ketua pelaksana HeForShe Run sekaligus anggota Dewan Pembina IBCWE. IBCWE adalah koalisi perusahaan yang peduli kesetaraan gender di tempat kerja dan membantu pemberdayaan ekonomi perempuan. Tiap perusahaan yang menjadi anggota IBCWE akan menjalani asesmen untuk mengetahui tingkat kesetaraan gender di perusahaan tersebut. Setelah asesmen dan audit, IBCWE bersama perusahaan terkait akan membuat road map dan action plan . “Kalau mau menaikkan tingkat kesetaraan gender di satu perusahaan, perlu ada kebijakan-kebijakan yang menciptakan kondisi, baik bagi pekerja laki-laki maupun perempuan, berkontribusi secara setara,” kata Suci Haryati, communications specialist IBCWE. Dalam misi mendukung kalangan bisnis agar berperan optimal menciptakan kesetaran gender di dunia kerja dan pemberdayaan ekonomi perempuan, IBCWE berupaya mempersuasi pemimpin perusahaan untuk menerapkan kebijakan yang adil gender. Hal ini diwujudkan antara lain melalui upaya mengatasi kesenjangan upah antar-gender, memajukan perempuan dalam kepemimpinan dan posisi badan kelola, meningkatkan partisipasi pekerja perempuan, investasi untuk kondisi kerja ramah perempuan (misalnya, cuti haid, ruang laktasi, parental leave ), dan memastikan para pemimpin dan manajer menerapkan kesetaraan gender. Upaya di Masa Lalu Upaya untuk memenuhi hak pekerja perempuan sudah berjalan sejak Indonesia belum merdeka. Istri Sedar, organisasi perempuan yang diprakarsai Suwarni Pringgodigdo, mengupayakan kesejahteraan buruh pada pertemuannya, Juli 1932. Pertemuan itu meski bahasan utamanya mengenai pendeklarasian bentuk gerakan menjadi gerakan politik, tapi juga membahas masalah perburuhan. Istri Sedar memutuskan untuk mengkampanyekan kebutuhan perempuan kelas proletar sehingga pihak pemberi kerja dapat menyediakan kondisi kerja yang baik bagi mereka. Imbasnya, para perempuan pekerja memiliki kesempatan menjadi ibu yang baik. Bukan hanya Istri Sedar, Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII) atau biasa disebut Kongres Perempuan juga menaruh perhatian pada nasib pekerja perempuan. Saat mendapat kabar dari Dr. De Kat Angelino, direktur Dinas Pendidikan dan Pengajaran, bahwa banyak pabrik batik di Lasem melakukan pelanggaran hak-hak buruh, Badan Federasi PPII langsung mengutus Sujatin dan Nyonya Hardjodiningrat mengunjungi perusahaan batik di Lasem pada 1930. “Para pekerja sempat mengadu pada Sujatin karena mendapat perlakuan sewenang-wenang dari majikan. Hasil kunjungan Sujatin ke Lasem itu langsung dia kemukakan dalam Rapat Umum PPII,” tulis Hanna Rambe dalam biografi Sujatin, Mencari Makna Hidupku. Ketika Kongres Perempuan melakukan pertemuan pada Juli 1935, organisasi itu membentuk Komite Investigasi untuk mengurusi masalah perburuhan. Upaya memperjuangkan hak-hak pekerja perempuan terus berlanjut ketika Indonesia sudah merdeka. Dalam kongres di Bandung tahun 1952, Kongres Perempuan antara lain memutuskan meneliti besaran gaji yang diterima perempuan pegawai negeri sipil dan buruh. Selain itu, Kongres Perempuan mengorganisasi pengasuhan anak bagi ibu yang bekerja, dan mendirikan kantor yang berhubungan dengan masalah buruh, kesehatan, pendidikan, dan perkawinan. Untuk merealisasikan putusan tersebut, diusulkan mendirikan Yayasan Happy Childhood, namun pelaksanaannya tak diketahui. Sementara itu, tarik-ulur tentang cuti haid juga sudah terjadi di masa lalu. Kementerian Perburuhan dalam laporan Repelita 1956-1960, menolak diberlakukannya cuti haid. Alasannya, seperti dikutip Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, diberikannya hak cuti haid pada perempuan membuat perusahaan enggan mempekerjakan pegawai perempuan. Padahal, aturan tentang pemberian cuti haid sudah dikeluarkan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1951 yang mengatur jatah cuti haid sebanyak dua hari dan pemberian gaji penuh terhadap karyawan yang mengambil cuti ini. Meski sudah dibahas sejak lama, tempat kerja yang mengakomodasi kebutuhan ibu bekerja, cuti haid untuk perempuan, dan kadilan remunerasi bagi laki-laki maupun perempuan masih terus diperjuangkan sampai sekarang, antara lain oleh IBCWE. “Tantangannya di Indonesia adalah mengajak para pemimpin perusahaan untuk membangun budaya kerja yang kondusif untuk terwujudnya kesetaraan gender di dunia kerja di tengah masyarakat yang masih patriarkis,” kata Suci.

