- Budi Setiyono
- 19 Okt
- 3 menit membaca
Diperbarui: 20 Okt
TAHUN 1965, sebuah tragedi mengubah wajah negeri ini. Bermula dari terbunuhnya sejumlah perwira militer, yang pelaku dan motifnya masih diperdebatkan hingga kini, ratusan ribu orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) ditangkap, dibui, dan dibunuh tanpa memperoleh hak membela diri di depan pengadilan.
Dengan kekuasaannya yang mulai uzur, Presiden Sukarno berseru untuk menghentikan kekerasan. Dia juga bersikeras tak memenuhi desakan untuk membubarkan PKI, partai yang dituding sebagai dalang dari pembunuhan para perwira militer. Bukan semata demi mempertahankan ide Nasakom-nya, dia berdalih PKI-lah partai yang memberi sumbangan besar bagi kemerdekaan Indonesia.
“Malahan aku yang menyaksikan segala hal itu berkata, korbanan mereka di dalam perjuangan Indonesia merdeka lebih besar daripada korbanan yang partai-partai lain atau golongan-golongan lain telah adakan,” ujarnya di hadapan Komando Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Istora Senayan Jakarta, 21 Desember 1965.
Kekuasaan Sukarno kemudian kandas. Sementara PKI, setelah 45 tahun berdiri dan mewarnai hitam-putih sejarah Indonesia, dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Membicarakannya adalah tabu. Menampilkan lambangnya dianggap subversif. Lebih tragis lagi, nasib keluarga korban dan penyintas, yang menanggung stigma buruk bertahun-tahun lamanya.
Ketika rezim otoriter tumbang, harapan diselesaikannya kasus 1965 ternyata jauh panggang dari api. Presiden Abdurrachman Wahid alias Gus Dur memang berani menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Bahkan lebih jauh lagi, Gus Dur mengusulkan pencabutan Tap MPRS XXV/1966, terutama larangan menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme atau Marxisme-Leninisme. Tapi penolakan berdatangan. Kita belum bisa berdamai dengan masa lalu.
Tahun 2015, 50 tahun kemudian. Wacana pemerintahan Joko Widodo meminta maaf kepada para penyintas dan keluarga korban 1965, disertai pemberian kompensasi, mengemuka. Pro dan kontra muncul. Wacana itu, sayangnya, kandas.
Masyarakat sipil mengambil jalan lain. Di Den Haag, Belanda, digelarlah Pengadilan Rakyat Internasional untuk memberikan tekanan politik dan moral kepada pemerintah Indonesia agar menyelesaikan kasus 1965. Kami meliput jalannya persidangan langsung dari Den Haag dan memuatnya di laman kami, Historia.ID.
Jika edisi kali ini kami menyajikan Laporan Khusus mengenai PKI, ini bukan karena terbawa euforia untuk “merayakan” 50 tahun tragedi 1965. Lihat saja, kami tak mengupas secuil pun apa yang terjadi di seputar 1965 atau sesudahnya. Bukan berarti kami tak menganggap peristiwa itu penting. Sikap kami jelas bahwa kasus 1965 harus diselesaikan secara adil dan bijaksana, lengkap dengan tindakan rehabilitasi, reparasi, dan rekonsiliasi; agar tak ada lagi orang main kuasa, agar tak ada lagi stigma dan ketakutan, agar tak ada lagi beban sejarah yang mesti dipikul generasi mendatang.
Kami menurunkan Laporan Khusus ini dengan fokus pembahasan pada partai itu sendiri, dari kemunculan hingga menjelang kejatuhannya, dari partai medioker yang terpuruk akibat Peristiwa Madiun 1948 dan Razia Agustus 1951 hingga jadi partai yang diklaim terbesar pada 1960-an. Kenapa PKI? Mengangkat tema partai politik di masa lalu bukan sekali ini saja kami lakukan.
Sebelumnya kami pernah menurunkan Laporan Utama mengenai Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi, dua partai yang juga punya pengaruh kuat dalam perjalanan sejarah negeri ini. Kebetulan pula Arsip KOTI (Komando Operasi Tertinggi) di Arsip Nasional sudah dibuka untuk publik. Dari bahan-bahan itu pula kami menyajikan laporan ini untuk Anda. Kami tak berpretensi sajian ini lengkap, sempurna, karena keterbatasan dalam segala hal, dan karena historiografi selalu membuka kemungkinan-kemungkinan untuk perbaikan. Dan setidaknya sajian ini menyodorkan alternatif lain untuk melihat sebuah partai yang pernah begitu disegani di masanya karena aktivitas dan militansinya.*
Selamat membaca!
Berikut ini Laporan Khusus Riwayat Palu Arit PKI:













Komentar