top of page

Hasil pencarian

9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mendulang Suara dari Desa

    ALI Sastroamidjojo begitu sibuk. Dia berkeliling daerah untuk berkampanye demi kemenangan PNI; dari Jakarta hingga Bali, dari Sumatra Utara hingga Kalimantan. Dia berpidato dalam rapat-rapat umum. Dan untuk menarik perhatian massa, PNI menggunakan berbagai macam cara.

  • Layu Setelah Melaju

    SABAN pagi, lurah Djoearta tak pernah absen menunggu lalu membaca Suluh Indonesia ( Sulindo ). Sebagai anggota fanatik PNI, dia tak mau melewatkan waktu untuk mengikuti perkembangan partai. “Saya ingat Sulindo selalu ditunggu-tunggu bapak saya, karena hanya dari koran itu ia bisa mendapatkan berita terbaru mengenai perkembangan politik di tanah air,” ujar Tresnawati (70), salah satu putri Djoearta, kepala desa Nagrak, Cianjur, era 1960-an.

  • Kisah Anak-anak Marhaen

    WALUJO Martosugito masih ingat kejadian setengah abad lalu itu. Suatu siang saat dirinya dan Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani tengah berbincang dengan Presiden Sukarno di bagian belakang Istana Negara, seorang perwira tiba-tiba datang menghadap. Ia melaporkan bahwa Istana Negara sudah dikepung oleh para demonstran dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).

  • Kiprah Buruh Nasionalis

    KETIKA dibui pada 1930, Sukarno didakwa atas tuduhan menebar kebencian terhadap pemerintah kolonial. Dalam kerangkeng penjara Sukamiskin di Bandung, pemimpin PNI itu menuliskan pidato pembelaannya.

  • Kaum Perempuan Nasionalis

    KOLABORASI PNI dengan gerakan perempuan sudah berlangsung sejak awal mula partai itu berdiri. Kongres pertama PNI pada Mei 1928 di Surabaya menuai simpati yang besar dari golongan wanita. Terlebih karena dalam putusan kongres PNI mengupayakan perbaikan derajat kaum wanita: memerangi perkawinan anak, perkawinan paksa, dan memajukan perkawinan dengan satu istri (monogami). Putusan tersebut ditetapkan menjadi bagian AD/ART PNI saat itu.

  • Dendang Liris Sastra Marhaenis

    SETELAH upacara seremonial di halaman kantor Dewan Pimpinan Pusat PNI, yang dihadiri tokoh-tokoh terkemukanya, regu Front Marhaenis membawa panji-panji Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Rencananya, panji-panji itu akan dibawa secara estafet menuju tempat tujuan: Solo.

  • Dalam Jaring-jaring Kekuasaan

    SETELAH melakukan pembicaraan dengan sejumlah partai politik, Ali Sastroamidjojo menghadap Presiden Sukarno pada Maret 1956 untuk melaporkan hasil pembentukan kabinet. Sukarno menunjukkan reaksi kecewa karena Ali sebagai formatur tak mengikutsertakan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang meraih enam juta suara dalam pemilihan umum 1955.

  • Cerita dari Kota Kelahiran

    TOKO Indra kini tak seramai dulu lagi. Etalase toko busana itu dihimpit pagar Masjid Agung Bandung yang merangsek masuk hingga menyisakan jarak kurang dari dua meter di depan toko. Dua pegawai tampak berdiri termangu menanti pelanggan yang tak jua mampir ke toko yang berada di bawah gedung Swarha yang terletak di Jalan Asia-Afrika itu.

  • Cara Mulus Mendulang Fulus

    ALI Sastroamidjojo, ketua umum PNI, menyebarkan surat bernomor 1079/ PEG/024/’64 yang ditujukan kepada setiap kader PNI. Isinya, perintah untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan gedung PNI/Front Marhaenis. Surat tersebut tertanggal 13 November 1964.

  • Macan Ketawa Dukung Negara Jawa Timur

    POSISI Belanda cukup kuat pada awal 1949. Banyak daerah didudukinya setelah Agresi Militer Belanda Kedua (19 Desember 1948) dilancarkan di Jawa. Negara-negara federal, yang dibentuk untuk mendukung kepentingan Belanda, makin banyak berdiri di Jawa. Di tiap negara federal, Belanda bahkan berusaha membangun batalyon federal yang di antaranya berisi eks pejuang pendukung Republik Indonesia (RI) juga.   Di antara pasukan-pasukan pendukung Belanda itu adalah Korps Tjakra Madoera, yang berpusat di Bondowoso, penghasil kopi dan tanaman komoditas lain di zaman Hindia Belanda. Cukup lama pasukan berlambang “Macan Ketawa” itu berada di daerah Tapal Kuda –meliputi Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Lumajang, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo– di Jawa Timur. Pasukan itu disebar-sebar hingga ke pelosok. De Vrije Pers  tanggal 8 April 1949 menyebut, kompi dan peleton Tjakra tersebar di 30 pos di daerah Tapal Kuda. Satu pos dengan pos lain sangat berjauhan.   Bondowoso yang kini dijuluki “Bumi Tape” itu merupakan ibukota Negara Jawa Timur, salah satu negara federal yang didukung Belanda. Negara Jawa Timur lahir berdasar resolusi Konferensi Djawa Timoer di Bondowoso, 23 November 1948. Bertindak sebagai walinegara adalah Raden Tumenggung Achmad Kusumonegoro. Wilayah Negara Jawa Timur meliputi Jawa Timur minus Madura. Madura tidak termasuk karena punya Negara Madura, yang juga berdiri sekitar tahun itu.   Pasukan Tjakra Madoera jadi andalan Belanda dan para federalis di Jawa Timur. Reputasinya cukup baik bagi mereka. De Vrije Pers  tanggal 8 April 1949 menyebut, pembelotan atau desersi belum pernah ada dalam pasukan berkekuatan 2000 personel ini.   Secara teknis militer, Tjakra Madoera punya reputasi tangguh. Ia mampu bergerak di perbukitan dalam melawan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertahan di perbukitan Tapal Kuda.   Meski jaya di Tapal Kuda, Korps Tjakra Madura di Pulau Madura sendiri justru tak berjaya. Nieuwe Courant edisi 3 Juni 1947 memberitakan, pasukan Tjakra Madoera ”tidak memiliki pengaruh apa pun di antara orang-orang Madura.”.   Oleh karenanya, Belanda berencana mendaratkan Tjakra Madoera di Madura. Namun rencana itu urung diwujudkan lantaran pasukan itu akan disambut hujan peluru dari rakyat Madura begitu mendarat. Tjakra Madoera akhirnya ditugaskan ke Tapal Kuda.   Tentu saja kegagalan penugasan ke Madura menimbulkan rasa penasaran bagi banyak prajurit Tjakra Madoera. Mereka mendambakan kemenangan begitu pasukannya mendarat di Madura seperti yang mereka alami di Tapal Kuda.   “Kalau aman di Jawa Timur, kembali ke Madura,” begitu semboyan yang tumbuh dalam benak para prajurit pasukan itu, seperti dicatat Nieuwe Courant  tanggal 9 Juli 1949.   Namun, angan-angan itu baru terjadi setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Kerajaan Belanda dan dalam bentuk berbeda dari yang diangankan. De Vrije Pers  tanggal 4 Januari 1950 memberitakan, pasukan Tjakra Madoera dipindahkan ke Pulau Madura. Namun tak jelas bagaimana nasib korps tersebut, sebab  De Vrije Pers  tanggal 6 Januari 1950 menyebut, ketika itu di Madura terdapat batalyon Keamanan Madura dan ini bukan Korps Tjakra Madoera dari Tapal Kuda.   Sebagaimana negara federal-negara federal yang ada dan juga tentara kolonial KNIL, Korps Tjakra Madoera sebagai lembaga pun menghilang setelah 1950 usai pengakuan kedaulatan. Wilayah bekas Hindia Belanda berganti jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nasib para mantan personel Tjakra Madoera pun berbeda-beda. Ada banyak eks musuh RI itu yang pada 1950 masuk ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Seriakt (APRIS), yang kemudian berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).   Di TNI, bekas Tjakra Madoera lalu dimasukkan ke dalam batalyon di Jawa Timur. Bekas Tjakra itu berada dalam Batalyon ke-51 yang dipimpin Kapten Edwin Arie Claproth dan Batalyon ke-50 pimpinan Mayor Ismail Joedodiwirjo di. De Vrije Pers  tanggal 1 Desember 1950 menyebut, kedua batalyon itu lalu dikirim ke Ambon guna memadamkan perlawanan angkatan perang dari Republik Maluku Selatan (RMS) di Kepulauan Maluku. Sebelum mereka diberangkatkan, Panglima Tentara Jawa Timur Bambang Sugeng memberikan bendera merah putih kepada pasukan kedua batalyon itu untuk dikibarkan setelah berhasil menduduki wilayah Ambon. Kedua batalyon itu kemudian dianggap bertugas dengan baik.*

