Pernah pukul orang, ditangkap polisi, hingga masuk penjara. Kendati temperamental, di mata Soe Hok Gie, Zainal Zakse adalah sosok yang perasa dan melankolis.

Sepasang karib seperjuangan anak muda idealis melawan despotisme. Tak lama setelah Zakse wafat, Gie pun menyusul.

Aktivis mahasiswa itu menganggap rektor UI telah mengorbankan idealisme akademis demi menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan.

Di sela kesibukannya sebagai seorang cendekiawan, Soe Hok Gie menjalankan hobi mendaki gunung. Cara lain memperlihatkan kecintaannya kepada Indonesia.

Di balik perlawanannya terhadap semua yang tak benar, diam-diam dia menyimpan perasaan hati dan kesedihan dirinya.

Luasnya wawasan sejarah, hasrat kuat meneliti dan ketajaman intuisinya menjadikannya periset masa lalu yang ulung.

Sebelum jadi aktivis kampus, Soe Hok Gie juga pernah diplonco oleh senior. Namun, kesannya akan kegiatan orientasi itu tidak melulu buruk.

Menjelang kematiannya, Soe Hok Gie kerap menumpahkan unek-unek kepada kakaknya: mulai masalah pribadi hingga soal prinsip politik.

Bagaimana kematian Soe Hok Gie dikaitkan dengan harta peninggalan tentara Jepang

Soe Hok Gie mamandang politik sebagai lumpur yang kotor. Namun demi menjatuhkan rezim Sukarno, dia terpaksa terjun ke dunia politik dan membina aliansi dengan militer.

Tokoh gerakan mahasiswa 1966 itu sempat menyebut sobat mudanya tersebut sebagai sosok yang cerdas namun naif.

Menjelang kejatuhan rezim Sukarno, gerakan mahasiswa terbelah menjadi dua kekuatan yang saling berlawanan.

Soe Hok Gie mengkritik segelintir pimpinan mahasiswa yang lantang bersuara melengserkan Orde Lama, namun tunduk di kursi empuk Orde Baru.

Kehidupan akademis di kampus kuning tak bisa lepas dari kungkungan muatan politis. Warna kelam di balik buku, pesta, dan cinta.