Dahulu perkara perjalanan haji jadi urusan pribadi. Sejak Orde Baru dimonopoli negara. 

Desa ini pernah dikiria Desa Penari. Meski bukan desa penari, kejadian menyeramkan pernah terjadi di sini.

Peristiwa PRRI menyebabkan orang-orang Minang meninggalkan kampung halamannya. Mereka membawa keahlian berdagang dan memasak. Rumah makan Padang pun ada di mana-mana.

Bos peternakan di Ranupane ini mempioniri ekowisata Gunung Semeru. Namanya sempat tercoreng oleh "kasus" harem di Ranupane.

Hitler paling gemar memelihara anjing Alsatian. Blondi jadi peliharaan di istana yang paling disayangi. 

Lagu yang acap diputar di setiap Hari Sumpah Pemuda. Penciptanya punya alasan mendahulukan “pemudi” ketimbang “pemuda”. 

Hamburger disebut sebagai makanan khas Amerika meski memiliki kaitan historis yang erat dengan Jerman. Nama hamburger sempat diganti karena alasan politis hingga memunculkan istilah burger yang kini terkenal.

Mulai dari skandal perzinahan, prostitusi, pergundikan, obat kuat, hingga praktik homoseksual. Dimasa kolonial Hindia Belanda, isu-isu seksualitas tersebut menjadi fenomena yang terjadi di tengah masyarakat kolonial.

Sejak kecil di Amerika, pria Turki ini peduli pada kulit hitam Amerika. Berperan penting mempopulerkan musik pop dunia. 

Tiga jenis wastra tradisional Nusantara ditampilkan dalam pagelaran Jakarta Fashion Week tahun ini. Mengusung sintesis dari konsep tradisi dan modern.

Jonas Hanway dicemooh ketika pertama kali menggunakan payung di jalanan London pada abad ke-18. Meski diejek kurang maskulin, kebiasaannya justru diikuti banyak orang dan payung menjadi populer di kalangan pria.”

’Pakaian bermotif garis-garis di Abad Pertengahan menjadi penanda bagi mereka yang terbuang dan tidak bermoral. Maknanya berubah pada Abad Pencerahan, motif garis-garis menjadi simbol kebebasan.

"Verboden voor honden en inlander", kalimat rasis yang menghina bangsa Indonesia. Tulisan itu membuat orang Indonesia tak bisa berenang di Manggarai.

Pita Maha merupakan nama kelompok seni yang didirikan di Ubud pada 1930-an. Meski aktivitas kelompok ini terhenti imbas Perang Dunia II dan pendudukan Jepang di Indonesia, karya-karyanya masih terus diminati hingga dipamerkan di luar negeri.

Beragam peti dibawa para pegawai VOC ketika berlayar kembali ke Belanda. Tak hanya menjadi tempat penyimpanan barang berharga, peti kayu ini turut menjadi penanda pangkat pegawai VOC