  • Jalan Terjal Negara Federal

    TAK rela negeri bekas jajahannya lepas, yang tentu bakal merugikan kepentingan Belanda, pemerintah Belanda mengirimkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook ke Indonesia. Dia dianggap orang yang tepat. Lahir di Indonesia (Semarang), intelektual, dekat dengan sejumlah cendekiawan Indonesia yang relatif progresif. Namun, situasi sudah berubah. Van Mook pun menyiasatinya dengan menawarkan konsep negara federal. Sejak lama, dia mengidamkan Hindia Belanda lepas dan tak diperintah dari Belanda tetapi dari Batavia. Dia juga ingin gubernur jenderal memiliki kekuasaan yang kuat. Kali ini, Van Mook punya pertimbangan lain. Akibat perang, Jawa menjadi miskin sedangkan luar Jawa punya peluang memulihkan ekonomi. Politik kesatuan akan membebani luar Jawa yang harus menanggung pemulihan Jawa, tetapi di sisi lain luar Jawa akan tertulari (nasionalisme) Jawa. Kabinet Republik Indonesia Serikat. (Repro 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 ). Van Mook memulainya dengan Konferensi Malino, yang membuka jalan bagi munculnya sejumlah negara bagian. Langkah politiknya melalui perundingan dengan Republik Indonesia juga berujung pada pembentukan Republik Indonesia Serikat. Namun, dia harus menelan pil pahit karena berseberangan jalan dengan pemerintahnya dan kelompok federalis yang dia bentuk. Gagasan Van Mook bukan hanya gagal tetapi juga mematikan alternatif dari bentuk negara kesatuan. Setiap kali wacana federalisme muncul, ia langsung tenggelam dengan alasan ia alat devide et impera  (politik pecah belah atau adu domba) Belanda. Selain itu, sejarah federalisme di Indonesia selalu dikait-kaitkan dengan kekuasaan kaum feodal. Bagaimana pengalaman masa-masa negara federal dijalankan? Berikut ini laporan khusus jalan terjal negara federal. Langkah Van Mook di Tengah Amok Dalam Bayang-bayang Unitarisme Eksperimen Pertama Negara Federal Presiden Negara Indonesia Timur dari Bali Jalan Hidup Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Pulihnya Kekuasaan Melayu Negara Madura Benteng Pengaman Negara Menak Sunda Dilema Menak Sunda Nyanyi Sumbang dari Palembang Pemerintahan Seumur Jagung BFO Kekuatan Ketiga Setelah RIS Habis

  • Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

    SESOSOK gadis kecil tanpa pakaian histeris seraya berlari bersama empat bocah yang masih kerabatnya dan empat prajurit Vietnam Selatan juga mengevakuasi diri. Phan Thị Kim Phúc, nama gadis berusia 9 tahun itu, menjerit-jerit karena kulitnya melepuh sementara di belakangnya asap hitam nan mengepul dan kobaran api terus mengejarnya.    Kengerian itu terekam dalam sebuah foto yang menjadi salah satu dokumentasi paling dikenal dalam Perang Vietnam (1955-1975). Foto bertajuk “Terror of War” atau populer disebut foto “Napalm Girl” itu populer karena Phúc kecil turut jadi korban pemboman napalm atau bom bakar oleh pesawat-pesawat atau Angkatan Udara (AU) Vietnam Selatan, KVLNCH, di Desa Trảng Bàng pada 8 Juni 1972 gegara desa itu diklaim telah diduduki pasukan Vietkong.    Foto itu merupakan karya fotografer Associated Press ( AP ), Huỳnh Công Út atau Nick Ut. Ia berada di lokasi kejadian bersama beberapa fotografer dan jurnalis lain ketika serangan udara itu terjadi. Fotonya sempat tertunda untuk dirilis karena perdebatan tentang layak-tidaknya menampilkan foto seorang gadis tanpa sehelai pakaian pun di tubuhnya. Pada akhirnya, para dewan redaksi AP memutuskan merilisnya. Hasilnya, Ut memenangkan beraneka penghargaan, di antaranya Pulitzer Prize dan foto terbaik World Press Photo pada 1973.    Namun, belakangan setelah kemunculan film dokumenter The Stringer: The Man Who Took the Photo karya sineas Bao Nguyen, muncul polemik soal foto itu dalam hal atribusi karya fotonya. Film yang premier -nya sudah ditayangkan pada Sundance Film Festival pada 25 Januari 2025 itu mengisahkan investigasi kredit dan atribusi foto “Gadis Napalm”. Film yang sejak September 2025 tayang di Netflix itu menguak beberapa hasil investigasi, di mana salah satunya memunculkan nama Nguyen Thành Nghe, seorang fotografer stringer yang dikisahkan sebagai sosok asli yang menjepret foto “Gadis Napalm” itu dan bukan Ut.    Terang saja film itu bikin geger dunia fotografi . Ketika film dokumenter itu belum diputar untuk umum, AP menggelar investigasinya dengan hasil laporan yang masih samar. Adapun pihak World Press Photo untuk sementara menangguhkan atribusi kepengarangan foto “Gadis Napalm” itu.    “Foto itu sendiri masih tidak terbantahkan dan penghargaan World Press Photo untuk foto momen signifikan pada abad ke-20 itu tetap masih merupakan sebuah fakta. Berdasarkan temuan-temuan sesuai nilai-nilai kami yaitu akurasi, kepercayaan, dan keberagaman, kami menarik kesimpulan (atribusi) terkait foto tersebut,” ujar direktur eksekutif World Press Photo Joumana El Zein Khoury, dilansir The Guardian , 16 Mei 2025.  Foto bertajuk "The Terror of War" alias "Napalm Girl" ( vulturevisuelle.org/World Photo Press)   Di Balik Foto "Gadis Napalm" Hari itu, 8 Januari 1972, suasana Desa Trảng Bàng, Vietnam Selatan masih mencekam kendati pasukan Vietkong (komunis Vietnam Utara) sudah lama pergi. Sekitar selusin prajurit AD Vietnam Selatan datang untuk melindungi penduduk seandainya Vietkong datang lagi. Hanya saja, zona desa itu tetap tidak aman karena pesawat-pesawat AU Vietnam Selatan terkadang masih membom area persawahan dan hutan di sekitar desa.    Pada hari itu sudah tiga hari lamanya Phúc bersama saudara-saudaranya mengungsi di kuil desa itu, Cao Ðài, bersama kakaknya Phan Thanh Tam (12 tahun), sang adik Phan Thanh Phuoc (5), dan para sepupunya. Sementara Phúc terpisah dari ayahnya yang menyelamatkan diri di desa lain karena ketika Vietkong mendatangi desa mereka sebelumnya, ayahnya dipaksa mencari stok logistik. Oleh karenanya sang ayah khawatir akan ditangkap dan disiksa saat tentara Vietnam Selatan datang. Phúc begitu rindu rumahnya sendiri dan masakan ayahnya.    “Saat itu kami digiring menuju halaman kuil oleh para tentara (Vietnam Selatan) dan mereka menginstruksikan untuk keluar ke jalan utama Trảng Bàng. Lalu tiba-tiba saya melihat penampakan pesawat mendekati saya. Saya kaget melihat sesuatu yang begitu besar, cepat, dan suaranya menggetarkan bumi. Saya tercengang seiring pesawat itu terbang melesat melewati saya,” kenang Phúc dalam otobiografinya, Fire Road: The Napalm Girl’s Journey through the Horrors of War to Faith, Forgiveness, and Peace.   