Jika Islam Nusantara mempunyai Pegon dan Jawi, maka Islam Konghucu memiliki Xiaoerjin.

Ketika Sukarno kesal dengan perilaku konyol kaum beragama.

Bila di Indonesia ada Islam Nusantara, maka di Cina ada Islam Konghucu. Keduanya merayakan maulid dan punya kenduri tahlilan.

Orang-orang Tionghoa muslim yang datang ke Nusantara karena melarikan diri dari Cina. Mengapa mereka kabur?

Penjelajah asing mencatat kerajaan-kerajaan misterius di Pulau Sumatra setelah Sriwijaya tak lagi perkasa.

Ulama tak cuma berperan dalam agama tapi juga politik. Keberadaannya mengukuhkan kekuasaan politik.

Menjadi pemimpin muslim ideal tak mudah. Ia harus menjalankan tugas layaknya nabi.

Islamofobia di Cina bukanlah persoalan anyar. Ketidaksukaan terhadap Islam dan atau muslim sudah sejak era kedinastian.

Inilah tujuan sebenarnya perjalanan Cheng Ho termasuk ke Nusantara. Sumber primer kedinastian Cina tak menyebut Islamisasi.

Sebuah insiden berujung pemberontakan. Buntut dari kebijakan Restrukturisasi dan Rasionalisasi angkatan perang dan perundingan dengan Belanda.

Islam merambat ke Xinjiang yang kala itu mayoritas masyarakatnya menganut Buddha berkat Dinasti Samaniyah.

Difungsikan kembali atas permintaan Presiden Sukarno. Masjid Biru tetap eksis seiring perjalanan waktu.

Jika Partai Komunis Indonesia punya Haji Misbach dan Partai Komunis Prancis punya Hadj-Ali Abdelkader, maka Partai Komunis Cina punya Ma Jun.

Bagaimana mengumandangkan azan sebelum ada pengeras suara. Ada beragam cara dan cengkok.

Ulama Wahabi terkemuka di Cina ini berpandangan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman.