Massa anti-PKI menghabisi orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. Salah satunya kakek Andy Noya.

G30S tak hanya memakan korban jiwa, tapi juga mengubah banyak aspek kehidupan.

Sekelompok aktivis, peneliti dan pegiat HAM berikhtiar menyelenggarakan Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda. Dua hakim internasional siap mengadili.

Tak terima kasus korupsinya dibeberkan, Soeharto penjarakan Pranoto Reksosamodra dengan dalih terlibat G30S.

Negara-negara asing bukan pengamat netral. Dalam rangka mengamankan kepentingan masing-masing, mereka memainkan peran dalam peristiwa 1965.

Jagal/The Act of Killing terus menuai pujian. Aung San Suu Kyi tak ketinggalan memberi penghargaan.

Saya tak melihat Anwar Congo sebagai seorang pembunuh berdarah dingin.

Para pembantai mengklaim, masyarakat selama ini keliru mengasumsikan komunis itu kejam atau brutal. "Kita lebih kejam daripada mereka."

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi persoalan dengan masa lalunya.

Tragedi berdarah 30 September 1965 telah melahirkan banyak karya sastra. Fiksi yang berusaha menggugat fakta resmi yang monoversi.

Sebuah pertanyaan besar perlu dikedepankan: apakah malapetaka kemanusiaan pada 1965-1968 adalah sebuah tragedi?