Dalam sekejap, kengerian serangan udara datang tepat di depan matanya. Area kuil turut jadi sasaran serangan pesawat A1-E Skyraider tadi yang menjatuhkan empat bom napalm. Seorang prajurit di belakangnya berteriak memerintahkan Phúc dan saudara-saudaranya untuk lari.    “Keluar (halaman kuil)! Lari! Kita harus meninggalkan tempat ini! Tidak aman di sini. Mereka akan menghancurkan seluruh tempat ini. Pergilah, anak-anak! Pergi sekarang!” imbuh Phúc menirukan teriakan seorang prajurit.    Tetapi sudah terlambat. Beberapa anak lain jadi korban “ditelan” kobaran api dan kepulan asap akibat ledakan napalm-napalm. Phúc sendiri sempat terhempas dan api menyelimuti tubuhnya, membakar habis pakaian yang dikenakannya namun dia masih bisa menyelamatkan diri meski tubuhnya tak lagi terbalut pakaian dan kulitnya mengalami luka bakar.    “ Nóng quá, nóng quá! ” (panas sekali, panas sekali),” Phúc menjerit histeris.   Menurut Ut, ia turut hadir di lokasi dan memotret peristiwa itu. Karena merasa iba, Ut juga kemudian membawa Phúc sampai ke Rumah Sakit Barsky di Saigon. Phúc mengalami luka bakar derajat 3 dan butuh 17 kali naik meja bedah plastik sebelum dirawat selama 14 bulan. Sebelum jatuhnya Saigon (30 April 1975), Phúc sudah dievakuasi untuk perawatan lanjutan di Ludwigshafen, Jerman Barat.    “Saya menangis ketika melihat dia (Phúc) berlari. Jika saya tak menolongnya, jika sesuatu terjadi padanya dan dia tewas, mungkin setelah itu saya akan membunuh diri saya sendiri,” kenang Ut saat mengutarakannya pada rekan reporter AP , dikutip LA Times , 13 Maret 2017.    Menurut Ut, ia membawa film dari foto-fotonya ke kepala biro AP di Saigon, Horst Faas. Beberapa editor di biro itu sempat keberatan karena fotonya menunjukkan seorang gadis di bawah umur dalam keadaan telanjang. Setelah beberapa kali berdebat via telex dengan para petinggi AP di New York, akhirnya foto itu diputuskan tetap dirilis namun tidak dengan di- close-up. Versi Nghe jelas berbeda. Dalam dokumenter The Stringer dikisahkan Nghe sejatinya adalah sopir lokal untuk kantor berita NBC namun menyambi jadi fotografer lepas. Ia mengklaim juga berada di lokasi dan memotret peristiwa itu. Hasil jepretannya lalu dijual ke kantor AP biro Saigon. Dalam film itu turut dimuat pengakuan Robinson bahwa Faas memerintahkannya mengubah kredit fotonya dan membuat atribusinya milik Nick Ut.    “Saya bekerja keras untuk memotret foto itu tapi orang lain yang mendapatkan semua pengakuannya,” keluh Nghe kepada The Guardian , 26 Januari 2025.    AP sendiri, sebagaimana diungkapkan di atas, kemudian menggelar investigasi internal selama berbulan-bulan. Namun hasil investigasi mereka yang dirilis pada 6 Mei 2025 tetap saja tak memberi kesimpulan yang terang-benderang.      Dalam laporan bertajuk “ AP Report Update: Investigating claims around ‘The Terror of War’ photograph ”, tim investigasi AP mengaku sudah mewawancarai Phúc si gadis di foto itu, Nick Ut, beberapa mantan pegawai biro Saigon yang masih hidup, dan sejumlah jurnalis yang jadi saksi mata peristiwa itu. Mereka juga berusaha menemui Nghe dan Robinson namun keduanya menolak diwawancarai secara langsung dan sekadar memberi pernyataan tertulis.    AP kemudian tak bisa menemukan bukti-bukti konkret bahwa foto itu adalah hasil karya Nghe dan memberi hipotesa yang masih samar bahwa ada kemungkinan foto itu adalah tetap hasil karya Ut atau mungkin juga bukan. Pasalnya, temuan data analisa forensik film dan fotonya menunjukkan foto “Gadis Napalm” dipotret menggunakan kamera Pentax dan bukan kamera Leica M2. Sementara yang mereka ketahui Ut saat itu bertugas dengan membawa masing-masing dua unit kamera Leica dan Nikon.    “Analisa visual AP secara ekstensif, pemeriksaan semua foto yang diambil pada 8 Juni 1972 dengan disertai wawancara-wawancara dengan para saksi mata, menunjukkan Ut kemungkinan yang mengambil foto ini. (Walaupun) investigasi kami tetap memunculkan beberapa pertanyaan signifikan yang mungkin takkan pernah bisa kami jawab,” ungkap AP yang tetap memberi kredit dan atribusinya pada Ut, di laman resminya , 6 Mei 2025.

bottom of page