  • Di Filipina, Kali Majapahit Lestari

    SEBAGAI kerajaan terbesar di Nusantara, nama Majapahit dikenal sampai jauh ke seberang. Wilayah kekuasaannya membentang luas, sebagaimana disebutkan dalam Kakawin Negarakertagama . Tak aneh bila Majapahit meninggalkan banyak warisan. Salah satunya, Sundang/Kali Majapahit. Silat/beladiri Majapahit itu menjangkau hingga negeri seberang. Kali Majapahit, yang menjadi modal dasar keprajuritan Majapahit, berasal dari Mahisa/Lembu Anabrang. “Anabrang adalah laksamana Singhasari yang dikirim waktu (Ekspedisi) Pamalayu, zaman Raja Kertanegara,” ujar arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar kepada Historia . Menyusul tewasnya Kertanegara dalam pemberontakan Jayakatwang, Anabrang lalu bernaung di bawah panji Majapahit. Suksesor Singhasari itu didirikan Raden Wijaya, menantu Kertanegara yang memadamkan pemberontakan Jayakatwang. Sekembalinya ke Jawa, Anabrang mendapat tugas memadamkan Pemberontakan Ranggalawe. “Kebo Anabrang disebutkan mengalahkan Ranggalawe dalam Kidung Ranggalawe . Namun kemudian Anabrang dikalahkan Lembu Sora dengan silat Madura-nya,” lanjut Agus. Anabrang dibunuh dalam rangka pembalasan dendam. Ranggalawe adalah keponakan Lembu Sora. Namun, Anabrang sudah menurunkan beladiri Kali Majapahit kepada keturunannya, Mahisa Teruna/Adityawarman. Teruna merupakan penguasa Kerajaan Malayapura yang beribukota di Dharmasraya. Dari sinilah kemudian beladiri khas pasukan elit Majapahit itu menyebar sampai ke Mindanao. Pun begitu, belum ada kitab atau catatan lain terkait penyebarannya. “Bisa jadi ada para Arya (bawahan) Majapahit yang mengembara sampai di sana,” sambung Agus. Profesor UI itu mengikhtisarkan persebaran Sundang, mulai dari Anabrang, diturunkan ke prajurit-prajurit bawahan Majapahit di Melayu dan Dharmasraya, kemudian ke Kepulauan Riau, Bugis, Wajo, Semenanjung Melayu sampai ke Sulu (Mindanao). Di Nusantara, Kali Majapahit kemudian hilang selepas keruntuhan Majapahit. Sisa-sisanya justru lestari di Filipina, sebagaimana diakui praktisi Kali Majapahit di Filipina berpaspor Prancis, Fred Evrard. “Kali Majapahit beladiri yang berakar dari Kerajaan Majapahit kuno. Beladiri ini perpaduan dari beberapa budaya Filipina, namun juga terkandung elemen Muaythai, Pencak Silat, Hakka Kuntao dan Chen Taijin Quan,” jelas Evrard dalam Filipino Martial Arts: Kali Majapahit (2009). Penjelasan Evrard senada dengan uraian Mark V. Wiley dalam Filipino Martial Culture (1997). Menurut Wiley, Kali (Majapahit) disebarkan dari Nusantara melalui Kepulauan Riau ke Malaya hingga Kepulauan Filipina bagian selatan, tengah dan utara pada abad ke-14 ketika terjadi migrasi ketiga orang-orang Melayu ke Filipina. Seiring perkembangannya, muncul sebutan “Eskrima”, berakar dari kata Spanyol “Esgrima” yang berarti pedang/anggar. Istilah itu muncul sejak kedatangan ekspedisi Spanyol yang dipimpin Ferdinand Magellan di Kerajaan Cebu. Sejak itu, Kali terus digemari hingga tetap lestari. Kini, Kali semakin populer setelah dikembangkan lebih luas oleh suami-istri Fred Evrard-Hiu Lila sejak 1998. Evrard mendirikan sasana beladiri ini di Moorea (Polynesia Prancis), Singapura, dan Baguio, Filipina. Sejak didemonstrasikan di hadapan Dewan Kali Eksrima Arnis Master pada 2008 dan seminar 2009, Kali hingga kini jadi satu dari sekian beladiri wajib pasukan khusus militer dan kepolisian Filipina. “Sungguh disayangkan kami belum pernah belajar seni beladiri yang sejatinya berasal dari leluhur kami. Butuh seorang warga asing untuk menyadarkan kami betapa indahnya beladiri khas Filipina dan betapa bernilainya untuk sejarah kami,” cetus seorang aparat militer berpangkat kapten yang tak disebutkan namanya, sebagaimana dilansir fmapulse.com , 17 Januari 2009.*

bottom of page